Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Dokter Rita dan Hari Bakti Dokter Indonesia

19 Mei 2018   10:09 Diperbarui: 19 Mei 2018   10:47 1443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketika Baksos Operasi Katarak di RS Puri Cinere, Jakarta Selatan. (Foto: Dokpri. Rita Polana Yasni)

20 Mei, selain diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional, ternyata juga merupakan Hari Bakti Dokter Indonesia (HBDI). Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menetapkannya sepuluh tahun lalu.

Persisnya tanggal 28 Mei 2008, sewaktu gelaran puncak peringatan Seabad Kebangkitan Nasional dan  Seabad Kiprah Dokter Indonesia di Istana Negara, Ketua Umum Pengurus Besar IDI, DR Dr Fachmi Idris M.Kes mengatakan, "... bahwa sejak tahun 2008, tanggal 20 Mei, telah ditetapkan IDI sebagai Hari Bakti Dokter Indonesia yang kemudian diketahui oleh Kepala Negara dan seluruh masyarakat luas merupakan penghargaan yang tidak ternilai untuk jasa-jasa dokter yang menggerakkan kebangkitan nasional bangsa kita ..."

Untuk memperingati Hari Bakti Dokter Indonesia, mari simak kisah Dokter Spesialis Mata, Dr Rita Polana Yasni SpM. Saya memanggilnya "Dokter Rita" aja, terutama kalau lagi menjalani medical check up - di sebuah rumah sakit swasta - yang salah satu tindakannya harus diperiksa oleh  profesional ophthalmologist (dokter spesialis mata) yang satu ini.

Yukdeh, kenalan dulu sama Dokter Rita ...

Rita menamatkan pendidikan kedokteran di FKUI (1984-1991), spesialis mata (1997-2002), dan sub-spesialisasi Vitro Retina (2002-2006). Beberapa studi lanjutan pun sukses 'dilahap' Rita. Sebut saja misalnya, Bedah Lasik, RSPI (2003); Lasik Surgery, American Academy of Ophthalmology (2003); Phacoemulsification, Cornea Surgery and Refracyive Surgery, Sub-Bagian RSCM-FKUI (2004); juga, Dermatology & Plastic Reconstructive Surgery Department di Kyushu Hospital (Jepang); Endoscopic Internal Department di Jordan Hospital (Amman, Yordania). Sedangkan pada 2006, Rita juga aktif belajar pada Profesor Telandro yang merupakan penemu teknik Bedah Presby-LASIK (2006).

Sedangkan pada 2015, Rita menjalani advanced training dalam Reconstructive Surgery dibawah bimbingan Profesor Marten Mauritz di Amsterdam Hospital (Belanda).

Dr Rita Polana Yasni SpM ketika sedang mengoperasi mata. (Foto: Dokpri. Rita Polana Yasni)
Dr Rita Polana Yasni SpM ketika sedang mengoperasi mata. (Foto: Dokpri. Rita Polana Yasni)
Sehari-hari, Rita praktik di sejumlah rumah sakit, seperti RS Pondok Indah, RS Puri Cinere, dan Bidakara Medical Center. Sebelumnya, ia juga pernah menangani pasien di Jakarta Eye Center, East Jakarta Eye Center, Jakarta Vascular Canter, Klinik Spesialis Bulungan, RS Malahayati (Medan), Puskesmas Lubuk Buaya (Padang), Puskesmas Palupuh (Agam, Sumbar).

Tidak cuma sibuk urus pasien, Rita juga aktif di organisasi profesional. Ia menjadi pengurus IDI; Masyakarat Katarak dan Bedah Refraktif; American Academy of Ophthalmology; dan, Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami) - berdiri sejak 5 Juli 1964 - dimana Rita menjabat Sekretaris I Perdami DKI Jakarta merangkap Koordinator Divisi Pengabdian Masyarakat. Sebagai catatan, Perdami DKI Jakarta disebut juga Perdami Jaya (Jakarta Raya) yang wilayah kerjanya meliputi DKI Jakarta dan Depok.

Apa saja prestasi Dokter Rita?

Kalau Kompasianer sempat googling nama "Dokter Rita Polana", diantara temuannya pasti muncul nama Rita ditahbiskan jadi satu dari sepuluh dokter mata terbaik di Jakarta versi situs miner8.com. Wowww, hebat ya.

Selain itu, Rita juga pernah menerima penghargaan sebagai Juara 3 Painting Shankar International Children, India (1979); Juara 3 Lomba Poster, Pertemuan Ilmiah Tahunan Perdami, Bandung (2002); Juara 1 Experimental Research Championship, Pertemuan Ilmiah Tahunan ke-29 Perdami, Yogyakarta (2003); dan, Asia Pacific Association of Ophthalmology - APAO (2015). Untuk yang terakhir ini, penghargaan yang diraih Rita cukup membanggakan dengan tajuk mentereng yaitu: "In Recognition of Her Contributions to Prevention of Blindness in The Asia-Pasific Region".

Dr Rita Polana Yasni SpM dalam satu artikel. (Foto: FB Rita Polana)
Dr Rita Polana Yasni SpM dalam satu artikel. (Foto: FB Rita Polana)
Yup, kontribusi Rita untuk mengurangi angka kebutaan akibat penyakit mata katarak memang rrruuuaaaarrrrrr biasa! Begini aja deh parameternya. Dalam buku yang ditulis Rita sendiri, berjudul Baksos Operasi Katarak dan Kisah-kisah Perjalanan ke Pelosok(Pensil-324, 2006, Jakarta), Rita mendata, bahwa sejak 2002 sampai 2014, ia terlibat aktif bahkan memimpin tim Baksos Operasi Katarak sekitar 200 kali. Dari jumlah sebanyak ini, ada separuhnya yang ia bersama tim lakukan di pelosok-pelosok Nusantara. Oh ya, jangan kaget ... karena dalam rentang waktu ini juga, Rita sudah melakukan operasi katarak pada sekitar 10 ribu pasien.

Baksos Operasi Katarak ke berbagai pelosok daerah biasanya dilakukan bersama tim Perdami Pusat dalam rangka pengabdian masyarakat, tentu dengan dukungan berbagai instansi "pelat merah" maupun swasta yang tergerak untuk membantu. Sedangkan apabila Baksos Operasi Katarak berlangsung di cakupan wilayah DKI Jakarta dan Depok, Rita bersama tim biasanya membawa 'bendera' Perdami Jaya.

"Saya melakukan operasi katarak rata-rata per tahun sekitar 1.200 kali. Ini tidak termasuk yang saya lakukan ketika Baksos operasi katarak. Kalau pada saat Baksos pasti lebih banyak lagi mata katarak yang saya operasi. Sekali pergi Baksos saja, mata katarak yang saya operasi bisa sampai 30 sampai 40 mata," tutur Rita dalam wawancara per telepon dengan saya pada Kamis, 17 Mei 2018 (1 Ramadhan 1439 H).

Baksos Operasi Katarak dan Rita ibarat seperti 'Dilan dan Milea' yang tak ingin terpisahkan. Sebegitu sering Rita melakukan Baksos, sebegitu banyak pula bagi perempuan kelahiran Jakarta, 53 tahun silam ini mengentaskan ancamaan kebutaan pada para pasien Baksosnya. Sebagai dokter spesialis mata yang masuk jajaran 'Top Ten di ibukota', kenapa Rita mau melakoni Baksos yang notabene 'enggak ada duitnya' ini? Apa sih yang Rita cari?

Dr Rita Polana Yasni SpM di lokasi aksi Baksos Operasi Katarak di Maluku Utara, baru-baru ini. (Foto: Dokpri. Rita Polana Yasni)
Dr Rita Polana Yasni SpM di lokasi aksi Baksos Operasi Katarak di Maluku Utara, baru-baru ini. (Foto: Dokpri. Rita Polana Yasni)
Dalam bukunya, Rita mengungkapkan alasannya termasuk sembari menyinggung urusan "kocek":

Kalau motivasi seseorang adalah mencari uang, memang masuk akal bila enggan turut serta dalam Baksos Operasi Katarak hingga ke pelosok-pelosok Indonesia. Untuk menjadi seorang dokter spesialis mata, perlu sekolah lama dan sulit. Menghabiskan dana hingga ratusan juta rupiah untuk mendapatkan ilmu tersebut. Logis saja jika honor kecil sebagai imbalan tindakan operasi mata, tak akan dilirik.

Bayangkan saja. Di kota-kota besar seperti Jakarta, imbalan untuk jasa melakukan operasi katarak umumnya sebesar 1,5 - 2,5 juta rupiah. Sedangkan saat Baksos, untuk setiap mata "upah jasa' bagi dokter mata yang melakukan tindakan medis besarannya hanya 50 ribu. Alias "gocap". Angka itu pun baru beberapa tahun ini saja. Sebelumnya malah cuma 30 ribu rupiah.

Bayangkan saja, kalau dalam satu kali Baksos Katarak ada 200 pasien yang ditangani oleh empat orang dokter mata. Tinggal kita kalikan angka 50 ribu rupiah dengan 200, kemudian dibagi empat. Jadi 10 juta dibagi empat sama dengan 2,5 juta rupiah. Angka ini masih belum termasuk tips, atau uang lelah dan honor, untuk asisten, perawat, dan dokter lainnya. Ujung-ujungnya si dokter mata paling-paling hanya memperoleh satu juta rupiah, atau malah kurang lagi. Untuk beli souvenir, impas. Alias tidak bawa uang pulang ke rumah.

Rita mengakui, angka honor impas sebenarnya sudah "bagus". Karena pada kondisi tertentu, bisa saja dokter spesialis mata yang ikut Baksos Operasi Katarak, malah terancam untuk nombok, merugi. Tapi begitulah Rita. Ia tidak "mengejar" apalagi sampai "menghamba" uang. Begini ungkapan perasaan Rita di bukunya:

Saya juga percaya, kalau uang dikejar, tidak akan pernah ada kata cukup. Sebaliknya, pengalaman Baksos selama bertahun-tahun justru mengajarkan, bahwa banyak hal tidak bisa diukur dan dibeli dengan uang. Pengalaman-pengalaman luar biasa yang saya alami telah menumbuhkan rasa syukur yang semakin mendalam kepada Sang Pencipta.

Perjalanan Udara, Darat dan Laut demi aksi Baksos Operasi Katarak di Pulau Morotai. (Foto: Dokpri. Rita Polana Yasni)
Perjalanan Udara, Darat dan Laut demi aksi Baksos Operasi Katarak di Pulau Morotai. (Foto: Dokpri. Rita Polana Yasni)
Mendapat pengawalan PATWAL Kepolisian ketika Baksos Operasi Katarak di Pulau Morotai. (Foto: Dokpri. Rita Polana Yasni)
Mendapat pengawalan PATWAL Kepolisian ketika Baksos Operasi Katarak di Pulau Morotai. (Foto: Dokpri. Rita Polana Yasni)
Rita juga menyinggung lagi uang honor sebesar gocap tadi. Ia menyimpulkan hikmah dari uang 50 ribu rupiah ini:

Gocap untuk satu mata barangkali nilainya sangat kecil. Pasti langsung ludes hanya untuk dua kali saja makan siang di Jakarta. Namun, nilai intrinsik gocap dari sebuah Baksos lebih dari sekadar nilai nominalnya. Sekalipun dibayar gocap, saya justru merasa lebih kaya. Lebih memiliki arti yang sampai sekarang sulit merumuskannya.

Satu pengalaman paling berkesan dan selalu jadi lecutan semangat Rita untuk terus siap memimpin aksi Baksos Operasi Katarak adalah pengalamannya ketika blusukan hingga pedalaman Kalimantan. Di sana, Rita mengoperasi seorang pasien laki. Lelaki ini didampingi istri dan seorang anaknya. Asal tahu saja, lelaki ini sejak sebelum menikah hingga dikaruniai anak, tidak pernah tahu bagaimana paras wajah istri maupun anak kandungnya. Lelaki ini buta akibat katarak yang dideritanya. Selama menjalani kegelapan mata, ia hanya bisa mendengar lembut suara istri dan anaknya saja.

Begitu Rita melakukan operasi katarak, sebelah mata lelaki ini bisa melihat wajah istri dan anak kandungnya, untuk pertama kali dalam hidupnya. Lelaki ini berdiri, menangis dan mengucapkan syukur yang tak terhingga di hadapan Rita. Lelaki ini kemudian berpeluk tangis dengan istri dan anak kandungnya. Sungguh sebuah pemandangan yang mengharukan, sekaligus jadi energi tersendiri bagi Rita untuk terus semakin rajin memimpin aksi-aksi Baksos Operasi Katarak dimanapun lokasi pengabdian itu memanggil.

"Barangkali kalau tidak mengalami peristiwa tersebut, saya tidak akan punya tenaga dan daya tahan untuk aktif dalam kegiatan Baksos Operasi Katarak selama lebih dari satu dekade," tutur Rita di bukunya.

Dr Rita Polana Yasni SpM dalam satu perjalanan. (Foto: FB Rita Polana)
Dr Rita Polana Yasni SpM dalam satu perjalanan. (Foto: FB Rita Polana)
Berikut, cuplikan wawancara saya dengan Dr Rita Polana Yasni SpM:

o o o O o o o

Kapan terakhir Anda melaksanakan Baksos Operasi Katarak?

Baksos Operasi Katarak yang terakhir kita laksanakan yaitu pada 28 April 2018 di RS Puri Cinere, Jakarta Selatan. Ini merupakan kerjasama antara Perdami Jaya, Bank BRI, dan RS Puri Cinere. Ada 49 mata yang kami operasi.

Sebelumnya, masih bersama Perdami Jaya, operasi katarak juga dilakukan pada 12 Mei 2018 di RS Cipto Mangunkusumo. Kami mengoperasi 31 mata. Sebenarnya waktu itu, dijadwalkan ada 40 mata yang harus dioperasi. Tapi ketika hari-H, kita lakukan screening lagi dan ada calon pasien yang terpaksa dibatalkan karena tekanan darahnya tinggi, maupun juga gula darahnya.

Artinya, setiap Baksos Operasi Katarak bisa dilakukan tindakan terhadap 30 sampai 50 mata?

Kita bicara Perdami Jaya yang lingkupnya mencakup DKI Jakarta dan Depok, dan minimal 40 mata, baru kita bisa lakukan Baksos Operasi Katarak. Biasanya pada H-7 kita melakukan screening kepada para calon pasien, dan umumnya rata-rata terjaring 60 mata yang akan dioperasi. Tapi pada saat hari-H, kadang-kadang jumlah ini berkurang karena ada yang tidak hadir, sakit dan alasan lain seperti misalnya, sejak awal screening sudah terindikasi memiliki resiko darah tinggi maupun diabetes.

Ketika Baksos Operasi Katarak, biasanya menggunakan teknik apa?

Semua tindakan medis yang kita lakukan hanya operasi katarak, dengan menggunakan teknik Phaco-emulsification. Biasa disebut Phaco saja (baca: fe-ko). Jenis teknik operasi ini lebih canggih tapi belum tentu lebih mudah. Salah satu keunggulan teknik fe-ko adalah kecepatan untuk pulih sesudah operasi. Karena memang hanya dibutuhkan lebar insisi dan jumlah jahitan yang jauh lebih sedikit dibandingkan operasi dengan teknik Extra Capsular Cataract Extraction (ECCE).

Pelaksanaan Operasi Katarak. (Foto: YouTube Rezaldi Pratama MD)
Pelaksanaan Operasi Katarak. (Foto: YouTube Rezaldi Pratama MD)
Bagaimana Anda mencermati perkembangan mata katarak di Indonesia?

Secara nasional, prevalensi mata katarak di Indonesia pada 2015 mengalami peningkatan jadi 3% dari 1,5%. Untuk DKI Jakarta saja mencapai 1,9% untuk usia 50 tahun ke atas. Prevalensi ini mengalami kenaikan, selain juga karena pencatatan kita yang lebih baik. Atau juga, karena matahari kita yang lapisan ozonnya sudah mulai menipis.

Kalau saya pergi Baksos Operasi Katarak ke pelosok-pelosok, untuk Katarak di Indonesia memang sangat banyak dan enggak akan habis-habis. Kalau kita melakukan Baksos di daerah, minimal ada 100 mata yang harus dilakukan operasi katarak, baru kita bisa berangkat, karena 'kan biayanya juga cukup mahal. Dan kita berharap, semakin banyak mata yang akan ditangani operasi katarak justru semakin baik.

Hasil pengamatan kami selama Baksos ke pelosok daerah, untuk Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang terbanyak kataraknya adalah warna coklat. Pada 7-10 Maret 2018, kami melakukan Baksos Operasi Katarak di Pulau Ternate, dengan mengoperasi 317 mata. Kemudian, kami juga melakukan Baksos Operasi Katarak ke Pulau Morotai, pada 1--4 April 2018, dengan mengoperasi sekitar 200 mata.

Nah, di KTI, kebanyakan yang saya jumpai adalah katarak berwarna kuning kecoklatan baik coklat tua sampai hitam. Mungkin hal ini disebabkan karena penderita diabetesnya di sana juga lebih tinggi. Sehingga trennya menunjukkan Diabetic Cataract atau Katarak karena Diabetes.

Tapi, kalau saya pergi Baksos ke daerah dengan geografis lautan maka trennya justru katarak warna putih. Mengapa demikian, ya sejauh ini belum ada penelitian, tapi saya menduga hal ini dipicu karena kebiasaan mengonsumsi makanan, semisal seafood.

[Info: Perdami punya program Vision 2020: Right to Sight. Ini merupakan inisiatif global yang bertujuan untuk mengurangi kebutaan pada tahun 2020. Diluncurkan pada 18 Februari 1999 oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bersama dengan lebih dari 20 organisasi non-pemerintah internasional yang terlibat dalam perawatan mata dan pencegahan dan manajemen kebutaan yang terdiri dari Badan Internasional untuk Pencegahan Kebutaan (IAPB). Ada tiga indikator perencanaan aksi global, yakni prevalensi/penyebab gangguan penglihatan, jumlah mata yang mengalami gangguan dan prosentase operasi katarak, usaha dari unit kesehatan mata dalam mempertahankan dan mengembalikan kesehatan mata.]

Dr Rita Polana Yasni SpM ketika Baksos Operasi Katarak di Muara Teweh. (Foto: Dokpri. Rita Polana Yasni)
Dr Rita Polana Yasni SpM ketika Baksos Operasi Katarak di Muara Teweh. (Foto: Dokpri. Rita Polana Yasni)
Perdami punya program 'Vision 2020: Right to Sight', bagaimana menjelaskannya?

Jadi diharapkan tahun 2020, Indonesia sudah bisa bebas untuk pemberantasan buta katarak. Tapi ya memang sulit, karena Indonesia ini peringkat satu se-Asia Tenggara. Susah (untuk mewujudkannya), kalau menurut saya. Tapi kita berusaha terus untuk melakukan Baksos Operasi Katarak, karena memang ya cukup mahal untuk di daerah-daerah itu. Dan, dokter-dokter mata kita walaupun sudah tersebar tapi tetap saja (masih belum bisa menurunkan prevalensi katarak). Perlu diingat, peralatan-peralatan untuk melakukan operasi mata itu sangat mahal, sehingga ada keterbatasan juga.

Makanya, Baksos Operasi Katarak ke daerah-daerah, ke pelosok-pelosok itu sangat-sangat bermanfaat khususnya untuk masyarakat yang tidak mampu, walaupun sudah ada era BPJS. Jadi, tetap ya, kalau kita ke KTI, ke pulau-pulau di sana itu belum sampai untuk tahap melakukan operasi katarak. Disinilah saya melihat sendiri, manfaat dari donasi-donasi pihak perbankan, BUMN maupun instansi lainnya untuk supaya bisa terselenggaranya Baksos Operasi Katarak.

Untuk mencegah mata katarak, bagaimana caranya? 

Penyebab mata katarak itu ultra violet (UV) matahari, terutama ultra violet B yang biasanya dominan pada antara jam 10 pagi sampai matahari terbenam. Karena kebanyakan penduduk kita dalah petani dan nelayan, sebaiknya mereka kalau beraktivitas outdoor menggunakan topi lebar atau caping. Lebih bagus lagi kalau mengenakan kacamata yang benar-benar bisa melindungi mata dari sinar UV matahari. Lalu yang berikutnya adalah mengonsumsi nutrisi yang cukup. Indonesia, harusnya tidak kekurangan sumber nutrisi karena sayur-mayur dan buah-buahan melimpah.

Ketika Baksos Operasi Katarak di RS Puri Cinere, Jakarta Selatan. (Foto: Dokpri. Rita Polana Yasni)
Ketika Baksos Operasi Katarak di RS Puri Cinere, Jakarta Selatan. (Foto: Dokpri. Rita Polana Yasni)
Operasi katarak disebut-sebut cukup mahal biayanya, bisakah dibuat menjadi lebih terjangkau semua kalangan?

Ya, kalau ditanya bisa atau tidak, ya kita harus bisa membuat operasi katarak menjadi lebih murah dan terjangkau untuk semua kalangan. Cuma memang untuk studi mata itu tidak cepat juga durasinya. Selain itu, skill dokter yang melakukan operasi katarak juga harus yang terasah. Adapun jumlah dokter mata di Indonesia sudah meningkat, kalau enggak salah jumlahnya antara sekitar 2000 - 3000 dokter mata, dan sudah mulai tersebar se-Indonesia.

Tetapi memang fasilitas untuk operasi itu cukup mahal, jadi walaupun kita sudah kirim dokter-dokter mata itu (ke daerah-dearah) tetapi tetap ada supervisi dari Pusat untuk melakukan operasi mata katarak. Jadi, dokter-dokter mata di daerah itu melakukan penjaringan pasien, lalu sekali sebulan supervisor dari Pusat ada yang berangkat menuju ke daerah yang akan melakukan operasi. 

Jadi memang sulit ya, karena alat-alat untuk melakukan operasi katarak itu cukup mahal. Mungkin kalau kita hitung secara kasar, satu pasien bisa menghabiskan kurang lebih Rp 2 jutaan untuk Bahan Habis Pakai, termasuk lensa tanamnya. Nah, kalau kita semakin banyak jumlah mata yang dioperasi, maka bisa menghemat biaya Bahan Habis Pakai, dimana antar pasien bisa saling share. Artinya, Baksos Operasi Katarak masih amat diperlukan.

o o o O o o o

Pasien peserta Baksos Operasi Katarak yang diselenggarakan Perdami bersama instansi lain. (Foto: ANTARA FOTO-Oky Lukmansyah)
Pasien peserta Baksos Operasi Katarak yang diselenggarakan Perdami bersama instansi lain. (Foto: ANTARA FOTO-Oky Lukmansyah)
Untuk wilayah Asia Tenggara, jumlah penderita gangguan mata di Indonesia adalah yang tertinggi. Sedangkan lingkup dunia, Indonesia menempati posisi ketiga jumlah penderita kataraknya. Adapun Kementerian Kesehatan RI pernah juga menyebutkan bahwa, ada sekitar 250 ribu penderita mata katarak tumbuh per tahunnya di Indonesia. Dari jumlah tersebut, pasien-pasien yang belum mampu untuk berobat, banyak sekali.

Disinilah urgensi Baksos Operasi Katarak untuk terus dilakukan sampai ke pelosok-pelosok Nusantara. Dan, Rita Polana Yasni termasuk relawan sejati yang berdiri di garda terdepan demi mengabdikan diri mengentaskan kegelapan!

Selamat Hari Bakti Dokter Indonesia ...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun