"Persoalannya ternyata bukan sekadar mengubah cara pandang masyarakat untuk stop membuang air besar sembarangan, atau berperilaku sanitasi yang baik, tapi juga sebenarnya sebagian besar masyarakat sudah paham bahwa berperilaku sanitasi yang baik adalah juga sangat mereka butuhkan. Tapi sebagian besar diantara mereka masih tidak punya kemampuan untuk menyediakan akses tersebut karena terbentur masalah biaya," ujar perempuan nan super gesit ini.
"Untuk memecahkan solusi pembiayaan demi pemenuhan akses sanitasi dan air bersih ini tidak bisa dijawab secara sedemikian rupa. Karena ternyata, kami juga mendapat tantangan untuk mendapatkan mitra lembaga keuangan terutama yang mikro, yang mendekatkan kami kepada masyarakat sasaran. Hal ini karena cara pandangan yang sementara ini masih menganggap bahwa pembiayaan terkait akses sanitasi dan air bersih adalah sebagai bisnis sosial semata. Meskipun bukan juga berarti sosial yang dibisniskan, tapi diantara profit mereka ada hak yang dimiliki oleh masyarakat yang belum memiliki akses sanitasi dan air bersih. Hak ini mustinya diberikan kepada masyarakat sasaran itu," kata Fay, begitu perempuan berjilbab ini biasa dipanggil.
Fay mencontohkan, ketika water.org berhasil melibatkan KKUM yang menggelontorkan Kredit Sanitasi, mustinya laik menjadi teladan positif. "Nilai positif atau hikmah yang bisa dipetik dari kerjasama ini adalah, masyarakat sasaran dapat memperoleh Kredit Sanitasi dengan harga yang terjangkau, proses yang begitu mudah, juga tanpa administrasi yang mempersulit. Hal ini penting, karena kalau bercermin dari apa yang berlangsung di Kabupaten Bogor ini saja, banyak sekali masyarakat kita yang agak minder untuk masuk ke lembaga keuangan konvensional. Apalagi, untuk melakukan memperoleh pembiayaan untuk memenuhi akses kebutuhan dasar mereka, dalam hal ini sanitasi dan air bersih," tutur Fay penuh prihatin.
Hal senada disampaikan Maria Hartiningsih, aktivis kemanusiaan yang menilai bahwa isu pemenuhan akses sanitasi dan air bersih masih belum jadi prioritas, alias dianggap 'urusan belakang' saja. "Padahal inilah kebutuhan dasar masyarakat yang menjadi indikator dari kemajuan suatu bangsa. Sekarang orang bicara isu ini karena ada program Pemerintah 100 -- 0 -- 100, tapi sesungguhnya hal ini batasannya hanya sekadar pencapaian target sampai 2019 belaka. Jadi, tidak sungguh-sungguh masuk ke dalam ruang hati kita bahwa itu adalah kebutuhan yang bukan hanya harus dipenuhi, tapi juga harus menjadi prioritas dari banyak program," ujarnya dalam interview eksklusif bersama penulis, Selasa (24 Oktober 2017) di Cibadak, Bogor.
Sebelumnya, Maria pun membeberkan sejumlah fakta dan data memprihatinkan terkait isu clean and safe water. Antara lain, mantan wartawati Kompas (1984 -- 2015) ini mengutip baseline survei USAID 2006 yang memaparkan bahwa, kematian Batita di Indonesia karena diare adalah  28%. Penelitian tahun 2004 menunjukkan, 67,12% keluarga memiliki sarana sanitasi (jamban) yang memenuhi syarat. Akan tetapi, standar 'memenuhi syarat' itu berbeda antara KemenPU, Kementerian Kesehatan dan Lingkungan Hidup (sekarang masuk Kementerian Kehutanan). Standar Kemenkes, misalnya, adalah 'cubluk' di daerah pedesaan, yang tak masuk standar PU.
Berdasarkan sejumlah referensi yang diperoleh penulis, 'cubluk' ada yang mengartikan sebagai penampungan tinja. Ada juga yang memaparkan bahwa 'cubluk' bukanlah septictank, melainkan hanya galian tanah sedalam 60 cm dengan dinding dua buah bis beton yang disusun paralel, tanpa dasar. Kloset tidak dibangun langsung di atas 'cubluk', akan tetapi kloset tetap berada di kamar mandi, hanya dialirkan keluar ke 'cubluk'. 'Cubluk' merupakan lubang yang digunakan untuk menampung air limbah manusia dari jamban dan juga air dari kamar mandi yang berfungsi sebagai tempat pengendapan tinja dan juga media peresapan dari cairan yang masuk.
Indonesia juga satu dari 17 negara dengan angka stunting tertinggi di antara 117 negara dengan masalah stunting. Salah satu sumber persoalannya adalah sanitasi dan air bersih. [Stunting, bisa dibilang adalah merupakan kondisi di mana seorang anak memiliki tinggi badan lebih rendah dari standar usianya].
Di Indonesia, prihatin penulis buku "Jalan Pulang" ini, tak banyak politisi mengangkat masalah ini dalam kampanye politiknya karena dianggap 'urusan belakang'. Pun media massa. Sanitasi dan air bersih tidak dianggap persoalan politik, padahal kalau mengacu pada definisi politik dari Aristoteles, misalnya, politik adalah segala hal yang terkait dengan kehidupan sehari-hari. HDR (2006) mengatakan, rata-rata pemerintah di dunia hanya mengalokasikan kurang dari 0,5 persen GDP untuk air dan sanitasi. Padahal dibutuhkan sekurangnya satu persen GDP. Bandingkan dengan budget untuk militer yang mencapai 50 kali lipatnya di beberapa negara, seperti Pakistan.