Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Rumah Adat Wologai yang Memuliakan Mama

14 Juli 2018   12:28 Diperbarui: 24 Juli 2018   15:35 2410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ukiran di sisi tangga masuk rumah menjadi keunikan sekaligus keindahan tersendiri karena mengandung berbagai makna filosofis selain menjadi saksi bisu sejarah dan perjalanan waktu juga. (Foto: Gapey Sandy)

Status mama atau ibu di Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), begitu istimewa. Kain tenun ikat (Kabupaten) Sikka misalnya, punya motif yang menjunjung tinggi peran seorang mama. Dalam satu kain tenun ikat ada motif yang punya ukuran lebih besar dibanding motif lain. Motif ini ada di posisi tengah atau dalam bahasa lokal disebut 'hina' yang menyimbolkan mama. Mengapa posisi motif untuk simbol mama ini ada di tengah? Tak lain karena semua mengagungkan mama dan dianggap sebagai sumber atau pusat kehidupan.

Jadi, kalau kebetulan punya kain tenun ikat di rumah, perhatikan bagian tengahnya, selalu saja ada motif yang dibuat lebih besar ruang ukurannya. Itulah simbol 'hina' alias mama. Tapi ingat, motifnya yang tradisional ya, dan biasa digunakan kain tenun ikat itu untuk upacara adat. Bukan yang sudah masuk ke ranah motif kontemporer yang diproduksi guna memenuhi selera pasar.

Bukan cuma di kain tenun ikat saja status mama begitu penuh penghargaan. Di Kampung Tradisional atau Desa Wologai Tengah di Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende, Flores -- sekitar 23 km dari lokasi wisata Danau Kelimutu -, rumah-rumah adat di kampung ini juga dianggap sebagai simbol representasi dari seorang mama. Rumah adalah mama.

Peta perjalanan dari Danau Kelimutu menuju Kampung Tradisional Wologai Tengah, Ende, Flores. (Foto: Gapey Sandy)
Peta perjalanan dari Danau Kelimutu menuju Kampung Tradisional Wologai Tengah, Ende, Flores. (Foto: Gapey Sandy)
Gapura selamat datang di Kampung Tradisional Wologai Tengah. (Foto: Gapey Sandy)
Gapura selamat datang di Kampung Tradisional Wologai Tengah. (Foto: Gapey Sandy)
***

Saya dan rombongan tiba di Kampung Tradisional Wologai Tengah ini dengan menempuh perjalanan selama sekitar 50 menit bermobil dari Desa Koanara, Moni, Flores. Moni ini semacam wilayah khusus yang menjadi tempat penginapan para wisatawan domestik maupun mancanegara sebelum melanjutkan perjalanan ke Taman Nasional Kelimutu (Kelimutu National Park). 

Biasanya, wisatawan berangkat dari tempat penginapan di Moni ini sekitar jam 04.00 pagi, sebelum waktu Subuh. Kenapa musti pagi-pagi buta? Ya, sudah tentu untuk mengejar momentum matahari terbit (sunrise) dan menikmatinya di puncak Kelimutu. [Untuk tulisan mengenai Kelimutu, insya Allah nanti akan saya sajikan secara khusus ya].

Kondisi fisik jalan raya yang kami tempuh dari Danau Kelimutu ke Kampung Tradisional Wologai Tengah sangat bagus. Pemandangan alam sekitar juga berkesan sekali. Keseringan yang kita jumpai adalah pemandagan di sisi kiri berupa tebing batu cadas yang seolah seperti hendak longsor.

Pada beberapa kawasan tampak memang ada bekas-bekas longsoran tanah bebatuan itu. Pemerintah Daerah setempat pun sigap melakukan perbaikan, selain mengantisipasi musibah longsor dengan membangun tanggul-tanggul berbatu kali sebagai penahan pergerakan tebing. Ngeri melihatnya, membayangkan kalau benar-benar kejadian longsor. Na'udzubillah.

Suasana pemandangan di sepanjang Jalan Raya Ende -- Dotukeli yang indah. (Foto: Gapey Sandy)
Suasana pemandangan di sepanjang Jalan Raya Ende -- Dotukeli yang indah. (Foto: Gapey Sandy)
Hati-hati tebing longsor di beberapa titik Jalan Raya Ende -- Dotukeli. (Foto: Gapey Sandy)
Hati-hati tebing longsor di beberapa titik Jalan Raya Ende -- Dotukeli. (Foto: Gapey Sandy)
Sedangkan di sisi kanan, pemandangan menjanjikan alam pebukitan dan pegunungan yang menghijau. Tak jarang, di curamnya jurang terlihat sawah-sawah dan kebun milik warga yang melenakan mata memandang. Sesekali mobil kami melewati sisi pucuk pohon kemiri yang tumbuh menjulang dari curamnya dataran bawah ke pinggir jalan raya di atasnya. Kemiri memang menjadi salah satu hasil panen andalan masyarakat sekitar. Selebihnya, jalan raya beraspal mulus yang berkelak-kelok kami lalui dengan nyaman.

Sekitar jam 11 siang kami di Kampung Tradisional Wologai Tengah tepatnya di Jalan Raya Ende -- Detukeli KM 43. Suasana sepi langsung menyambut kami. Hampir tak ada tanda-tanda kehidupan. Hanya terlihat beberapa wanita penduduk sekitar yang terlihat sedang berjalan kaki di dekat Kantor Kepala Desa. Tak terlihat ada pos penjagaan di jalan masuk yang dipasang gapura sederhana. Di atas gapura yang beratapkan seng ini tertulis ucapan "Welcome to Wologai Traditional Village". Melewati gapura ada lahan cukup luas untuk parkir kendaraan wisata.

Sebelum masuk lebih jauh ke Kampung Tradisional ini, biasanya pemandu wisata harus melapor lebih dulu ke Kantor Kepala Desa. Saya kurang tahu persis ya, mungkin mengisi buku tamu semacam administrasi dan kulonuwun lainnya. Hal yang wajar dan biasa sajalah, namanya juga blusukan ke kampung orang, betul enggak.

Sebelum masuk ke area Kampung Tradisional Wologai Tengah, silakan lapor kedatangan dulu di Kantor Kepala Desa. (Foto: Gapey Sandy)
Sebelum masuk ke area Kampung Tradisional Wologai Tengah, silakan lapor kedatangan dulu di Kantor Kepala Desa. (Foto: Gapey Sandy)
Penataan infrastruktur jalan di Desa Adat Wologai Tengah yang baik. (Foto: Gapey Sandy)
Penataan infrastruktur jalan di Desa Adat Wologai Tengah yang baik. (Foto: Gapey Sandy)
Selesai pemandu wisata melaporkan diri di Kantor Kepala Desa yang tempatnya ada di sisi bawah jalanan, kami pun berjalan sekitar 300 meter menuju akses masuk kampung. Dari tempat mini bus kami parkir, sudah kelihatan sebenarnya sebagian rumah-rumah adat warga Wologai Tengah yang bentuknya sangat unik [lihat aja tuh di fotonya ya]. Kelihatan paling jelas adalah atap-atap rumah yang menghitam dan disusun dari ijuk.

Langkah kaki kami makin cepat seiring rasa penasaran ingin segera memasuki area kampung adat ini. Oh ya, sebelum menaiki beberapa anak tangga yang sengaja dibentuk menjadi semacam tanggul dan pelataran cukup lapang dari batu kali, di sisi kanan jalan masuk kami melihat ada satu pohon beringin yang berukuran raksasa. Begitu besar. 

Daunnya rimbun banget. Bahkan akar-akarnya pun begitu besar dan kekar. Entah berapa usia pohon beringin yang kesannya kok angker banget ini. Heheheee ... tapi biar pun angker, tetap ada spot untuk berfoto yaitu persis di tengah-tengah akar pohon yang besar-besar dan membentuk seperti semacam mulut goa. Haddeeeuuhhhh ... bikin merinding bulu romaku.

Tiba-tiba, langkah kami berhenti. Belum juga masuk ke tengah perkampungan, seorang ibu tampak setengah berlari dan seperti memberi instruksi kepada kami. Rupanya, ibu ini mengingatkan agar kami lebih dulu mencari dan menemui Bapak Tua. Tak hanya memerintahkan kami agar menemui Bapak Tua, ibu ini pun menunjukkan arah untuk bisa menuju ke rumah si Bapak Tua.

Pohon beringin raksasa seolah menyampaikan ucapan selamat datang. (Foto: Gapey Sandy)
Pohon beringin raksasa seolah menyampaikan ucapan selamat datang. (Foto: Gapey Sandy)
Siapakah Bapak Tua yang dimaksud, saya kurang paham. Tapi dalam hati pasti berpikir, mungkin tetua adat, pemangku adat dan semacamnya. Ya, semacam permisi, nderek langkung atau kulonuwun (lagi) lebih dahulu. Begitulah adat kesopanan bertamu yang mau enggak mau harus dan tetap berlaku.

Sambil terus berjalan menuju ke arah rumah Bapak Tua, perjalanan jalan kami sudah mulai memasuki setengah lingkaran pertengahan kampung. Persisnya di sisi kiri kampung. Rumah-rumah adat sudah mulai semakin jelas. Rumah kayu dan bertingkat seperti rumah panggung tapi pendek, alias tidak menyatu dengan tanah. Ada tiang-tiang yang menyangga lantai kayu rumah. Tiang-tiangnya berdiri di atas bebatuan yang disusun rapi, tingginya sekitar satu meter. 

Untuk naik ke rumah panggung ini pasti ada tangga kayu yang langsung terhubung dengan ruang terbuka sebagai "teras kayu". Tentu ada pintu kayu dan jendela kayu. Di sisi kiri dan kanan tangga kayu ada ukiran dan pahatan bergambarkan aneka binatang, tetumbuhan dan manusia. Ada juga ukiran senjata laras panjang. Waaaahhhh ... sungguh ukiran sekaligus hiasan rumah yang menyimpan banyak cerita bersejarah penuh daya pikat kalokayak ginisih.

Setiap rumah-rumah adat yang berbentuk limas dengan bagian penampang atas mendatar ini seolah menghadap ke arah tengah-tengah kampung. Di pertengahan kampung inilah menjadi semacam altar bebatuan untuk melakukan upacara adat. Saya lihat altarnya seperti semacam pondasi candi. Batu-batu disusun rapi bertumpuk-tumpuk. 

Tingginya sekitar dua meter. Jadi saya dan rombongan tidak bisa melihat ada apa sebenarnya di atas atau di altar bebatuan tersebut. Selain juga, pemandu wisata sudah mengingatkan untuk jangan menaiki altar, karena dipercaya sebagai tempat keramat atau yang disucika. Walaaahhhhh ... makin bikin kepo surepo.

Rumah adat hunian warga di Kampung Tradisional Wologai Tengah, Ende, Flores. (Foto: Gapey Sandy)
Rumah adat hunian warga di Kampung Tradisional Wologai Tengah, Ende, Flores. (Foto: Gapey Sandy)
Rumah adat khusus untuk upacara adat lengkap dengan altar datar tempat meletakkan aneka sesembahan untuk para leluhur. (Foto: Gapey Sandy)
Rumah adat khusus untuk upacara adat lengkap dengan altar datar tempat meletakkan aneka sesembahan untuk para leluhur. (Foto: Gapey Sandy)
Di bawah dekat altar bebatuan berundak - dan di beberapa rumah adat yang ada -, saya melihat ada semacam bangunan kotak persegi panjang lengkap dengan tutup kotaknya juga. Enggak seberapa besar sih ukurannya. Bangunannya dari batu besar dan sepertinya dari putih atau ehmmm, memang dicat putih, saya kurang yakin. Tampilannya pun beda sendiri. Konon, disinilah makam para leluhur. Weleeehhhh, untung saya enggak sembrono dengan naik-naik ke atas tutup kotaknya ya.

Sekali lagi, suasana nampak sepi menyelimuti kami. Di rumah-rumah adat ini tidak nampak seorang pun. Saya malah cuma melihat ada biji kopi yang dijemur di atas lapak plastik warna biru juga di bebatuan.

Ada biji kopi yang sudah mengelupas kulitnya sehingga memunculkan biji kopi berwarna keputihan, tapi ada juga yang masih terbungkus dengan daging buah kopinya. Saya melihat juga ada yang menjemur biji kemiri, mirip batu koral seukuran lebih dari ibu jari. Tak ada yang menjemur baju apalagi peralatan dapur, semua di sini rapi dan resik lho.

Tanpa Mama Semua Sunyi

Penataan rumah ke rumah di kampung ini sengaja dibentuk melingkar mengitari Tubu Kanga atau pelataran atau altar paling tinggi yang biasa dipakai sebagai tempat ritual adat. Bangunan rumah punya panjang sekitar 7 meter dengan lebar 5 meter, dengan tinggi banguan rumah sekitar 4 meter sementara atapnya mungkin bisa sampai 3 meter.

Rumahnya bertingkat dan biasanya di kolong rumah dijadikan tempat memelihara ternak. (Foto: Gapey Sandy)
Rumahnya bertingkat dan biasanya di kolong rumah dijadikan tempat memelihara ternak. (Foto: Gapey Sandy)
Penataan kampung berbentuk lingkaran, dan semua rumah-rumah adat menghadap area tengah sebagai tempat melaksanakan upacara adat. (Foto: Gapey Sandy)
Penataan kampung berbentuk lingkaran, dan semua rumah-rumah adat menghadap area tengah sebagai tempat melaksanakan upacara adat. (Foto: Gapey Sandy)
Karena rumah-rumah adat di sini bertingkat, maka pada bagian kolong rumah atau lewu dulunya dimanfaatkan untuk memelihara ternak, babi, ayam dan lainnya. Sedangkan ruang tengah sudah pasti digunakan menjadi tempat tinggal. Lotengnya sebagai tempat menyimpan barang-barang yang akan digunakan saat ritual adat.

Sesudah hampir mengitari sekeliling perkampungan, sampailah kami di rumah Bapak Tua. Sesuai sebutannya, ia memang sudah tua meski belum terlalu renta. Dengan ramah, sosok berkaos kerah warna abu-abu kehitaman ini keluar rumah dengan senyum yang hangat dari balik pintu kayu rumah. Rambutnya sudah beruban. Kulitnya legam. Tapi perawakannya kekar.

"Nama saya Aloysius Leta. Usia saya 64 tahun. Istri saya bernama Maria. Anak saya ada tujuh orang, dan cucu saya sepuluh orang dan semuanya laki-laki," ujar Bapak Tua memperkenalkan diri.

Aloysius Leta salah seorang warga yang mengaku sudah merupakan generasi ke-13 dari Suku Lio di Kampung Tradisional Wologai Tengah, Ende, Flores. (Foto: Gapey Sandy)
Aloysius Leta salah seorang warga yang mengaku sudah merupakan generasi ke-13 dari Suku Lio di Kampung Tradisional Wologai Tengah, Ende, Flores. (Foto: Gapey Sandy)
Karya ukiran dan pahatan bentuk rumah adat di Kampung Tradisional Wologai Tengah, Ende, Flores. (Foto: Gapey Sandy)
Karya ukiran dan pahatan bentuk rumah adat di Kampung Tradisional Wologai Tengah, Ende, Flores. (Foto: Gapey Sandy)
Aloysius mengaku sebagai generasi ke-13 dari Suku Lio yang masih mempertahankan adat dan keaslian Kampung Tradisional Wologai Tengah. Ia juga menjadi semacam juru bicara dari para tetua adat. Tak heran, apabila ada tamu atau wisatawan yang datang, maka ia yang akan bertugas menemani dan memberi berbagai penjelasan. "Kampung adat ini merupakan yang tertua di Kabupaten Ende. Adat istiadatnya sangat terpelihara dengan baik dan sangat kental kami jalankan," tuturnya.

Ia melanjutkan, jumlah rumah-rumah adat yang ada di Kampung Tradisional Wologai berjumlah 22 bangunan. Terdiri dari 6 bangunan rumah upacara adat, 4 buah bangunan lain, dan 12 bangunan lainnya merupakan rumah hunian masyarakat adat. "Rumah yang saya huni ini namanya Sa'o Soko Ria. Semua rumah bentuknya sama, tapi namanya beda-beda," ujarnya.

Di Wologai Tengah ini, ujar Aloysius, rumah sangatlah bermakna. "Rumah adalah mama, benar-benar mama. Karena itu, pada setiap kiri dan kanan pintu yang ada di bangunan rumah adat sini, selalu terpajang patung kayu maupun ukiran yang (maaf) berwujud buah dada mama. Jadi, rumah itu adalah mama, menurut kepercayaan adat Suku Lio di sini," ujarnya seraya menambahkan bahwa suasana perkampungan saat ini sunyi karena ini adalah Hari Minggu dan hampir semua orang pergi beribadah ke gereja.

Menjemur buah kopi di Wologai Tengah. (Foto: Gapey Sandy)
Menjemur buah kopi di Wologai Tengah. (Foto: Gapey Sandy)
Menjemur kemiri di Wologai Tengah. (Foto: Gapey Sandy)
Menjemur kemiri di Wologai Tengah. (Foto: Gapey Sandy)
Adapun gambar-gambar yang ada di ukiran kayu sisi luar teras rumah banyak mengandung arti nilai-nilai harga diri dari seorang mama. Artinya begini, kalau rumahnya itu sendiri adalah merupakan simbol dari mama, maka ukiran dan pahatan yang beraneka gambar ini adalah nilai-nilai yang melambangkan harga diri mama.

"Karena begitu berharganya mama, maka kami warga Suku Lio mengangkat mama ke permukaan. Tanpa mama mungkin sunyi. Mama sangat mulia dalam ciptaan Tuhan, maka kita sangat menghormati mama. Dari mama, oleh mama, untuk mama. Jadi kita sebagai laki-laki tidak boleh kesana--kesini, harus setia. Dari rahim, oleh rahim, untuk rahim, tanpa Mama sunyi," jelasnya.

Ditambahkan Aloysius, kedudukan mama sangat tinggi dibandingkan dari semua yang ada di kehidupan manusia. "Mama sangat berharga, sangat mulia dalam ciptaan Tuhan," jelasnya sambil menyebutkan bahwa di Kampung Tradisional Wologai Tengah ini tercatat ada 33 kepala keluarga. "Sedangkan jumlah warganya mencapai 230-an jiwa."

Ukiran di sisi tangga masuk rumah menjadi keunikan sekaligus keindahan tersendiri karena mengandung berbagai makna filosofis selain menjadi saksi bisu sejarah dan perjalanan waktu juga. (Foto: Gapey Sandy)
Ukiran di sisi tangga masuk rumah menjadi keunikan sekaligus keindahan tersendiri karena mengandung berbagai makna filosofis selain menjadi saksi bisu sejarah dan perjalanan waktu juga. (Foto: Gapey Sandy)
Ukiran di sisi luar rumah. (Foto: Gapey Sandy)
Ukiran di sisi luar rumah. (Foto: Gapey Sandy)
Dalam satu tahun, lanjutnya lagi, ada dua kali upacara adat besar (Keti Pare) yaitu ketika pasca panen -- padi, jagung, kacang-kacangan -, sekaligus memberi makan-minum untuk para leluhur atau dinamakan Pati Ka. "Pelaksanaannya selama satu bulan yaitu pada tanggal 25 Agustus sampai 25 September. 

Sedangkan upacara lainnya dalam skala kecil (Keti Uta), dilaksanakan setiap bulan. Misalnya, pasca panen pucuk daun bunga buah yang pertama. Acaranya kami laksanakan selama satu minggu. Pelaksanaan upacara-upacara adat ini dilakukan di rumah-rumah adat yang memang dikhususkan untuk upacara adat," urainya.

Khusus pada setiap tanggal 14 Agustus, Suku Lio melakukan upacara adat Pati Ka Du'a Bapu Ata Mata di Danau Kelimutu. "Tidak semua warga hadir ke Kelimutu, paling tidak hanya tetua adat atau mosalaki saja," jelasnya. 

Apa saja larangan para tamu dan wisatawan selama berkunjung di kampung ini?

Aloysius menjelaskan, jangan masuk ke area tengah perkampungan. "Ada larangan yang berlaku di sini dan harus dipatuhi. Khususnya areal yang ada di bagian tengah perkampungan ini. Bagi para pengunjung atau wisatawan yang hadir, belum diizinkan masuk ke areal tengah perkampungan untuk sementara, sampai upacara adat dilangsungkan. Artinya, ketika upacara adat besar tadi dilaksanakan, maka kami membuka izin seluas-luasnya kepada pengunjung atau wisatawan yang hadir untuk bisa masuk ke area pertengahan kampung," urainya.

Lahan bagian atas tempat upacara adat ini posisinya ada di tengah-tengah kampung. Wisatawan tidak diperkenankan masuk ke area atas ini, kecuali pada saat upacara adat besar dilangsungkan. (Foto: Gapey Sandy)
Lahan bagian atas tempat upacara adat ini posisinya ada di tengah-tengah kampung. Wisatawan tidak diperkenankan masuk ke area atas ini, kecuali pada saat upacara adat besar dilangsungkan. (Foto: Gapey Sandy)
Batu-batu besar yang dibentuk pipih lalu disusun bertingkat-tingkat dan berundak. Di atas itulah tempat warga Suku Lio di Kampung Tradisional Wologai Tengah melakukan upacara adat. (Foto: Gapey Sandy)
Batu-batu besar yang dibentuk pipih lalu disusun bertingkat-tingkat dan berundak. Di atas itulah tempat warga Suku Lio di Kampung Tradisional Wologai Tengah melakukan upacara adat. (Foto: Gapey Sandy)
Selain itu, katanya pula, ada satu batu di atas area pertengahan kampung ini, yang disebut batu ajaib. "Pengunjung atau wisatawan tidak boleh menyentuhnya," ujar Aloysius.

Larangan sementara dan terbatas ini, menurut Aloysius, karena di sekitar area tengah perkampungan ada bangunan-bangunan makam leluhur. "Sedangkan dalam adat tradisi kami, diyakini betul bahwa setiap arwah-arwah dari orang yang meninggal dunia akan berkumpul di tiga danau yang ada di Kelimutu, meskipun jasadnya dimakamkan di kampung ini," jelas Aloysius.

Oh ya, Aloysius mengatakan, bagi pengunjung atau wisatawan yang ingin menginap di kampung tradisional ini dipersilakan. "Ada rumah hunian warga yang bisa digunakan untuk home stay atau menerima tamu menginap, apakah itu wisatawan domestik maupun mancanegara," ujarnya sambil menjelaskan pula bahwa soal pernikahan antar sesama warga suku Lio misalnya, tidak terdapat larangan. "Pernikahan boleh saja dilakukan, karena bukankah darah itu sama-sama merah. Begitu juga kalau warga kami yang merantau ke berbagai daerah kemudian menikah dengan warga suku lain, ya tidak mengapa."

Patung kayu ukiran dan pahatan karya Aloysius Leta. Wisatawan boleh beli. (Foto: Gapey Sandy)
Patung kayu ukiran dan pahatan karya Aloysius Leta. Wisatawan boleh beli. (Foto: Gapey Sandy)
Foto bareng dulu dengan Aloysius Keta sebelum meninggalkan Kampung Tradisional Wologai Tengah, Ende, Flores, NTT. (Foto: Gapey Sandy)
Foto bareng dulu dengan Aloysius Keta sebelum meninggalkan Kampung Tradisional Wologai Tengah, Ende, Flores, NTT. (Foto: Gapey Sandy)
Rasanya tidak cukuplah berkunjung ke Kampung Tradisional Wologai Tengah ini cuma sekitar satu jam. Tapi apa boleh buat, waktu sudah meleset dari tengah hari.

Sedangkan jadwal take off pesawat terbang saya dari Bandar Udara Haji Hasan Aroeboesman Ende adalah jam 14.40. Yaahhh ... mungkin lain waktu bisa ke sini lagi, ke Kampung Tradisional Wologai Tengah yang menyimpan kisah cerita misteri tentang konon pernah adanya kendang yang dibuat dari kulit perut manusia. Uuupppsss ...


o o O o o

Baca juga tulisan sebelumnya:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun