Berdasarkan informasi yang dipampang Dinas Pariwisata setempat disebutkan bahwa, Tuanku Rajo Bagindo Istano Rajo Balun telah berdiri lebih dari 1 abad dengan nama Rumah Gadang Daulad Yang Dipertuan Tuanku Rajo Bagindo Raja Adat Alam Surambi Sungai Pagu, Pucuk Pimpinan Kampai Nan Duo Puluah Ampek.
Pada 1939, Belanda melakukan penyerangan dan membumihanguskan rumah gadang karena menganggap istano ini menjadi basis tentara RI dibawah pimpinan Mr Syafrudin Prawiranegara. Konon penyerangan tersebut tidak berhasil karena pada saat itu istano ini dijaga oleh makhluk tak kasat mata yang disebut "Inyiak" yang berwujud harimau serta ular yang menghambat besarnya kobaran api sehingga tidak habis terbakar dan hanya tiga tonggak saja yang terbakar. Bukti kebakaran tersebut masih bisa dilihat sampai sekarang.
Di rumah gadang Istano Rajo Balun ini ada 2 anjungan yang pada sisi kiri merupakan tempat duduk raja, sedangkan anjungan sisi kanan adalah tempat duduk permaisuri. Ada 5 jendela di istano ini sebagai perlambang Rukun Islam, dan 6 tiang yang merupakan lambang Rukun Iman. Saat ini yang mendiami istano adalah generasi ke-16 yaitu Puti Ros Dewi Balun.
Adat Penggunaan Rumah Gadang
Ir Hasmurdi Hasan dalam bukunya "Ragam Rumah Adat Minangkabau : Falsafah, Pembangunan dan Kegunaan" menyebutkan 4 adat penggunaan Rumah Gadang, yaitu:
Pertama, penggunaan sebagai Harta Pusaka. Rumah gadang diwarisi dan dimiliki oleh kaum ibu yang disebut Limpapeh, dihuni bersama dengan suami beserta anak perempuan, dan suami anaknya. Dasar kekeluargaan dimulai di rumah tangga, ibu yang diberi nama "Limpapeh rumah nan gadang" adalah lambang keturunan. Oleh karena itu, orang sepesukuan dilarang kawin mengawini Ibu sebagai "Amban Paruak" menguasai harta pusaka dan rumah gadang, sedangkan saudara laki-laki yang disebut "Tungganai" menyandang pusaka gelar penghulu adat atau sako.
[Catatan: Oh ya, sekadar tambahan saja, mendengar kata"Limpapeh", teringat Jembatan Limpapeh yang ada di Bukittinggi. Jembatan ini menjadi salah satu destinasi wisata karena berada satu area denganBenteng Fort De Kock sertaKebun Binatang Kinantan. Berdiri di atas Jembatan Limpapeh ini, pengunjung bisa melihat bagian Kota Bukittinggi beserta alam pegunungannya dari ketinggian]
Tonggak tuo di rumah gadang adalah sandaran duduk Limpapeh pada setiap dilangsungkan upacara adat baik pesta maupun dalam keadaan berkabung dan berduka cita, letak tonggak tuo di sisi luar kamar yang terletak pada bagian pangkal rumah gadang, disinilah kamar tidurnya Limpapeh.
Semua kamar rumah gadang diperuntukkan untuk kaum perempuan, anak perempuan yang pertama menikah menempati kamar paling ujung yang dinamai Biliak Bagaluang, dan akan pindah ke kamar sebelahnya ke arah pangkal jika adik perempuannya menikah, dan adiknya yang pengantin baru tersebut gantian menempati Biliak Bagaluang, begitu seterusnya.