Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Jurnalis dan Pertanyaan Kurang Empati

17 Januari 2018   21:41 Diperbarui: 22 Januari 2018   09:56 3923
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jurnalis televisi di kamp pengungsian warga Rohingya di Bangladesh. (Foto: Youtube Official Net News)

Solusinya? "Ya sejak awal, jurnalis televisi berada di lokasi, ya membaur saja dengan masyarakat atau korban bencana tadi. Ngobrol-ngobrol saja sambil duduk santai. Syukur-syukur bisa ngobrol pakai bahasa setempat pasti lebih welcome merekanya. Sambil kita menggali data dengan pertanyaan yang disampaikan dengan bahasa luwes. Pas posisi udah ngobrol enak, baru minta izin wawancara beliaunya untuk ngobrol atau wawancara," urainya memberi tips.

Menurut Lulu, berempati kepada korban bencana juga bisa diwujudkan dalam bentuk perbuatan. "Jurnalis itu kan berada di lokasi enggak cuma sesaat. Bisa stay di wilayah setempat, tergantung penugasan dari Koordinator Liputan. Nah, waktu longgar atau pas enggak kerjalah yang jadi kesempatan jurnalis berempati. Rasa empatinya ditunjukkan lewat perbuatan," kata jurnalis yang juga Kompasianer ini.

Adapun kiat untuk menghindari pertanyaan kurang berempati kepada natasumber korban bencana pada saat wawancara live, kata Lulu, adalah dengan tidak menanyakan bagaimana perasaan si narasumber. "Pertanyaan kita, bisa dialihkan seperti misalnya: "Berada pada posisi sebelah mana Bapak pada waktu kejadian?", "Waktu itu Bapak sedang apa?", "Bagaimana suasananya pada saat kejadian berlangsung?" dan lainnya. Intinya, kita mengajak narasumber untuk bercerita, dan tidak menanyakan bagaimana perasaan narasumber tersebut. Karena, bencana sudah jelas membuat korban merasa sedih," urai Lulu.

Kerja jurnalis di lapangan. (Foto: Dina Octora/krjogja.com)
Kerja jurnalis di lapangan. (Foto: Dina Octora/krjogja.com)
Panduan Wawancara Tak Terencana

Abdullah Alamudi dalam bukunya Teknik Melakukan & Melayani Wawancara menyampaikan sejumlah tips apabila jurnalis bertemu dengan narasumber secara tidak terencana. Misalnya, ketika jurnalis lebih dulu tiba di lokasi bencana atau musibah, bahkan lebih cepat datangnya daripada polisi maupun pemadam kebakaran.

Dalam bukunya itu, Abdullah Alamudi - yang merintis karir penyiaran di ABC Radio Australia -- memberi kiat wawancara mendadak atau tidak terencana dengan mengutip Joe Hight dan Frank Smith, yaitu:

Pertama, selalu perlakukan korban dengan sopan dan hormat, seperti halnya jurnalis itu sendiri yang ingin diperlakukan apabila berada dalam keadaan serupa. Tak pelak, inilah yang namanya EMPATI.

Kedua, jelaskan identitas sebagai jurnalis.

Ketiga, sampaikan keprihatinan.

Keempat, jangan serbu keluarga korban dengan pertanyaan-pertanyaan berat pada awal wawancara. Mulailah dengan pertanyaan seperti, "Bisa Anda ceritakan bagaimana kehidupan Fulan?", "Apa yang Fulan suka lakukan?" atau  "Apa hobi yang paling disukainya?"Lalu dengarkan! Kesalahan terburuk yang dilakukan jurnalis adalah apabila dia bicara terlalu banyak!

Kelima, berhati-hati ketika mewawancarai anggota keluarga yang hilang. Jika jurnalis mendapat reaksi keras, tinggalkan nomor telepon atau kartu nama dan jelaskan bahwa korban atau keluarganya dapat menghubungi jika sudah mau berbicara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun