Nasi yang kedua ini  berwarna agak kekuningan dari hasil percampuran jagung dan ubi kayu, serta kelihatan ada bulir lembut kacang ijo. Saya pun sigap menyendok nasi yang dicampur jagung, kacang ijo berikut ubi kayu ini. Pikir saya sederhana saja, ini nasi yang anti-mainstream ... heheheheee
Lalu lauk pauknya apa? Waaahhhh ... luar biasa banget semua. Saya sebutkan satu per satu ya supaya pada kepingin. Lauk utama diantarkan kepada Lutgardis dalam bentuk bambu yang sudah bekas dibakar. Ya, inilah yang dinamakan tuin ayam.
Dimasak dengan cara dimasukkan dalam bambu yang kemudian dibakar selama sekitar 30 menit. Apa saja bahan-bahannya? Sudah pasti, daging ayam yang disuwir, dicampur dengan wortel parutan kelapa setengah tua.
Sesudah diberi bumbu-bumbu lalu dibakar dalam bambu itu tadi. Hasil bentukannya, seperti bumbu urap tapi berwarna putih kekuningan, lengkap dengan segala campurannya. Rasanya? Gurih dan endhesssss!
Kemudian ada pepes yang dibalut atau dibungkus daun kelapa. Ini pepes sayuran yang dinamakan pepes rumpu rampe. Isinya campuran aneka sayuran, mulai dari bunga papaya, kacang panjang, tauge, dan jantung pisang. Semua diiris-iris dan dijadikan satu dengan bumbu yang sudah pasti mengundang selera. Buat yang vegetarian, cocok banget nih.
Dan sesudah makaaaannnnn ... eng ing eeeeeng, disuguhkanlah minuman bening yang namanya moke. Ini bukan sembarang air putih, melainkan semacam arak yang dibuat dari buah lontar.
Wanginya tajam laksana bau alkohol yang menyengat. Saya sendiri kurang berani icip-icip. Hanya membaui dan merasakannya di ujung lidah, kurang berani melanjutkan untuk ambil satu sloki.
Gelas sloki kecilnya terbuat dari batok kelapa warna coklat tua. Mama-mama menyuguhkan Moke menggunakan potongan bambu besar panjang yang ujungnya dipotong runcing sebagai wadah simpan. Sebut sajalah ibarat "botol alami".
"Moke ini air kata-kata," ujar Andinoercahyo, salah seorang anggota rombongan kami sambil meneguk moke, lagi dan lagi.