"And I believe that good journalism, good television, can make our world a better place."(Christiane Amanpour)
Nama "Amanpour" sudah mendunia. Dedengkot CNN International ini bukan anak bawang lagi di blantika jurnalisme televisi. Mulai dari Perang Teluk, Perang Bosnia, Perang Afghanistan, dan Perang Suriah jadi contoh ladang garapan liputannya. Makanya, menjadi wajar ketika Amanpour yakin benar, bahwa jurnalisme televisi yang baik dapat membuat dunia kita menjadi hunian yang lebih baik.
Tapi bagaimana dengan jurnalisme televisi yang kurang baik? Pemirsa pasti akan memberikan penilaian dari sudut pandangnya masing-masing. Termasuk, ketika jurnalis televisi melakukan hal-hal yang dianggap kurang pas dalam menjalankan tugasnya, pemirsa pun pasti sigap menyampaikan penilaiannya.
Satu hal yang dinilai pemirsa, karena berulang kali dilakukan beberapa jurnalis televisi pada saat melakukan pekerjaannya adalah mengajukan pertanyaan yang kurang berempati kepada narasumber, dalam hal ini korban (bencana alam, musibah dan lainnya).
Saya menonton salah seorang wartawati televisi yang berhasil masuk ke ruang gawat darurat rumah sakit, dan melakukan wawancara live dengan salah seorang korban yakni seorang mahasiswi yang masih terbaring lemah.
Diantara pertanyaan wartawati televisi kepada korban adalah, apakah korban mengetahui berapa ketinggian lantai mezanin di lantai dua yang ambruk ke lantai satu. Bayangkan, korban yang tergolek lemah, mengalami shock, derita memar dan nyeri tubuh, serta merasakan ketidaknyamanan suasana darurat rumah sakit, malah memperoleh pertanyaan dari wartawati televisi yang sudah pasti belum mungkin bisa ia jawab.
Kaget campur kesal juga saya menyimak pertanyaan wartawati televisi ini. Bagaimana mungkin, korban yang masih tergolek di ranjang rumah sakit dan dalam kondisi shock, diajukan pertanyaan tentang ketinggian lantai mezanin yang ambruk dan turut bahkan menimpa korban?
"Tontonan" ini pun segera saya ceritakan ulang sebagai status Facebook. Hasilnya, tidak sedikit komentar yang menilai bahwa wartawati televisi tersebut kurang berempati kepada korban. Pertanyaan yang diajukannya tidak mencerminkan perasaan seperti apa yang tengah dialami narasumbernya.