Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Jurnalis dan Pertanyaan Kurang Empati

17 Januari 2018   21:41 Diperbarui: 22 Januari 2018   09:56 3923
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketika bencana alam di Banjarnegara. (Foto: ANTARA FOTO/Idhad Zakaria/foc/16).

Muchlis Anwar, mantan broadcaster Radio MetroFM Surabaya. (Foto: Ulish Anwar Facebook)
Muchlis Anwar, mantan broadcaster Radio MetroFM Surabaya. (Foto: Ulish Anwar Facebook)
Terkait masalah ajuan pertanyaan yang kurang berempati dalam kemasan wawancara live show, saya mewawancarai Muchlis Anwar, mantan broadcaster Radio MetroFM Surabaya. Menurutnya, jurnalis televisi memang sering terjebak dalam mengajukan pertanyaan yang sifat reportasenya mendadak dan special case.

Contohnya ya seperti wartawati televisi yang menanyakan kepada seorang wanita muda korban ambruknya lantai mezanin di Gedung BEI kemarin. "Sudah jelas-jelas korban masih menjalani perawatan medis. Sudah jelas-jelas mahasiswi ini berstatus tamu yang sedang field trip di BEI, dan berasal dari salah satu kampus di Palembang, eh kenapa malah ditanya berapa kira-kira ketinggian mezanin yang ambruk itu. Ini kan membuat pemirsa heran dan bertanya-tanya, apakah wartawati televisi ini pernah ikut training jurnalistik atau belum?" prihatin Ulish, sapaak akrabnya, melalui WhatsApp Voice Call, Rabu, 17 Januari 2018.

Meski begitu, Ulish bisa memahami bahwa melakukan wawancara live show memang sulit. "Biarpun sudah mengikuti training jurnalistik, tetapi wawancara live dan mendadak atau dadakan memanglah sulit. Untuk itu, setiap jurnalis harus terus melatih diri untuk mengajukan pertanyaan yang sifat kemasannya live dan dadakan seperti itu, Artinya, jangan sampai terjebak sehingga mengajukan pertanyaan yang kurang empati seperti contoh barusan," tutur penulis buku The Art of Communication ini.

Banjir di Hanoi, Vietnam. Apa jurnalis masih tanya bagaimana perasaan Ibu karena kebanjiran? (Foto: merdeka.com | reuters/kham)
Banjir di Hanoi, Vietnam. Apa jurnalis masih tanya bagaimana perasaan Ibu karena kebanjiran? (Foto: merdeka.com | reuters/kham)
Karena tingkat kesulitan wawancara live show dan dadakan inilah, Ulish menyebutkan bahwa wajar apabila jurnalis televisi beberapa kali mengajukan pertanyaan yang dinilai kurang berempati kepada narasumber, khususnya mereka yang menjadi korban bencana alam maupun musibah lainnya.

"Munculnya pertanyaan yang kurang berempati itu wajar saja sebenarnya. Apalagi, kalau jurnalis televisi ini terbilang masih baru, dan belum banyak pengalaman terjun ke lapangan peliputan. Wajar, tapi akhirnya jurnalis televisi ini menjadi terjebak pada diajukannya pertanyaan-pertanyaan yang kurang berempati seperti tadi itu. Atau, yang lebih parah lagi, jurnalis ini bingung sendiri, mau bertanya apa lagi ya? Namanya juga mereka jurnalis pemula dan ketika di lapangan harus segera membuat pertanyaan yang dadakan dan special case," tutur pelatih public speaking sekaligus motivator ini.

Tapi, jangan anggap kewajaran ini sebagai hal yang "mudah termaafkan". Harus ada evaluasi dan training khusus agar mereka bisa mengajukan pertanyaan dalam situasi wawancara mendadak dan kemasannya live show pula.

"Apalagi, jenis pertanyaan yang kurang berempati seperti ini sering berulang kali diajukan oleh jurnalis televisi. Seharusnya, ketika menerima penugasan peliputan dan pada saat mereka menuju lokasi, harus sudah terpikirkan apa-apa saja yang seharusnya ditanyakan dalam wawancara live show nanti. Ketika jurnalis bergerak on the way, harusnya mereka sudah merancang beberapa pertanyaan inti, dan dari sini mereka harus bisa kembangkan lagi nantinya, sesuai situasi dan kondisi di lapangan peliputan," saran Ulish.

Heheheheee ... kalau soal dadakan, yang paling enak ya tahu bulat, atuh.

Luana Yunaneva, jurnalis KompasTV biro Kediri. (Foto: Luana Yunaneva Facebook)
Luana Yunaneva, jurnalis KompasTV biro Kediri. (Foto: Luana Yunaneva Facebook)
Luana Yunaneva, jurnalis KompasTV biro Kediri. (Foto: Ezzha Prihandaya Facebook)
Luana Yunaneva, jurnalis KompasTV biro Kediri. (Foto: Ezzha Prihandaya Facebook)
Oh ya, rasanya enggak berimbang kalau tulisan ini tidak mewawancarai juga jurnalisnya. Untuk itu, saya wawancara viaWhatsApp Chat dengan Luana Yunaneva, jurnalis KompasTV biro Kediri.

Menurut Lulu, panggilan akrabnya, mewawancarai korban bencana alam dan musibah adalah materi yang cukup sulit dan sensitif. Karena, harus menjaga tutur kata supaya tidak menyinggung perasaan narasumber.

"Salah satu kesulitannya yaitu mencari momentum yang pas buat bertanya. Ketika narasumbernya merupakan korban bencana, tentu dia akan memikirkan dan mengerjakan banyak hal. Kalau enggak pas, yang ada dianya bisa tersinggung dan enggak mau diwawancarai. Bisa-bisa kita dianggap mengganggu. Belum lagi, kadang mereka enggak nyaman dengan kamera karena merasa terekspos. Sementara jurnalis televisi perlu mengambil gambar suasana, ekspresi wajah dan detil-detil yang lain," tutur Lulu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun