Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Cerita Ceu Popong, Dari KAA 1955, Bohongi Presiden Mesir sampai Kekurangan Jokowi

20 April 2018   20:28 Diperbarui: 23 April 2018   20:57 4203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
MODIS. Popong Otje Djundjunan pada tahun 1975. (Foto: Pikiran Rakyat)

Terus Ceu Popong bilang spontan, "Dari mana tahu nama saya?". Beliau menjawab, "Dari televisi." Coba, kan sulit mencari Presiden seperti begitu. Coba, tahu ke Ceu Popong dari televisi, berarti beliau seneng menonton televisi, berarti beliau mengikuti perkembangan-perkembangan politik. Betul tidak? Istimewa kalo menurut Ceu Popong. Dari jutaan jeleumakan, sampai beliau mengenal Ceu Popong hanya dari televisi. Sok ayeunamah nilai sendiri, personalianya (Jokowi) seperti apa? Jarang orang yang seperti itu.

Nah, satu-satunya orang yang seperti (Jokowi) itu, yang Ceu Popong tahu, yaitu cepat mengenal wajah orang tidak akan lupa kalau sudah melihat wajah orang adalah Harmoko (mantan Ketua DPR - red). Tah, Harmoko teh juga kitu, kalau satu kali sudah ketemu, dia pasti akan inget. Itu kebalikan dengan Ceu Popong. 

Ceu Popong kalau mengenali jeulema mah bleguk. Ceu Popong mah suka lupa aja kepada orang teh, kitu. Apalagi, namanya. Tapi kalau kepada wajah, kalau sudah sering ketemu baru bisa inget. Kalau baru satu-dua kali mah, poho wae. Itu kelemahan Ceu Popong. Sangat on the contrary dengan presiden kita, Pak Jokowi.

Salut Ceu Popong mah. Masak dia sebagai Presiden, orang ratusan juta, rakyatnya kan, sampai inget dengan orang yang belum pernah ketemu, hanya lihat di televisi. Nah, berarti beliau sering meureun lihat Ceu Popong di televisi. Kalau baru satu kali melihat di televisi masak inget. Berarti beliau mengikuti jalannya politik.

Diorama Presiden Soekarno sedang berpidato di KAA 1955 bisa dilihat di Museum KAA, Bandung. (Foto: Gapey Sandy)
Diorama Presiden Soekarno sedang berpidato di KAA 1955 bisa dilihat di Museum KAA, Bandung. (Foto: Gapey Sandy)
Presiden Jokowi menyampaikan Pidato Puncak Peringatan KAA ke-60, di Gedung Merdeka, Bandung. (Foto: setkab.go.id)
Presiden Jokowi menyampaikan Pidato Puncak Peringatan KAA ke-60, di Gedung Merdeka, Bandung. (Foto: setkab.go.id)
Kalau kekurangan Jokowi apa?

Kekurangannya? Mana saya tahu. Kan ketemunya juga baru satu kali. Kalau menanyakan kekurangannya kudu ka istrina. Eh .., bener henteu? Apa yang saya tahu tentang kekurangannya, dakudu bergaul berhari-hari atuh. Pertanyaannya jangan begitu dong, ah. Moal kapancing saya mah. Moal! Ngartos kan? Kalau nanya kekurangannya, apa kekurangannya? Kan ketemu yang face to face mah, baru kali itu. Naon atuh kalau kudu disebutkan kekurangannya. Masak harus menyebut (Jokowi) malas, pan tadi Ceu Popong menyebut (Jokowi) rajin.

o o o O o o o

Baca juga tulisan sebelumnya:

Serba-serbi Konferensi Asia-Afrika Pertama, Mulai dari Kamera "Jadul" hingga Bajigur

Warisan "Semangat Bandung" dan Isu Tabu pada KAA 1955

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun