"Tulis saja nama saya, Mama Sorgum," ujar perempuan setengah baya ini kepada saya. Saya pun mengetikkan nama lengkapnya ke daftar kontak smartphone: Maria Loretha 'Mama Sorgum'.
Maria Loretha? Mama Sorgum? Emangnya siapa dia?
Buat sebagian kita, nama ini memang bukan siapa-siapa. Tapi di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), Maria Loreta -- akrab disapa Mama Tata -- adalah seorang bunda yang melahirkan kembali sorgum. Bukan cuma reborn, ia membawa sorgum ke puncak daftar tertinggi produk panganan pokok masyarakat sehari-hari. Posisi Sorgum pun memuncaki rating panganan pokok, menyalip ubi, ketela, jagung termasuk beras.
Perjuangan Mama Tata memasyarakatkan kembali sorgum sebagai salah satu benteng pertahanan pangan pokok rakyat bukan tanpa aral melintang. Banyak tantangan dan suka dukanya. Tapi semua jerih payah Mama Tata seakan sirna manakala pagi ini, saya bersama sejumlah rekan diajaknya berkeliling melihat langsung lahan tandus bebatuan yang justru subur dengan pepohonan sorgum.
Di beberapa petak lahan sorgum, Mama Tata mengajak kami berhenti. Bukan istirahat! Malah justru ia menerangkan tentang permukaan tanah yang berhumus subur dan lembab akibat tertutup dedaunan kering. "Lihat, betapa unggulnya pohon sorgum ini. Ia bisa tumbuh di sela bebatuan. Luar biasa kaya akan pangan NTT ini. Tak perlu merasa kekurangan pangan," ujarnya seraya menunjuk beberapa pohon sorgum yang tetap tumbuh dengan kokoh meski di lahan yang berserakan bebatuan aneka ukuran.
Lahan sorgum yang kami blusukan bersama ini terletak di Desa Likotuden, Kelurahan Kawalelo, Kecamatan Demon Pagong, Kabupaten Flores Timur, NTT. Kawalelo merupakan kependekan dari Kawa Liko Tuden Lelo Herin Lela yang berarti "tenteram dalam benteng pertahanan".Â
Desa ini berbatasan sisi Utara dengan Desa Blepanawa, Selatan dengan Desa Lamuda, Timur dengan Selat Solor, dan Barat dengan Desa Watotikaile. Di Dusun Likotuden, Desa Kawalelo inilah Mama Tata tinggal bersama suami dan anaknya. Memilih untuk menjadi petani dengan menanam dan mengolah sorgum serta beraneka tanaman ungulan lainnya.
Normalnya sih, perjalanan bisa ditempuh dengan sekitar 3 jam, tapi karena ada perbaikan sarana jalan di sekitar Kawalelo, maka jarak sejauh kira-kira 120 km ini kami tempuh hingga lebih dari 4 jam. Tapi, ini sudah termasuk istirahat rombongan di tengah perjalanan untuk santap malam di sebuah restoran Minang yang lokasinya di seberang Mapolres Flores Timur Sektor Wulanggitang (Desa Boru, Kecamatan Wulanggitang). [Klik dehini Google Maps-nya]
"Likotuden ini dusun yang paling ujung Selatan dari Kabupaten Flores Timur. Bahkan di Google Maps saja nihil pencarian. Sinyal handphone juga tidak semua ada di setiap area. Meskipun pada beberapa spot, sinyal handphone cukup kuat," ujar Mama Tata menggambarkan betapa pelosoknya Desa Likotuden ini.
Dari hamparan lahan sorgum yang kami sambangi, Selat Solor di Laut Flores nampak membiru dengan ombak yang tenang. Sementara di seberang nampak Pulau Ile Mandiri, Pulau Adonara, Pulau Lembata, dan Pulau Solor yang kelihatan lebih memanjang.
Tak bisa bohong, Mama Tata langsung kepincut hati dan lidahnya dengan rasa sorgum yang mak nyus. Sejak itulah, ia bertekad mencari benih sorgum, sekaligus rela berpeluh-bermandi keringat serta berkalang tanah supaya bisa bercocok tanam sorgum di kebun miliknya.Â
Pencarian Mama Tata memperoleh benih sorgum akhirnya berhasil. Ia mendapatkan benih sorgum pertamanya di Desa Nobo, Kec Ilebura. Keseriusannya menanam sorgum baru dilakukan pada 2007, sesudah mencari dan menemukan beberapa varietas benih sorgum.
Selain bertani sorgum dan komoditas lainnya, Mama Tata saat ini menjadi semakin super sibuk karena banyak melakukan pendampingan penanaman sorgum kemana-mana. Istri dari Jeremias D. Letor dan ibu dari lima anak ini bahkan sudah punya puluhan kelompok tani yang tersebar di 8 kabupaten, seperti di Flores Timur, Ende, Sikka, Nagekeo, Manggarai Barat, Sumba Timur, Rote Ndao, dan Lembata. Luar biasa!
Berikut ini wawancara saya dengan Mama Tata alias Maria Loretha, sang "Mama Sorgum" di kediamannya di Dusun Likotudeng, Desa Kawalelo, Kec Demon Pagong, Kab Flores Timur, NTT, pada 30 Juni 2018 kemarin:
Ada berapa varietas sorgum di sini?
Untuk di Likotuden ada 6 varietas sorgum yang kita kembangkan, yaitu Kwali, Super-1 dan Okin. Ada juga Numbu, Wolo dan Waiotan, yang nampaknya kurang diminati oleh masyarakat sekitar. Karena, pohonnya tinggi sekali lebih dari 2,5 -- 7 meter. Terutama varietas Wolo yang merupakan benih sorgum lokal, umurnya sangat dalam, artinya baru bisa dipanen sekitar kurang lebih 6 bulan.Â
Adapun varietas yang lainnya, terutama Kwali, lebih disukai karena umur genjah, sekitar 3 bulan panen dan tinggi pohonnya hanya 1,2 -- 1,5 meter. Â
Mana yang paling enak?
Ini 'kan untuk pangan, bijinya. Dari semua yang disukai karena rasanya enak bagi petani adalah Kwali. Warnanya agak putih menjurus krem. Lalu varietas Okin yang pulen, dan Super-1 itu juga enak. Warnanya mirip-mirip, cuma tetap ada beda tekstur warnanya, ada yang putih krem, putih gading, dan putih susu.
Awal pejuangan mengembangkan sorgum khususnya di Likotuden ini kapan dan bagaimana?
Perjuangan awal kita ketika membuka program pilot project pada 2014 bersama Yayasan Pembangunan Sosial Ekonomi Larantuka (Yaspensel) bersama Romo Benyamin Daud. Waktu itu, Bapak Uskup Larantuka Mgr Fransiskus Kopong Kung, Â juga meminta kami untuk mencoba mengembangkan sorgum di Likotuden ini.Â
Pada 2014 itu banyak tantangan, artinya masyarakat ini lupa dengan makanannya sendiri yang pernah menjadi bagian dalam hidup mereka sebelum tahun '70-an. Waktu itu, walaupun mereka melakukan penolakan dan perlawanan tapi mereka tetap menanamnya. Terus berkembang hingga sekarang ini sudah masuk pada tahun keempat.
Ya, karena mereka lupa. Mereka juga ragu apakah sorgum bisa tumbuh karena kondisi tanah lahan pertaniannya kering dan bebatuan. Mereka sendiri awalnya juga enggak yakin dengan itu semua. Tapi ternyata, setelah mereka tanam, tumbuh, kemudian semakin besar, sampai panen, mereka semua terkejut bahwa ternyata hasilnya lebih banyak daripada padi dan jagung. Dari segi rasanya pun sama seperti padi dan jagung. Semua karena ketidakpahaman mereka.
Pada 2014 dulu itu, sebenarnya sudah bertumbuhankah sorgum di sini?
Ada, ya, ada. Masih ada sisa-sisa sorgum lokal yang tingginya kurang lebih 3-5 meter, tapi varietas ini berkulit. Kalaupun yang tidak berkulit, warnanya coklat, dengan nama asli daerah yaitu wata blolong.Â
Kalau nama sorgum itu 'kan nama latin. Jadi ketika saya menyebutkan wata blolong, barulah mereka mengerti bahwa itulah yang juga dimaksud sebagai sorgum.
Di Likotuden ini berapa hektar lahan yang sudah ditanami sorgum?
Sekarang ini, di Dusun Likotuden ini saja kurang lebih ada 40 hektar lahan yang ditanami sorgum. Sedangkan untuk skup Desa Kawalelo, ada 71 hektar lahan yang ditanami sorgum, termasuk di Likotuden ini. Sedangkan penanaman sorgum 31 hektar sisanya lagi, ada di 2 dusun lain yaitu Bao Uran dan Wolo Wutun yang lokasinya jauh lebih ke atas lagi. Sebagai catatan, untuk yang di dusun sebelah atas ini, baru dilakukan penanaman sorgum pada tahun 2018 ini.
Penghargaan masyarakat terhadap sorgum, utamanya terjadi pada tahun ketiga penanaman sorgum, 2017. Terbukti dengan ketika masyarakat membuka lahan sorgum seluas-luasnya. Juga ketika mereka sudah melaksanakan pasca panen, inilah momentum yang penting, sekaligus menjadi bukti bahwa mereka peduli dengan sorgum atau makanan ini.Â
Kalau masa-masa sebelumnya, mereka ini masa bodoh dengan sorgum, tanam dan jemur pun dilakukan sembarangan saja, seperti 2-3 hari dijemur sudah diangkat dan sebagainya. Termasuk hanya menjadi bahagian dari makanan hewan peliharaan saja. Awalnya sih begitu. Tetapi, sorgum tetap dimakan oleh mereka juga, meskipun dalam jumlah sedikit.
Kepedulian berikutnya adalah ketika sudah tersedia mesin pengolah sorgum. Ketika sudah terbukti bahwa sorgum itu enak dimakan, mereka bahkan sempat tidak mau menjual sorgumnya lagi. Artinya, mereka hanya akan konsumsi sendiri saja. Jadi beras itu 'kan, supaya enak, pulen dan empuk harus dilakukan sosoh (pengupasan kulit) sebanyak tiga kali, padahal nilai gizinya menjadi berkurang atau malahan hilang.Â
Kita semua pernah makan beras hitam, beras merah, dan semuanya terasa keras. Nah, begitu juga sorgum, ketika itu disosoh -- dikupas kulitnya - dan mereka rasa enak, maka mulailah ini yang membuat mereka bangga bahwa sorgum inilah makanan mereka.
Bagaimana masyarakat di sini memanfaatkan sorgum? Â Â Â Â
Mereka cenderung lebih memanfaatkannya untuk memenuhi kebutuhan makanan pokok. Artinya, ini bukan lagi sebagai makanan pokok alternatif, tapi sudah menjadi makanan pokok pengganti nasi. Sedangkan untuk sorgum yang kualitasnya kurang bagus, bisa dimanfaatkan untuk hewan ternak.Â
Untuk menambah pendapatan ekonomi, ibu-ibu di sini juga mengolah sorgum menjadi tepung, lalu semakin pandai membuat kue-kue aneka varian dengan bahan dasar tepung sorgum. (Selama di Likotuden, saya melihat sendiri kue-kue seperti Kembang Goyang dan Cucur dibuat dengan tepung sorgum. Selain, ada juga dibuat sereal sorgum yang lezat lagi menyehatkan).
Proyeksi sorgum selanjutnya di NTT ini bagaimana? Â Â Â Â
Mimpi besar kita adalah bahwa masyarakat tetap menanam sorgum. Karena ada banyak program yang mengajak masyarakat menanam sorgum, tapi begitu programnya selesai, masyarakat selesai juga menanam sorgumnnya. Makanya, sebagus apapun program Pemerintah, LSM, tetapi sistem kita bukan 5 tahun, 10 tahun, melainkan harus seumur hidup.Â
Pokoknya, sampai saya menghembuskan nafas terakhir, tekad saya akan terus melakukan pendampingan kepada masyarakat petani sorgum bukan hanya di Likotuden, tapi juga di Pulau Adonara, Pulau Solor, Pulau Lembata, Ende, sampai Manggarai Barat. Ada banyak sudah kelompok-kelompok tani kita di sana.
Secara ekonomi, pada tiga tahun pertama pengembangannya, sebanyak 40% hasil panen sorgum masyarakat dijual ke pasar demi memenuhi kebutuhan ekonomi, sedangkan 60%-nya untuk dikonsumsi sendiri. Tetapi sekarang prosentase ini kita balik, karena masyarakat mengatakan bahwa banyak kebutuhan keluarga yang harus dicukupi -- mulai dari ekses bencana alam, perbaikan rumah, biaya sekolah dan lainnya -, sehingga sekarang ini 60% hasil panen masyarakat untuk dijual ke pasar, dan 40% lagi untuk mereka konsumsi.
Di Likotuden ini, masyarakat punya "Usaha Bersama" atau UB, yang boleh dikatakan mirip seperti koperasi, dan dalam dua tahun UB berjalan kemarin, perputaran uangnya sudah mencapai Rp 200 juta. Dari sinilah semua anggota UB bisa simpan pinjam, dan termasuk untuk pembiayaan membetulkan rumah, membiayai sekolah anak-anaknya, membayar cicilan utang, dan masih banyak lagi. Ini 'kan juga perwujudan dari perilaku teladan saling menolong, setia teman dan saling berbagi.
Selain sorgum, apalagi di sini yang belum atau sedang terus dikembangkan pemanfaatannya?
Buah asam sudah kami manfaatkan. Ada pembelinya datang langsung. Harga asam lagi 'naik daun' mencapai Rp 15.000 per kg. Di sini, selain komoditi perkebunan, ya tentu saja komoditi perikanan yang sangat kaya sekali.
o o o O o o o
Perempuan NTT yang silsilah keluarganya berasal dari Suku Dayak Kanyatn, Kalimantan Barat ini menerima KEHATI Award 2012.
Penghargaan yang memang pantas untuk disematkan. Di katup kedua tangan Maria Loretha, Tuhan seakan menitipkan mukjizat-Nya agar supaya sorgum kembali mampu berdaulat di bumi pertiwi nan sejatinya teramat sangat subur ini.
Enggak usah gengsi, sekarang saatnya kembali ke sorgum.
***
Ikuti terus reportase saya ke Pulau Flores, NTT di Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H