Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Refleksi Hardiknas, 795 Ribu Siswa SD Terancam Bangunan Sekolah Roboh di Banten

1 Mei 2018   20:08 Diperbarui: 2 Mei 2018   12:28 3215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sejumlah siswa berfoto dengan latarbelakang sekolah mereka yaitu SDN Sampang di Desa Susukan, Kec Tirtayasa, Kab Serang, Banten, yang pada 2016 masih rusak parah. (Foto: Situs Pattiro Banten)

Jarak Istana Merdeka (Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta) dengan Kantor Bupati Serang (Jalan Veteran, Serang, Banten) sebenarnya cuma 83 km saja. Kalau naik mobil dengan mengambil rute Jalan Raya Pantura (Jalan Tol Jakarta-Merak) hanya butuh waktu sekitar 2 jam saja. Tapi pertanyaannya, kenapa pembangunan infrastruktur pendidikan, dalam hal ini fisik bangunan sekolah begitu sulit untuk berstatus baik.

Bayangkan, sejak tahun 2014, sebenarnya data ruang kelas yang rusak di Kabupaten Serang sudah disampaikan kepada Ratu Tatu Chasanah yang ketika itu masih menjabat Wakil Bupati. Datanya, ada 1.261 ruang kelas yang rusak berat (didalamnya termasuk 961 ruang kelas SD). Sedangkan 1.171 ruang kelas lainnya, rusak ringan.

Tapi herannya, pada 8 Agustus 2017, Ratu Tatu Chasanah -- adik kandung mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah - selaku Bupati Serang mengumumkan bahwa ada 1.200 ruang kelas SD dalam keadaan rusak, dengan 700 diantaranya dalam keadaan rusak berat.

Kondisi SDN Sampang, Kec Tirtayasa, Kab Serang, Banten yang sempat menjadi ramai diperbincangkan karena kerusakan bangunannya. (Foto: ANTARA/Asep Fathulrahman)
Kondisi SDN Sampang, Kec Tirtayasa, Kab Serang, Banten yang sempat menjadi ramai diperbincangkan karena kerusakan bangunannya. (Foto: ANTARA/Asep Fathulrahman)
Dari perbandingan data selama tiga tahun itu saja, kita patut bertanya-tanya, kenapa susah dan lambat sekali menurunkan jumlah ruang kelas SD yang rusak berat? Dari 961 (2014) kemudian cuma turun jadi 700 (2017) saja. Ingat ya, ini perbandingan ruang kelas SD saja lho.

Untuk lebih jelasnya, berikut adalah kliping media terkait jumlah ruang kelas yang rusak di Kabupaten Serang saja:

14 Februari 2014: Sebanyak 1.261 ruang kelas di Kabupaten Serang rusak berat. Jumlah itu terdiri atas 961 ruang kelas SD, 259 ruang kelas SMP, 33 ruang kelas SMA, dan empat ruang kelas SMK. Adapun untuk yang rusak ringan sebanyak 1.171 ruang kelas, terdiri atas 798 ruang kelas SD dan 382 ruang kelas SMP. Berdasarkan Rapat Evaluasi Wabup Serang Ratu Tatu Chasanah dengan Dindikbud Kabupaten Serang. [Sumber: Radar Banten]

Dua siswa SDN Sampang, Kec Tirtayasa, Kab Serang, Banten di ruang kelas yang kondisinya pada 2016 masih rusak berat. (Foto: Dok. Pattiro Banten)
Dua siswa SDN Sampang, Kec Tirtayasa, Kab Serang, Banten di ruang kelas yang kondisinya pada 2016 masih rusak berat. (Foto: Dok. Pattiro Banten)
Surat siswa SDN Sampang di Kec Tirtayasa Kab Serang yang minta perbaikan sekolah dan perpustakaan. (Foto: news.co.id)
Surat siswa SDN Sampang di Kec Tirtayasa Kab Serang yang minta perbaikan sekolah dan perpustakaan. (Foto: news.co.id)
24 Februari 2016 :Menurut Kepala Dindikbud Kota Serang Akhmad Zubaedillah, puluhan ruang kelas sejumlah sekolah di Kota Serang dalam kondisi rusak parah. Sebagian besar berada di Kecamatan Kasemen, Taktakan, Walantaka dan Curug.

Dari 246 SD (ruang kelas dalam kondisi baik 1.980 ruang, rusak sedang 28 ruang, dan rusak berat 36 ruang). Untuk SMP ada 72 sekolah negeri maupun swasta, dengan catatan ruang kelas kondisi baik 772 ruang, rusak sedang 13 ruang, dan rusak berat 20 ruang. Sedangkan untuk SMA/SMK ada 75 Sekolah, dengan ruang kelas kondisi baik 814 ruang, rusak sedang tidak ada, dan rusak berat 30 ruang.

Kebutuhan ruang kelas baru tahun 2016, sebanyak 495 ruang (SD sebanyak 341 ruang, SMP 58 ruang, dan SMA/SMK 96 ruang). [Sumber: Radar Banten]

Kondisi pada tahun 2016, SDN Sampang di Desa Susukan, Kec Tirtayasa, Kab Serang, Banten yang sedang dilakukan rehab. (Foto: Dok. Pattiro Banten)
Kondisi pada tahun 2016, SDN Sampang di Desa Susukan, Kec Tirtayasa, Kab Serang, Banten yang sedang dilakukan rehab. (Foto: Dok. Pattiro Banten)
17 Februari 2017 :Menurut Sekretaris Dindikbud Kabupaten Serang Sarjudin, ribuan ruang kelas sekolah di Kabupaten Serang dalam kondisi rusak. Kerusakan terjadi di SD dan SMP yang tersebar di seluruh kecamatan. Tercatat sebanyak 1.406 ruang kelas SD dan 70 ruang kelas SMP yang rusak. Dibutuhkan anggaran Rp150 juta per ruang kelas.

Fasilitas sekolah juga banyak yang belum memadai seperti jumlah ruang kelas, bangku siswa, fasilitas mandi cuci kakus dan sarana lain. Idealnya per kelas ditempati oleh 30 orang, tapi masih banyak satu ruangan diisi 60 siswa.

Selalu dikeluarkan rekomendasi pembangunan untuk ruang kelas yang rusak tersebut. Minimal per tahun harus merehab 500 kelas, tapi susahnya, kerusakan terus bergantian. [Sumber: Radar Banten]

17 Februari 2017 :Kepala Bidang Sekolah Dasar pada Dindikbud Kabupaten Serang Aber Nurhadi mengatakan, dari 1.406 ruang kelas rusak, sudah dilakukan rehab sebagian. Rusak sedang 601 ruang, rusak berat 805 ruang adalah data tahun 2014.

Pada tahun anggaran 2016, sudah direnovasi secara bertahap 152 ruang kelas yang rusak sedang, dan 571 rusak berat. Di luar rehabilitasi, juga sudah dibangun 181 ruang kelas baru, dan 156 perpustakaan di berbagai SD. [Sumber: Radar Banten]

Kondisi terkini SDN Sampang di Desa Susukan, Kec Tirtayasa, Kab Serang, Banten yang sedang dilakukan rehab. (Foto: Dok. Pattiro Banten)
Kondisi terkini SDN Sampang di Desa Susukan, Kec Tirtayasa, Kab Serang, Banten yang sedang dilakukan rehab. (Foto: Dok. Pattiro Banten)
Kondisi terkini SDN Sampang di Desa Susukan, Kec Tirtayasa, Kab Serang, Banten yang sedang dilakukan rehab. (Foto: Dok. Pattiro Banten)
Kondisi terkini SDN Sampang di Desa Susukan, Kec Tirtayasa, Kab Serang, Banten yang sedang dilakukan rehab. (Foto: Dok. Pattiro Banten)
8 Agustus 2017 :Menurut Bupati Serang Ratu Tatu Chasanah, sebanyak 1.200 ruang kelas SD dalam keadaan rusak, dengan 700 diantaranya rusak berat. Pemkab Serang hanya mampu memperbaiki 140 ruang kelas SD setiap tahunnya. [Sumber: Radar Banten]

o o o O o o o

Bangunan sekolah dengan ruang-ruang kelas yang rusak tentu membawa dampak yang kurang baik juga terhadap statistik dan kualitas pendidikan di Banten. Termasuk didalamnya, menyangkut Angka Partisipasi Sekolah (APS), dan Harapan Lama Sekolah (HLS).

Tengok saja tabel APS menurut tipe daerah dan kelompok umur di Banten, pada 2015. Angkanya masih ada yang kurang memuaskan, khususnya pada penduduk usia 13-15 tahun (sekolah tingkat menengah), dan 16-18 tahun (sekolah tingkat atas).

Tabel: Angka Partisipasi Sekolah (APS) Menurut Tipe Daerah dan Kelompok Umur di Provinsi Banten, 2015. (Sumber: BPS Provinsi Banten)
Tabel: Angka Partisipasi Sekolah (APS) Menurut Tipe Daerah dan Kelompok Umur di Provinsi Banten, 2015. (Sumber: BPS Provinsi Banten)
Angka belum memuaskan juga terjadi pada statistik tentang Rata-rata Lama Sekolah (RLS) dan Harapan Lama Sekolah (HLS). Tercatat, pada 2016, RLS Banten adalah 8.37 tahun. Sedangkan RLS pada 2017 menunjukkan 12.78 tahun. Sejauh ini, Kota Tangerang Selatan mencatatkan nilai tertinggi untuk HLS dengan 14.39 tahun. Adapun HLS terendah ada di Kabupaten Lebak dengan 'hanya' 11.92 tahun.

Tabel: Harapan Lama Sekolah Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2013 - 2017. (Sumber: BPS Provinsi Banten)
Tabel: Harapan Lama Sekolah Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2013 - 2017. (Sumber: BPS Provinsi Banten)
Mencermati data yang ada, kita bisa dengan gampang menyimpulkan, bahwa ada masalah yang terjadi dengan pendidikan di Provinsi Banten. Jangankan mengacu pada nilai-nilai statistik yang tertuang pada sejumlah tabel itu, bahkan secara fisik pun gedung-gedung sekolah (terutama) tingkat sekolah dasar semakin banyak yang tidak layak lagi untuk dipergunakan. Ya, karena rusak!

Ini disampaikan Ari Setiawan, Direktur Eksekutif Pattiro (Pusat Telaah dan Informasi Regional) Banten dalam wawancara via telepon dengan penulis pada Senin siang, 30 April 2018. "Di Banten, cuma ada sekitar 33% sekolah tingkat dasar yang dalam kondisi baik secara fisik," ujar alumnus Fakultas Syariah UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten tahun 2009 ini. Ketika itu, skripsi yang dibuat oleh aktivis kampus ini berjudul "Peran Politik Ulama dalam Pembangunan Good Governance di Banten".

Direktur Eksekutif Pattiro Banten, Ari Setiawan di SDN Sampang ketika masih belum dilakukan rehab bangunan. (Foto: Dokpri. Ari Setiawan)
Direktur Eksekutif Pattiro Banten, Ari Setiawan di SDN Sampang ketika masih belum dilakukan rehab bangunan. (Foto: Dokpri. Ari Setiawan)
Berikut petikan wawancara dengan putra asli Banten -- tepatnya di Desa Sindangsari, Kecamatan Petir, Kabupaten Serang - kelahiran 27 April 1987 ini:

o o oOo o o

Bagaimana mencermati kondisi pendidikan di Banten?

Dua tahun terakhir, kami fokus pada persoalan infrastruktur sekolah dasar (SD) di Banten, khususnya di Kabupaten Serang. Infrastruktur bangunan sekolah di Banten, masih jadi persoalan yang besar. Jadi secara fisik, cuma ada sekitar 33% bangunan sekolah tingkat dasar yang dalam keadaan baik.

Bicara sekolah rusak itu adalah juga bicara ancaman bahaya sekolah roboh bagi siswa-siswi yang ada di Banten. Meskipun kalau bicara soal kewenangan provinsi, maka domain mereka adalah menangani tingkat SMA/SMK atau sekolah khusus, tetapi kalau bicara pendidikan dasar yang harusnya terpenuhi di Banten, masih ada sekitar 795 ribu siswa-siswi SD (dari total sekitar 1 jutaan siswa-siswi) yang terancam bahaya bangunan sekolah roboh.

Jumlah sebaran bangunan sekolah rusak itu ada di mana saja?      

Dari delapan kabupaten/kota se-Banten, sebaran lokasi tingkat kerusakan bangunan SD didominasi oleh tiga kabupaten yaitu Lebak, Pandeglang, dan Serang.

Direktur Eksekutif Pattiro Banten, Ari Setiawan. (Foto: Dokpri. Ari Setiawan)
Direktur Eksekutif Pattiro Banten, Ari Setiawan. (Foto: Dokpri. Ari Setiawan)
Kota Tangerang Selatan relatif lebih baik ya?

Benar. Karena cakupan wilayahnya juga kecil dan jumlah sekolahnya juga enggak terlalu banyak. Kalau Tangsel cukup lumayanlah infrastrukturnya. Karena selain dari pemerintah kotanya, mereka juga banyak disupport oleh kalangan swasta melalui dana CSR. Beda dengan tiga kabupaten (Lebak, Pandeglang, dan Serang) tadi, yang belum bisa memaksimalkan hal seperti yang sudah dilakukan Kota Tangsel.

Mengapa terjadi begitu berlarut-larut gedung bangunan sekolah yang rusak di Banten?

Pertama, faktornya adalah karena pemerintah daerah tidak punya basis data utama terkait dengan jumlah ruang kelas yang rusak se-Banten. Termasuk mendeskripsikan bagaimana tingkat kerusakannya, apakah ringan, sedang, atau berat. Kendatipun mereka punya Sistem Data Pokok Pendidikan tapi hasil cross check kami menunjukkan bahwa 15% datanya meleset. Misalnya, ada data yang menyebut bangunan sekolahnya rusak, tapi nyatanya bagus. Dan, sebaliknya.

Kedua, komitmen anggaran Pemda untuk perbaikan sekolah rusak. Kecenderungannya, anggaran untuk alokasi rehab bangunan sekolah rusak dari masing-masing Pemda justru malah turun. Contoh, di Kabupaten Serang saja, kalau kita kalkulasi anggaran yang mereka sediakan, kemudian kita hitung dengan jumlah kerusakan terus dibagi dengan masa jabatan kepala daerah, hitung punya hitung mereka butuh waktu tujuh tahunan untuk menyelesaikan persoalan sekolah rusak. 

Begitu juga di Pandeglang, butuh waktu lebih dari dua puluh tahunan untuk menyelesaikan persoalan yang sama, jika alokasi anggarannya masih sama nilainya.

Ketiga, kontrol dari masyarakat juga hampir tidak ada. Sementara pihak stakeholder pendidikan, anggaplah pihak sekolah, juga tidak punya informasi untuk diketahui semua pihak. Misalnya, ketika ada program rehabilitasi sekolah pada tahun anggaran 2018, tidak bisa diakses oleh semua pihak. 

Harusnya program ini bisa diakses oleh semua pihak supaya ada feedback informasi. Sehingga tak aneh kalau kemudian muncul anggapan dari kalangan penyelenggara sekolah bahwa, program rehabilitasi bangunan sekolah rusak di Banten dilaksanakan lebih didasarkan pada persoalan kedekatan dengan pengambil kebijakan, dibandingkan dengan skala prioritas yang seharusnya.

Keluhan miring tersebut bisa dimaklumi, karena memang banyak diantara mereka yang bangunan sekolahnya hancur, lalu mengajukan perbaikan berkali-kali, tapi tak pernah kunjung ada rehab atau perbaikan. Sedangkan tak jauh dari sekolah mereka, ada sekolah yang justru masih lebih bagus tetapi malah memperoleh bantuan rehab bangunan.

Tabel: Persentase Penduduk Usia 10 Tahun ke Atas Menurut Kabupaten/Kota dan Kepandaian Membaca dan Menulis di Provinsi Banten, 2015. (Sumber: BPS Provinsi Banten)
Tabel: Persentase Penduduk Usia 10 Tahun ke Atas Menurut Kabupaten/Kota dan Kepandaian Membaca dan Menulis di Provinsi Banten, 2015. (Sumber: BPS Provinsi Banten)
Apa yang jadinya musti dilakukan?

Perlu ada tata kelola secara menyeluruh. Daerah harus punya peta jalan untuk perbaikan sekolah rusak yang kemudian anggaplah menjadi agenda Banten. Sehingga bisa didorong pada setiap kabupaten/kota. Semua persoalan yang sudah kita bahas tadi hendaknya bisa mereka sidik, diinformasikan, yang kemudian mereka harus memetakan bahwa sebetulnya kebijakan anggaran selama ini lebih berpusat untuk sektor apa? Apakah betul untuk sektor pendidikan? Anggaplah anggarannya kurang, atau tidak bisa menyelesaikan persoalan bangunan sekolah rusak, maka mereka harus bisa memetakan potensi anggaran lain yang bisa dikelola.

Kami misalnya, mengakses programnya perusahaan dengan skema CSR. Dari sini, kita bisa petakan, ada berapa jumlah perusahaan yang ada di kabupaten/kota, dan bagaimana potensi dasar yang bisa digali, kemudian bagaimana dana CSR tersebut dikelola dengan baik, sehingga dana CSR yang potensi besar ini didrive untuk menyelesaikan persoalan-persoalan pembangunan di daerah, entah itu pendidikan, kesehatan dan lainnya. 

Dengan begitu semua stakeholder bisa terlibat. Atau, anggaran lain misalnya dari Pusat, atau anggaran lain yang tidak besar tapi jadi potensi yang bisa dikembangkan di masing-masing daerah.

Selain itu, sepertinya di Banten ini belum ada yang punya pengalaman pengelolaan anggaran CSR dengan mekanisme yang sangat baik, sehingga perusahaan-perusahaan mau ikut terlibat dalam proses pembangunan di daerah.

Kita juga perlu keterlibatan masyarakat untuk mulai dari menyampaikan informasi dimana lokasi bangunan sekolah rusak, mengawal ketika mendapatkan alokasi anggaran, atau bahkan berpartisipasi dalam proses pembangunannya, sehingga masyarakat bisa mengontrol kualitas pembangunan yang ada. Selama ini justru masyarakat tidak terlibat dalam hal tersebut. Jangankan bicara perencanaan maupun evaluasi, bahkan masalah pelaksanaannya pun masyarakat tidak pernah terlibat.

Kondisi pada tahun 2016, SDN Sampang di Desa Susukan, Kec Tirtayasa, Kab Serang, Banten yang sedang dilakukan rehab. (Foto: Dok. Pattiro Banten)
Kondisi pada tahun 2016, SDN Sampang di Desa Susukan, Kec Tirtayasa, Kab Serang, Banten yang sedang dilakukan rehab. (Foto: Dok. Pattiro Banten)
Fokus advokasi awal Pattiro Banten adalah bangunan sekolah rusak di SDN Sampang di Desa Susukan, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang. Bagaimana pengalamannya itu?

Itu awal sekali waktu kami melakukan fokus advokasi perbaikan sekolah rusak, sekitar dua tahun lalu. Bangunan SDN Sampang yang dibangun sejak 1984 itu, sudah lama banyak yang rusak. Kondisinya sudah hampir mirip kayak kandang kambing. Karena memang ruangan kelas diisi kambing kalau sore hari. 

Maklum, karena memang sudah tidak ada pintu kelas dan kelengkapan lainnya. Bahkan lantainya pun sudah tanah semua. Tetapi, setiap tahun anggaran bergulir, setiap kali pula diajukan perbaikan kondisi bangunan sekolah, nyatanya tidak pernah memperoleh alokasi dana rehab perbaikan sekolah.

Alih-alih dapat anggaran dana perbaikan gedung sekolah, nyatanya pada 2016 itu, Pemda malah punya inisiatif untuk melakukan merger sekolah dengan argumentasi bahwa SDN Sampang jumlah muridnya sedikit. Kami sangat keras menentang waktu itu. Kalau kita bicara persoalan murid yang jumlahnya sedikit, kita harus lihat faktor penyebabnya apa sehingga muridnya bisa sedikit. 

Saya sampaikan waktu itu, siapa orangtua yang mau menyekolahkan anaknya di SDN Sampang yang bangunannya sudah nyaris roboh. Tembok-temboknya sudah bolong. Tinggal nunggu roboh. Jadi enggak bisa, diputuskan untuk langsung dimerger.

Kemudian kami melakukan advokasi sekitar lima bulan. Alhamdulillah di akhir tahun 2016, SDN Sampang dapat alokasi anggaran dana rehab, dan kemudian sudah selesai dibangun. 

Walaupun memang masih ada persoalan lain yang kemudian masih belum selesai, karena bicara anggaran kemarin itu enggak cukup, lantaran ada tuntutan kebutuhan lain seperti lapangan olahraga dan lainnya. Tetapi paling tidak ruangan sekolahnya sudah bagus. Masyarakat atau siswa bisa lebih aman untuk belajar di sana. Sekarang sudah baik dan tidak takut roboh lagi.

Ilustrasi Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional dengan salah satu pesan mendalamnya. (Sumber: tstatic.net)
Ilustrasi Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional dengan salah satu pesan mendalamnya. (Sumber: tstatic.net)
Dengan ironi pendidikan di Banten ini, bagaimana dampak ketertinggalannya terhadap statistik Angka Partisipasi Sekolah (APS), maupun Harapan Lama Sekolah (HLS) provinsi ini?

Ya, persoalan mengapa HLS Banten pun mengalami peningkatan tetapi tidak signifikan atau jalannya sangat lambat sekali, karena memang akses daripada pendidikan di Provinsi Banten, mungkin yang bagus itu cuma ada di Tangerang Raya, dengan akses jalan dari dan menuju sekolah-sekolah baik, juga akses transportasinya mudah. 

Sementara kabupaten/kota lainnya yang mensupport angka-angka statistik pendidikan Banten, seperti di Kabupaten Pandeglang, Lebak, dan Serang, infrastruktur jalannya saja masih menjadi persoalan besar sampai detik ini. Begitu juga dengan akses transportasinya yang masih sulit.

Padahal kalau bicara target, angka Rata Lama Sekolah Provinsi Banten yang masih 8,37 tahun akan ditingkatkan menjadi 9,3 tahun pada 2018. Sedangkan untuk HLS juga ditargetkan dari 12,7 tahun menjadi 15 tahun. Ini target luar biasa. Padahal, sepanjang 2013 hingga 2017, tidak ada peningkatan signifikan terhadap HLS. 

Kalau bicara niat, mungkin bagus. Terlihat optimis. Tapi kemudian juga perlu dilihat tren sepanjang lima tahun terakhir yang cuma berubah angka terakhir saja, bukan angka depannya. Artinya perlu ada reformasi agenda perbaikan layanan pendidikan untuk meningkatkan angka HLS sesuai target. Ini PR besar sekaligus tantangan Gubernur Banten. Bagaimana caranya meningkatkan angka statistik HLS ini? Karena menurut kami, target HLS ini sebagai target yang "tidak menjejak bumi".

Patung Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional dan salah satu pesannya. (Sumber: yogyakarta.panduanwisata.id
Patung Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional dan salah satu pesannya. (Sumber: yogyakarta.panduanwisata.id
Mustinya Banten bisa ya mensinergikan potensi sumber daya alam, dana CSR perusahaan dan lainnya untuk misalnya, fokus memajukan pendidikan?

Bisa. Tapi persoalannya, perusahaan yang punya potensi di masing-masing daerah, kemudian dimintai dana CSR-nya, biasanya persoalan yang dihadapi adalah trust. Perusahaan belum punya trust kepada Pemda untuk bisa mengelola dana CSR mereka. 

Trust ini kan sudah terbangun dari mungkin cara kerja Pemda hari ini. Perusahaan kan juga sangat paham ketika mereka mengurus izin ternyata cukup sulit, kemudian banyak "ini-itu", lalu mereka juga harus mengeluarkan dana CSR untuk dikelola oleh Pemda, wah akan seperti apa nanti jadinya (nasib dana CSR) itu.

Sedangkan kalau bicara sistem, sebetulnya kita sudah kaya dengan sistem bagaimana supaya masyarakat bisa ikut terlibat. Ada agenda Sustainable Development Goals (SDG's) yang membuat agar semua pihak bisa terlibat dari mulai perencanaan pembangunan sampai evaluasi. Tagline SDG's itu saja kan bunyinya "No One Left Behind". (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun