"Masalah Hospitality Committee sebenarnya bukan menjadi concern utama studi saya. Itu semacam sisi-sisi menarik yang terkait dengan KAA 1955. Semacam bumbu-bumbunyalah.  Sebenarnya menarik karena ketika saya membaca koran-koran di tahun 1950-an itu ada beberapa berita tentang hal itu. Terutama itu diselenggarakan oleh kelompok-kelompok yang pada waktu itu menjadi oposisi Pemerintah," ujar Wildan yang bertugas di Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya, UGM Yogyakarta.
Berikut kutipan wawancara saya dengan suami dari Nur Aini Kusmayanti, yang dilakukan menggunakan fitur WA call pada Selasa, 17 April 2018:
o o oOo o o
Pertama, belum banyak tulisan yang membahas KAA 1955 dalam Bahasa Indonesia yang lengkap. Satu-satunya yang jadi acuan mungkin adalah bukunya Roeslan Abdulgani, Ketua Sekretariat Bersama KAA 1955. Ia hadir dalam konferensi dan laporannya sungguh luar biasa sekali mengenai jalannya konferensi. Para pembuat buku sekolah mungkin kesulitan untuk memasukkan hal-hal tersebut karena referensinya masih sedikit.
Kedua, perdebatan dan ekspose selama berlangsungnya KAA 1955 dianggap kurang penting. Makanya yang ditonjolkan adalah KAA 1955 yang dianggap penting pada masa Perang Dingin, juga penting bagi Indonesia, dan pada KAA 1955 itu Presiden Soekarno muncul sebagai tokoh. Inilah yang dianggap inti-inti penting oleh penulis buku-buku sekolah. (tentang KAA 1955). Adapun soal pertentangan diplomasi misalnya, mereka abaikan. Â Â
Ketiga, penulis buku menganggap bahwa KAA 1955 sebagai sekumpulan suara yang homogen, padahal yang datang sangat heterogen sekali dan mewakili banyak kepentingan. Banyak sekali negara-negara yang mewakili kepentingan AS di KAA 1955, sekutu-sekutu AS datang, untuk berusaha mengintervensi jikalau Cina berusaha menyebarkan propaganda tentang pandangan politiknya.Â
Tapi yang luar biasanya adalah, meskipun yang datang heterogen, mulai dari negara-negara yang berpandangan non-blok seperti India, Indonesia, Mesir dan Burma, serta negara-negara yang mewakili kepentingan AS seperti Jepang, Thailand, Iran, Irak, Turki dan lainnya, tetapi mereka berhasil menyatukan konsensus suara terhadap ancaman Perang Dingin, kolonialisme dan lain-lain yang tertuang dalam Dasasila Bandung atau Bandung Spirit.
Salah satu perdebatan yang paling hangat adalah tentang tuduhan komunisme di luar Uni Soviet. Ini jelas diarahkan kepada komunisme dari negara-negara lain, terutama yang agak tersinggung adalah Cina karena waktu itu merupakan negara komunis. Jadi ada satu momen ketika Sir John Kotelawala (Srilanka) tiba-tiba mengatakan bahwa ada kolonialisme lain yaitu komunisme.Â
Hal ini membuat kaget para peserta karena tidak disangka-sangka Sir John Kotelawala akan berbicara seperti itu, sampai membuat Jawaharlal Nehru (India) dan Ali Sastroamidjojo (Indonesia) menenangkan terjadinya 'kehebohan' tersebut. Tentu saja hal ini membuat Perdana Menteri Cina, Zhou Enlai ternyata dengan tenang membalas pernyataan Kotelawala. Yang menarik, Zhou Enlai yang sebenarnya diserang secara tidak langsung, berdasarkan dokumen-dokumen yang saya baca, bisa menghadapi tekanan-tekanan seperti itu dengan tenang. Ini menarik sekali, karena ternyata Cina justru tidak reaktif dan malah tenang.