Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Hangatnya Adat Sambut dan Lepas Tamu di Kabupaten Sikka

6 Juli 2018   14:46 Diperbarui: 6 Juli 2018   22:24 3258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tiga diantara mama-mama yang menyambut dan menemani perjamuan kehadiran tamu rombongan. (Foto: Gapey Sandy)

"Sebagai simbol kekeluargaan dan keramahtamahan, tamu selalu disuguhi pinang, sirih dan kapur. Untuk dikunyah secara bersama-sama. Ada juga rokok yang tembakaunya dilinting dan diikat dengan daun lontar kering. Silakan dinikmati. Kalau tidak bersedia mengunyah pinang, sirih dan kapur, atau juga tidak merokok, ya tidak mengapa asal tetap dipegang saja semua suguhan penyambutan tamu ini sebagai pertanda apresiasi tamu kepada tuan rumah."

Demikian disampaikan Daniel David, Direktur Na'ni House Flores ketika mewakili masyarakat dalam menyambut saya beserta rombongan di Dusun Botang, Desa Munerana, Kecamatan Hewokloang, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), pada Jumat (29/6/2018).

Dusun Botang berjarak sekitar 21 Km dari Bandar Udara Frans Seda Maumere, atau sekitar 1 jam perjalanan dengan bermobil. Adapun Na'ni House Flores adalah lembaga yang berdiri sejak Oktober 2014 dan punya misi di antaranya untuk melestarikan budaya tradisional di Kabupaten Sikka, Flores, lewat dukungan kreasi budaya tenun ikat yang berkelanjutan dengan memanfaatkan kearifan lokal di bidang pertanian dan menciptakan keseimbangan alam.

Sesuai urutan yang disarankan, saya pun mengambil mengambil sepotong pinang lalu sirih dan kemudian langsung masuk mulut untuk digigit dan dikunyah. Baru kemudian menyusul sejumput bubuk kapur yang bentuknya bubuk putih. Saya kunyah lagi. Wheeewwww ... rasanya nano-nano, meskipun yang dominan adalah sepat.

Karena merasa hasil kunyahan saya kurang menghasilkan warna oranye kemerahan, lagi-lagi sesuai arahan, saya mengambil lagi sejumput kapur. Semakin nano-nano lah rasanya.

"Kalau sudah dirasa cukup kunyahannya di mulut, semua boleh ditelan, tapi boleh juga dibuang," ujar Daniel. Tanpa menunggu lama, sambil membelakangi badan, saya pun perlahan-lahan meludahkan semuanya. Warna oranye terang yang keluar dari hasil kunyahan di mulut saya. Aaaahhh ... lega, dan anehnya, mulut saya kok terasa segar. Apakah ini pertanda doyan?

Peta arah menuju Dusun Botang, Desa Munerana, Kec Hewokloang, Kab Sikka, NTT dari Bandar Udara Frans Seda Maumere. (Sumber: Google Maps)
Peta arah menuju Dusun Botang, Desa Munerana, Kec Hewokloang, Kab Sikka, NTT dari Bandar Udara Frans Seda Maumere. (Sumber: Google Maps)
Ritual sambut tamu. Disambut percikkan air terlebih dahulu oleh tetua adat. (Foto: Gapey Sandy)
Ritual sambut tamu. Disambut percikkan air terlebih dahulu oleh tetua adat. (Foto: Gapey Sandy)
Selesai upacara makan pinang, sirih dan kapur bersama-sama. Mulailah saat-saat yang lebih enteng "ritual"-nya. Apalagi kalau bukan merokok!

Silakan lihat bentuk rokoknya di jepretan foto. Bagus ya. Dilinting pakai daun lontar kering warna kuning, ada ikatannya pula. Jangan terbalik lho ya, karena yang harusnya menempel diantara kedua bibir adalah yang sisinya lebih panjang dari ikatan tali.

Sudah lama saya tidak merokok. Pun bukan perokok jarang-jarang. Tapi, begitu mengisap rokok ala Desa Munerana ini, aaahhhh ... citarasanya 'kok ... nganu, eh, apa itu, enaaaakkkk banget ... hahahaaa

Lama juga rokok ini habisnya. Padahal sepertinya cuma kayak rokok-rokokan, tapi kok lama juga habisnya, dan jujur, enggak bikin batuk. Saya bilang juga apa, ini antara rokoknya yang enak dengan doyan, beda tipis ... hahahahaaa.

Saya pun mengisapnya, lagi ... dan, lagi ... Enggak mau kalahlah saya dengan Ibu Eet, Ibu Lis, Ibu Ridha dan Ibu Ayu, para perempuan dalam rombongan yang semuanya terlihat asyik merokok tembakau pakai daun lontar sebagai "papir". Semua tamu merokok, semua tamu happy ... begitu juga dengan mama-mama dan para bapak yang melayani sebagai tuan rumah.

Adapun para pengladen atau pelayan yang bolak-balik ke dalam rumah dan lokasi penyambutan tamu  adalah anak-anak muda. Mereka ini bolak-balik mengambil dan membawa suguhan untuk para tamu. Mulai dari pinang, sirih dan kapur, juga rokok. Semua diwadahi dengan keranjang anyaman daun lontar berukuran kecil.

Tiga diantara mama-mama yang menyambut dan menemani perjamuan kehadiran tamu rombongan. (Foto: Gapey Sandy)
Tiga diantara mama-mama yang menyambut dan menemani perjamuan kehadiran tamu rombongan. (Foto: Gapey Sandy)
Daniel David (baju putih) mewakili kata sambutan menerima kehadiran rombongan di Dusun Botang, Desa Munerana, Kec Hewokloang, Kab Sikka, NTT. (Foto: Gapey Sandy)
Daniel David (baju putih) mewakili kata sambutan menerima kehadiran rombongan di Dusun Botang, Desa Munerana, Kec Hewokloang, Kab Sikka, NTT. (Foto: Gapey Sandy)
Semua tuan rumah mengenakan pakaian adat tradisional, semua pakai sarung dari tenun ikat. Mama-mama berbusana blouse warna pink cenderung maroon, lengkap dengan sarung tenun ikat warna merah tua kecoklatan juga kebiruan. Ada juga di motifnya warna hitam dan putih.

Rambut mereka digelung ke atas belakang tapi tidak seperti sanggul. Mereka mengenakan gelang, kalung dan anting. Beberapa di antaranya memakai kerincingan (seperti alat musik perkusi) di pergelangan kaki. Sehingga kalau berjalan, bunyinya jadi kemrincing, rame.

Sedangkan para bapak, mengenakan beberapa asesori janur kelapa di kepala dan kedua lengan di atas siku. Mereka bertelanjang dada. Ada yang mengenakan kalung manik-manik panjang, dengan mata kalung seperti kuku atau taring binatang yang bentuknya sabit dan meruncing. Tapi ada juga yang berkalung biji-bijian, dan tetap dengan mata kalung berbentuk kuku atau taring sabit nan runcing.

Oh ya, balik lagi ke awal sedikit. Bunyi kemrincing di pergelangan kaki ini terasa banget terdengar, apalagi ketika saya dan rombongan baru turun dari kendaraan, lalu disambut dengan upacara adat yang antara lain menyuguhkan tarian berikut musik tradisional. Musiknya sederhana saja. Dimainkan secara rancak oleh para bapak, pemuda dan anak-anak lelaki. Ada tetabuhan juga kenong atau gong kecil.

Sebelum musik dimainkan, tetua adat memberi sambutan dengan memercikkan air bening dengan sehelai daun ke kepala dan sedikit ke dahi. Cipratan airnya terasa dingin menyegarkan. Kemudian, dua orang perwakilan dari kami dianugerahkan pengalungan kain tenun ikat. Barulah kemudian musik dimainkan, sembari mengajak rombongan untuk terus berjalan menuju lokasi perjamuan tamu.

Perjamuan ini menggunakan meja dari bambu panjang - bertaplakan anyaman janur kelapa - dan kursi-kursi kayu serta plastik. Semua duduk rapi saling berhadapan. Akrab dan sangat menonjolkan keramah-tamahan.

Paling kiri dan kanan adalah pinang, sirih dan kapur untuk dikunyah bersama. Tengah atas adalah rokok yang dilinting daun lontar. Dan tengah bawah adalah tembakau untuk menginang. (Foto: Gapey Sandy)
Paling kiri dan kanan adalah pinang, sirih dan kapur untuk dikunyah bersama. Tengah atas adalah rokok yang dilinting daun lontar. Dan tengah bawah adalah tembakau untuk menginang. (Foto: Gapey Sandy)
Peragaan menyilangkan kedua tangan dan memegang telinga adalah trik untuk menghilangkan perasaan mabuk sesudah mengunyah pinang, sirih dan kapur. (Foto: Gapey Sandy)
Peragaan menyilangkan kedua tangan dan memegang telinga adalah trik untuk menghilangkan perasaan mabuk sesudah mengunyah pinang, sirih dan kapur. (Foto: Gapey Sandy)
Nah barulah kemudian perjamuan mengunyah pinang, sirih dan kapur disajikan. Rokok-rokok lintingan daun lontar pun tidak ketinggalan. Para pemuda dan pemudi bergantian membawa keranjang anyaman daun lontar. Isinya?Ya sajian itu semua.

"Kadang-kadang, ada yang terasa sedikit mabuk karena mengunyah pinang, sirih dan kapur. Kami di sini, punya cara untuk mengatasi rasa mabuk itu. Caranya? Menyilangkan kedua tangan di depan dada, lalu tangan kanan menarik kuping kiri, sedangkan tangan kiri menarik kuping kanan," jelas Daniel sembari disambut gelak tawa semua yang hadir.

Meski sambil tertawa, semua mencoba trik untuk mengilangkan rasa mabuk itu. Saya pun mencobanya seraya memperhatikan seorang mamak memeragakannya. Ampuh atau tidak trik ini, saya kurang bisa merasakan, lha wong saya enggak merasa mabuk ... heheheheee

Habis mengunyah pinang, sirih dengan kapur bubuk, perjamuan dilanjutkan dengan merokok bersama. 'Kan tadi sudah dikasih tahu bagaimana wujud rokoknya, nah sekarang, cara menyalakan rokoknya pun tidak dengan menggunakan korek api kayu atau korek api gas. Tapi, menggunakan cara tradisional, yaitu membuat api melalui gesekan bambu kering.

Seorang bapak mulai memeragakan membuat api. Saya melihat ada gelondongan batang kayu, sepertinya kayu kelapa besar. Lalu, di atasnya ada potongan bilah bambu yang diisi dengan serabut kelapa kering. Bapak ini kemudian menggesek potongan bilah bambu dengan bambu lainnya. Gerakannya cepat dan sekuat tenaga. Alhasil, terjadi gesekan panas yang memercikkan api.

Percikan api ini yang kemudian coba digunakan untuk membakar serabut kelapa kering tadi. Mulanya asap muncul, kemudian bapak ini meniup sering-sering ke arah serabut kelapa yang sudah terkena percikan api. Kemudian ... tarrraaaaaa ... api muncul membakar serabut kelapa kering. Inilah yang kemudian digunakan untuk menyundut rokok lintingan daun lontar yang sudah terselip di antara bibir para tamu, termasuk saya.

Sekejap rokok menyala, dan kepul-kepul, mulai kami semua merokok. Uuupppssss ... ini bukan mengajarkan untuk merokok ya, maaf, ini adat, tradisi masyarakat Dusun Botang dalam menyambut, menghormati dan menjamu para tamu.

Usaha membuat api dengan menggesekkan bilah bambu dan serabut kelapa kering. (Foto: Gapey Sandy)
Usaha membuat api dengan menggesekkan bilah bambu dan serabut kelapa kering. (Foto: Gapey Sandy)
Menyalakan rokok lintingan daun lontar menggunakan bara api. (Foto: Gapey Sandy)
Menyalakan rokok lintingan daun lontar menggunakan bara api. (Foto: Gapey Sandy)
Kelar merokok. Suguhan masih ada lagi. Apa itu? Air kelapa muda. Diminum tidak dengan gelas, melainkan langsung dari buah kelapanya yang sudah dipapas bagian atas dan ditancapkan bambu kecil sebagai sedotannya. Ingat, bukan pakai sedotan plastik ya, ini sedotan bambu.

Minuman air kelapa ini disajikan berbarengan dengan suguhan kue tradisional yang dinamakan kue lekun. Kue berwarna ungu kehitaman ini terbuat dari beras hitam yang dicampur dengan kelapa parut juga gula. Cara memasaknya, dibakar dalam bambu.Teksturnya empuk, lembut, kenyal, agak lengket alias tidak gembur.

Sambil menyantap kue lekun dan menyeruput air kelapa, saya dan rombongan menyimak paparan mengenai tenun ikat Sikka yang diproduksi oleh para mama-mama di sini.

Mereka semua tergabung dalam kelompok penenun yang diberi nama "Akasia" yang didirikan pada 2009 lalu. Selain menenun, Mama-mama di Akasia ini juga memproduksi atau mengolah panganan lokal (pisang, jagung dan umbi-umbian) untuk dijual demi menambah kesejahteraan keluarga.

Ketua Kelompok "Akasia" adalah Lutgardis Bungaeldis (46). Ia akrab disapa Mama Gardis dan merupakan istri dari Hermanus Hermanto (49) serta ibu dari 4 orang anak.

"Tenun ikat yang kami produksi menggunakan bahan pewarna alam, bukan pewarna dari bahan kimia," ujar Mama Gardis kepada saya. [Khusus mengulas tentang tenun ikat Sikka menggunakan bahan pewarna alam, akan saya tulis secara khusus ya. Nantikan saja tulisan berikutnya di Kompasiana].

Mama Gardis, Ketua Kelompok Penenun Tenun Ikat dengan Bahan Pewarna Alami AKASIA. (Foto: Gapey Sandy)
Mama Gardis, Ketua Kelompok Penenun Tenun Ikat dengan Bahan Pewarna Alami AKASIA. (Foto: Gapey Sandy)
Suguhan Kue Lekun dan air kelapa segar. (Foto: Gapey Sandy)
Suguhan Kue Lekun dan air kelapa segar. (Foto: Gapey Sandy)
Ketika matahari semakin meninggi, saatnya santap siang. Lagi-lagi, para pemuda-pemudi sibuk mengeluarkan aneka suguhan. Kali ini makan "berat". Nasinya saja ada dua macam: nasi beras merah, dan nasi jagung yang dicampur kacang ijo plus ubi kayu.

Nasi yang kedua ini  berwarna agak kekuningan dari hasil percampuran jagung dan ubi kayu, serta kelihatan ada bulir lembut kacang ijo. Saya pun sigap menyendok nasi yang dicampur jagung, kacang ijo berikut ubi kayu ini. Pikir saya sederhana saja, ini nasi yang anti-mainstream ... heheheheee

Lalu lauk pauknya apa? Waaahhhh ... luar biasa banget semua. Saya sebutkan satu per satu ya supaya pada kepingin. Lauk utama diantarkan kepada Lutgardis dalam bentuk bambu yang sudah bekas dibakar. Ya, inilah yang dinamakan tuin ayam.

Dimasak dengan cara dimasukkan dalam bambu yang kemudian dibakar selama sekitar 30 menit. Apa saja bahan-bahannya? Sudah pasti, daging ayam yang disuwir, dicampur dengan wortel parutan kelapa setengah tua.

Sesudah diberi bumbu-bumbu lalu dibakar dalam bambu itu tadi. Hasil bentukannya, seperti bumbu urap tapi berwarna putih kekuningan, lengkap dengan segala campurannya. Rasanya? Gurih dan endhesssss!

KIRI: Nasi jagung dicampur kacang ijo dan ubi kayu. KANAN: Nasi beras merah. (Foto: Gapey Sandy)
KIRI: Nasi jagung dicampur kacang ijo dan ubi kayu. KANAN: Nasi beras merah. (Foto: Gapey Sandy)
Tuin Ayam yang dimasak dalam bambu dan dibakar. (Foto: Gapey Sandy)
Tuin Ayam yang dimasak dalam bambu dan dibakar. (Foto: Gapey Sandy)
Lalu ada yang namanya ikan tulang sereh. Bentuknya seperti sate lilit di Bali, tapi pegangannya menggunakan sulur sereh, sedangkan bonggol serehnya digunakan untuk melilitkan daging Ikan Tongkol yang dibentuk seperti sate lilit tadi. Warna akhirnya menjadi coklat. Tercium harumnya sereh sehingga menetralisir bau amis ikan.

Kemudian ada pepes yang dibalut atau dibungkus daun kelapa. Ini pepes sayuran yang dinamakan pepes rumpu rampe. Isinya campuran aneka sayuran, mulai dari bunga papaya, kacang panjang, tauge, dan jantung pisang. Semua diiris-iris dan dijadikan satu dengan bumbu yang sudah pasti mengundang selera. Buat yang vegetarian, cocok banget nih.

Dan sesudah makaaaannnnn ... eng ing eeeeeng, disuguhkanlah minuman bening yang namanya moke. Ini bukan sembarang air putih, melainkan semacam arak yang dibuat dari buah lontar.

Wanginya tajam laksana bau alkohol yang menyengat. Saya sendiri kurang berani icip-icip. Hanya membaui dan merasakannya di ujung lidah, kurang berani melanjutkan untuk ambil satu sloki.

Gelas sloki kecilnya terbuat dari batok kelapa warna coklat tua. Mama-mama menyuguhkan Moke menggunakan potongan bambu besar panjang yang ujungnya dipotong runcing sebagai wadah simpan. Sebut sajalah ibarat "botol alami".

"Moke ini air kata-kata," ujar Andinoercahyo, salah seorang anggota rombongan kami sambil meneguk moke, lagi dan lagi.

Pepes sayuran yang dinamakan Rumpu Rampe. (Foto: Gapey Sandy)
Pepes sayuran yang dinamakan Rumpu Rampe. (Foto: Gapey Sandy)
Ikan Tulang Sereh seperti Sate Lilit di Bali. (Foto: Gapey Sandy)
Ikan Tulang Sereh seperti Sate Lilit di Bali. (Foto: Gapey Sandy)
Akhirnya, tibalah rombongan untuk berpamitan meninggalkan Dusun Botang. Sama seperti ketika datang, seluruh warga tumpah ruah melakukan tari-tarian terlebih dahulu. Tentu dengan iringan musik tetabuhan dan kenong yang alunannya seolah terdengar sama terus melodinya. Bedanya dengan tarian melepas tamu pulang ini, antara tuan rumah dengan rombongan kami sudah tidak ada lagi rasa canggung.

Semua sudah akrab. Mencair hubungannya dengan sudah saling kenal mengenal. Sehingga tak ayal, semua kita ikut berjoget, menari bersama. Kalaupun ada diantara rombongan tamu yang ragu untuk ikutan menari pun, maka mama-mama dan bapak-bapak yang menari akan perlahan-lahan membujuk supaya ikutan bergoyang bersama.

Kaki-kaki warga Dusun Botang ini lagi-lagi banyak yang bergerincing karena suara kerincingan yang mengikat di kedua mata kaki. Tubuh mereka lemas bergoyang, kadang agak membungkuk, mengangguk, berputar setengah lingkaran kiri dan kanan. Aaaiiihhhh ... senangnya melihat semua melakukan gerak tarian sambil terkadang berteriak memekikkan suara-suara pengundang semangat. Kadang pula tertawa gembira. Tak ada yang sedih.

Sambil menari, banyak yang menggunakan kain tenun ikat sebagai peranti tari. Sedangkan warga lokal ada yang di kedua tangannya menggenggam semacam gagang kayu pendek yang menggantung ekor kuda. Gagang kayu ini dikibas-kibas, diputar-putar, sehingga otomatis ekor kuda yang kira-kira sejengkal tangan panjangnya ini pun terkibas juga memutar.

Daniel David menunjukkan ekor kuda yang biasa digunakan untuk upacara adat. (Foto: Gapey Sandy)
Daniel David menunjukkan ekor kuda yang biasa digunakan untuk upacara adat. (Foto: Gapey Sandy)
Apa makna ekor kuda ini?

"Ini ekor kuda asli. Kuda, dipercaya oleh masyarakat lokal di sini sebagai 'kendaraan' untuk pergi atau melakukan perjalanan ke alam lain.

"Biasanya kalau ada orang tua kita yang meninggal dunia, maka anak laki-lakinya harus menyiapkan seekor kuda untuk menjadi sesembahan ritual, atau diritualkan."

"Mereka percaya bahwa roh yang meninggal dunia ini akan pergi ke dunia yang lain sambil menunggang kuda. Biasanya, peranti ekor kuda ini biasanya dipakai untuk alat tari dan mereka percaya bahwa spirit orang yang sudah meninggal dunia tadi berada dekat atau bersama dengan mereka. Sehingga mereka yang sudah meninggal dunia itu tetap selalu melihat, memperhatikan dan juga menjaga sanak keluarganya yang masih hidup di dunia," jelas Daniel yang mengenakan kemeja putih lengan panjang tapi digulung, dan bersarung warna biru tua serta bersyal hijau muda yang terbuat dari tenun ikat hasil karya menggunakan pewarna bahan alami (bukan pewarna zat kimia).

Begitulah adat istiadat warga Dusun Botang, Desa Munerana, Kecamatan Hewokloang, Kabupaten Sikka, NTT dalam menerima kedatangan dan melepas kepergian tamu di lingkungan mereka.

Begitu ramah, akrab, sopan-santun, hangat dan bersahabat, serta yang pasti tidak melupakan tradisi leluhur pun kearifan lokal yang sudah tertanam sejak lama. Semoga hal yang seperti ini menginspirasi kita semua, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) kaya akan ragam kebudayaan.

Toleransi atas keberagaman harus menjadi landasan persatuan dan kesatuan kita sebagai sesama anak bangsa.

Bunyi kemrincing di pergelangan kaki. (Foto: Gapey Sandy)
Bunyi kemrincing di pergelangan kaki. (Foto: Gapey Sandy)
Kaum lelaki memainkan musik pengiring tari. (Foto: Gapey Sandy)
Kaum lelaki memainkan musik pengiring tari. (Foto: Gapey Sandy)
Terima kasih untuk semua penerimaan dan kebaikan hati para mama-mama, bapak-bapak, kakak dan adik-adik di Desa Munerana, Kabupaten Sikka. Insya Allah, suatu saat kami akan kembali.

Salam juga buat tuin ayam-nya, uenak sekaleeeeeee ...

o o o O o o o

Baca juga tulisan reportase travel NTT lainnya:

Tuhan Titipkan Sorgum lewat Maria Loretha

Tonton juga VLOG-nya di sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun