"Sebagai simbol kekeluargaan dan keramahtamahan, tamu selalu disuguhi pinang, sirih dan kapur. Untuk dikunyah secara bersama-sama. Ada juga rokok yang tembakaunya dilinting dan diikat dengan daun lontar kering. Silakan dinikmati. Kalau tidak bersedia mengunyah pinang, sirih dan kapur, atau juga tidak merokok, ya tidak mengapa asal tetap dipegang saja semua suguhan penyambutan tamu ini sebagai pertanda apresiasi tamu kepada tuan rumah."
Demikian disampaikan Daniel David, Direktur Na'ni House Flores ketika mewakili masyarakat dalam menyambut saya beserta rombongan di Dusun Botang, Desa Munerana, Kecamatan Hewokloang, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), pada Jumat (29/6/2018).
Dusun Botang berjarak sekitar 21 Km dari Bandar Udara Frans Seda Maumere, atau sekitar 1 jam perjalanan dengan bermobil. Adapun Na'ni House Flores adalah lembaga yang berdiri sejak Oktober 2014 dan punya misi di antaranya untuk melestarikan budaya tradisional di Kabupaten Sikka, Flores, lewat dukungan kreasi budaya tenun ikat yang berkelanjutan dengan memanfaatkan kearifan lokal di bidang pertanian dan menciptakan keseimbangan alam.
Sesuai urutan yang disarankan, saya pun mengambil mengambil sepotong pinang lalu sirih dan kemudian langsung masuk mulut untuk digigit dan dikunyah. Baru kemudian menyusul sejumput bubuk kapur yang bentuknya bubuk putih. Saya kunyah lagi. Wheeewwww ... rasanya nano-nano, meskipun yang dominan adalah sepat.
Karena merasa hasil kunyahan saya kurang menghasilkan warna oranye kemerahan, lagi-lagi sesuai arahan, saya mengambil lagi sejumput kapur. Semakin nano-nano lah rasanya.
"Kalau sudah dirasa cukup kunyahannya di mulut, semua boleh ditelan, tapi boleh juga dibuang," ujar Daniel. Tanpa menunggu lama, sambil membelakangi badan, saya pun perlahan-lahan meludahkan semuanya. Warna oranye terang yang keluar dari hasil kunyahan di mulut saya. Aaaahhh ... lega, dan anehnya, mulut saya kok terasa segar. Apakah ini pertanda doyan?
Silakan lihat bentuk rokoknya di jepretan foto. Bagus ya. Dilinting pakai daun lontar kering warna kuning, ada ikatannya pula. Jangan terbalik lho ya, karena yang harusnya menempel diantara kedua bibir adalah yang sisinya lebih panjang dari ikatan tali.
Sudah lama saya tidak merokok. Pun bukan perokok jarang-jarang. Tapi, begitu mengisap rokok ala Desa Munerana ini, aaahhhh ... citarasanya 'kok ... nganu, eh, apa itu, enaaaakkkk banget ... hahahaaa
Lama juga rokok ini habisnya. Padahal sepertinya cuma kayak rokok-rokokan, tapi kok lama juga habisnya, dan jujur, enggak bikin batuk. Saya bilang juga apa, ini antara rokoknya yang enak dengan doyan, beda tipis ... hahahahaaa.
Saya pun mengisapnya, lagi ... dan, lagi ... Enggak mau kalahlah saya dengan Ibu Eet, Ibu Lis, Ibu Ridha dan Ibu Ayu, para perempuan dalam rombongan yang semuanya terlihat asyik merokok tembakau pakai daun lontar sebagai "papir". Semua tamu merokok, semua tamu happy ... begitu juga dengan mama-mama dan para bapak yang melayani sebagai tuan rumah.
Adapun para pengladen atau pelayan yang bolak-balik ke dalam rumah dan lokasi penyambutan tamu  adalah anak-anak muda. Mereka ini bolak-balik mengambil dan membawa suguhan untuk para tamu. Mulai dari pinang, sirih dan kapur, juga rokok. Semua diwadahi dengan keranjang anyaman daun lontar berukuran kecil.
Rambut mereka digelung ke atas belakang tapi tidak seperti sanggul. Mereka mengenakan gelang, kalung dan anting. Beberapa di antaranya memakai kerincingan (seperti alat musik perkusi) di pergelangan kaki. Sehingga kalau berjalan, bunyinya jadi kemrincing, rame.
Sedangkan para bapak, mengenakan beberapa asesori janur kelapa di kepala dan kedua lengan di atas siku. Mereka bertelanjang dada. Ada yang mengenakan kalung manik-manik panjang, dengan mata kalung seperti kuku atau taring binatang yang bentuknya sabit dan meruncing. Tapi ada juga yang berkalung biji-bijian, dan tetap dengan mata kalung berbentuk kuku atau taring sabit nan runcing.
Oh ya, balik lagi ke awal sedikit. Bunyi kemrincing di pergelangan kaki ini terasa banget terdengar, apalagi ketika saya dan rombongan baru turun dari kendaraan, lalu disambut dengan upacara adat yang antara lain menyuguhkan tarian berikut musik tradisional. Musiknya sederhana saja. Dimainkan secara rancak oleh para bapak, pemuda dan anak-anak lelaki. Ada tetabuhan juga kenong atau gong kecil.
Sebelum musik dimainkan, tetua adat memberi sambutan dengan memercikkan air bening dengan sehelai daun ke kepala dan sedikit ke dahi. Cipratan airnya terasa dingin menyegarkan. Kemudian, dua orang perwakilan dari kami dianugerahkan pengalungan kain tenun ikat. Barulah kemudian musik dimainkan, sembari mengajak rombongan untuk terus berjalan menuju lokasi perjamuan tamu.
Perjamuan ini menggunakan meja dari bambu panjang - bertaplakan anyaman janur kelapa - dan kursi-kursi kayu serta plastik. Semua duduk rapi saling berhadapan. Akrab dan sangat menonjolkan keramah-tamahan.
"Kadang-kadang, ada yang terasa sedikit mabuk karena mengunyah pinang, sirih dan kapur. Kami di sini, punya cara untuk mengatasi rasa mabuk itu. Caranya? Menyilangkan kedua tangan di depan dada, lalu tangan kanan menarik kuping kiri, sedangkan tangan kiri menarik kuping kanan," jelas Daniel sembari disambut gelak tawa semua yang hadir.
Meski sambil tertawa, semua mencoba trik untuk mengilangkan rasa mabuk itu. Saya pun mencobanya seraya memperhatikan seorang mamak memeragakannya. Ampuh atau tidak trik ini, saya kurang bisa merasakan, lha wong saya enggak merasa mabuk ... heheheheee
Habis mengunyah pinang, sirih dengan kapur bubuk, perjamuan dilanjutkan dengan merokok bersama. 'Kan tadi sudah dikasih tahu bagaimana wujud rokoknya, nah sekarang, cara menyalakan rokoknya pun tidak dengan menggunakan korek api kayu atau korek api gas. Tapi, menggunakan cara tradisional, yaitu membuat api melalui gesekan bambu kering.
Seorang bapak mulai memeragakan membuat api. Saya melihat ada gelondongan batang kayu, sepertinya kayu kelapa besar. Lalu, di atasnya ada potongan bilah bambu yang diisi dengan serabut kelapa kering. Bapak ini kemudian menggesek potongan bilah bambu dengan bambu lainnya. Gerakannya cepat dan sekuat tenaga. Alhasil, terjadi gesekan panas yang memercikkan api.
Percikan api ini yang kemudian coba digunakan untuk membakar serabut kelapa kering tadi. Mulanya asap muncul, kemudian bapak ini meniup sering-sering ke arah serabut kelapa yang sudah terkena percikan api. Kemudian ... tarrraaaaaa ... api muncul membakar serabut kelapa kering. Inilah yang kemudian digunakan untuk menyundut rokok lintingan daun lontar yang sudah terselip di antara bibir para tamu, termasuk saya.
Sekejap rokok menyala, dan kepul-kepul, mulai kami semua merokok. Uuupppssss ... ini bukan mengajarkan untuk merokok ya, maaf, ini adat, tradisi masyarakat Dusun Botang dalam menyambut, menghormati dan menjamu para tamu.
Minuman air kelapa ini disajikan berbarengan dengan suguhan kue tradisional yang dinamakan kue lekun. Kue berwarna ungu kehitaman ini terbuat dari beras hitam yang dicampur dengan kelapa parut juga gula. Cara memasaknya, dibakar dalam bambu.Teksturnya empuk, lembut, kenyal, agak lengket alias tidak gembur.
Sambil menyantap kue lekun dan menyeruput air kelapa, saya dan rombongan menyimak paparan mengenai tenun ikat Sikka yang diproduksi oleh para mama-mama di sini.
Mereka semua tergabung dalam kelompok penenun yang diberi nama "Akasia" yang didirikan pada 2009 lalu. Selain menenun, Mama-mama di Akasia ini juga memproduksi atau mengolah panganan lokal (pisang, jagung dan umbi-umbian) untuk dijual demi menambah kesejahteraan keluarga.
Ketua Kelompok "Akasia" adalah Lutgardis Bungaeldis (46). Ia akrab disapa Mama Gardis dan merupakan istri dari Hermanus Hermanto (49) serta ibu dari 4 orang anak.
"Tenun ikat yang kami produksi menggunakan bahan pewarna alam, bukan pewarna dari bahan kimia," ujar Mama Gardis kepada saya. [Khusus mengulas tentang tenun ikat Sikka menggunakan bahan pewarna alam, akan saya tulis secara khusus ya. Nantikan saja tulisan berikutnya di Kompasiana].
Nasi yang kedua ini  berwarna agak kekuningan dari hasil percampuran jagung dan ubi kayu, serta kelihatan ada bulir lembut kacang ijo. Saya pun sigap menyendok nasi yang dicampur jagung, kacang ijo berikut ubi kayu ini. Pikir saya sederhana saja, ini nasi yang anti-mainstream ... heheheheee
Lalu lauk pauknya apa? Waaahhhh ... luar biasa banget semua. Saya sebutkan satu per satu ya supaya pada kepingin. Lauk utama diantarkan kepada Lutgardis dalam bentuk bambu yang sudah bekas dibakar. Ya, inilah yang dinamakan tuin ayam.
Dimasak dengan cara dimasukkan dalam bambu yang kemudian dibakar selama sekitar 30 menit. Apa saja bahan-bahannya? Sudah pasti, daging ayam yang disuwir, dicampur dengan wortel parutan kelapa setengah tua.
Sesudah diberi bumbu-bumbu lalu dibakar dalam bambu itu tadi. Hasil bentukannya, seperti bumbu urap tapi berwarna putih kekuningan, lengkap dengan segala campurannya. Rasanya? Gurih dan endhesssss!
Kemudian ada pepes yang dibalut atau dibungkus daun kelapa. Ini pepes sayuran yang dinamakan pepes rumpu rampe. Isinya campuran aneka sayuran, mulai dari bunga papaya, kacang panjang, tauge, dan jantung pisang. Semua diiris-iris dan dijadikan satu dengan bumbu yang sudah pasti mengundang selera. Buat yang vegetarian, cocok banget nih.
Dan sesudah makaaaannnnn ... eng ing eeeeeng, disuguhkanlah minuman bening yang namanya moke. Ini bukan sembarang air putih, melainkan semacam arak yang dibuat dari buah lontar.
Wanginya tajam laksana bau alkohol yang menyengat. Saya sendiri kurang berani icip-icip. Hanya membaui dan merasakannya di ujung lidah, kurang berani melanjutkan untuk ambil satu sloki.
Gelas sloki kecilnya terbuat dari batok kelapa warna coklat tua. Mama-mama menyuguhkan Moke menggunakan potongan bambu besar panjang yang ujungnya dipotong runcing sebagai wadah simpan. Sebut sajalah ibarat "botol alami".
"Moke ini air kata-kata," ujar Andinoercahyo, salah seorang anggota rombongan kami sambil meneguk moke, lagi dan lagi.
Semua sudah akrab. Mencair hubungannya dengan sudah saling kenal mengenal. Sehingga tak ayal, semua kita ikut berjoget, menari bersama. Kalaupun ada diantara rombongan tamu yang ragu untuk ikutan menari pun, maka mama-mama dan bapak-bapak yang menari akan perlahan-lahan membujuk supaya ikutan bergoyang bersama.
Kaki-kaki warga Dusun Botang ini lagi-lagi banyak yang bergerincing karena suara kerincingan yang mengikat di kedua mata kaki. Tubuh mereka lemas bergoyang, kadang agak membungkuk, mengangguk, berputar setengah lingkaran kiri dan kanan. Aaaiiihhhh ... senangnya melihat semua melakukan gerak tarian sambil terkadang berteriak memekikkan suara-suara pengundang semangat. Kadang pula tertawa gembira. Tak ada yang sedih.
Sambil menari, banyak yang menggunakan kain tenun ikat sebagai peranti tari. Sedangkan warga lokal ada yang di kedua tangannya menggenggam semacam gagang kayu pendek yang menggantung ekor kuda. Gagang kayu ini dikibas-kibas, diputar-putar, sehingga otomatis ekor kuda yang kira-kira sejengkal tangan panjangnya ini pun terkibas juga memutar.
"Ini ekor kuda asli. Kuda, dipercaya oleh masyarakat lokal di sini sebagai 'kendaraan' untuk pergi atau melakukan perjalanan ke alam lain.
"Biasanya kalau ada orang tua kita yang meninggal dunia, maka anak laki-lakinya harus menyiapkan seekor kuda untuk menjadi sesembahan ritual, atau diritualkan."
"Mereka percaya bahwa roh yang meninggal dunia ini akan pergi ke dunia yang lain sambil menunggang kuda. Biasanya, peranti ekor kuda ini biasanya dipakai untuk alat tari dan mereka percaya bahwa spirit orang yang sudah meninggal dunia tadi berada dekat atau bersama dengan mereka. Sehingga mereka yang sudah meninggal dunia itu tetap selalu melihat, memperhatikan dan juga menjaga sanak keluarganya yang masih hidup di dunia," jelas Daniel yang mengenakan kemeja putih lengan panjang tapi digulung, dan bersarung warna biru tua serta bersyal hijau muda yang terbuat dari tenun ikat hasil karya menggunakan pewarna bahan alami (bukan pewarna zat kimia).
Begitulah adat istiadat warga Dusun Botang, Desa Munerana, Kecamatan Hewokloang, Kabupaten Sikka, NTT dalam menerima kedatangan dan melepas kepergian tamu di lingkungan mereka.
Begitu ramah, akrab, sopan-santun, hangat dan bersahabat, serta yang pasti tidak melupakan tradisi leluhur pun kearifan lokal yang sudah tertanam sejak lama. Semoga hal yang seperti ini menginspirasi kita semua, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) kaya akan ragam kebudayaan.
Toleransi atas keberagaman harus menjadi landasan persatuan dan kesatuan kita sebagai sesama anak bangsa.
Salam juga buat tuin ayam-nya, uenak sekaleeeeeee ...
o o o O o o o
Baca juga tulisan reportase travel NTT lainnya:
Tuhan Titipkan Sorgum lewat Maria Loretha
Tonton juga VLOG-nya di sini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI