Tapi bersyukur, kini perilaku tak sehat terkait urusan buang hajat Ela dan Yuliana beserta keluarganya sudah berubah. Sesudah belasan bahkan puluhan tahun hidup di rumah yang tiada jamban (WC) apalagi kamar mandi, kini rumah tinggal keduanya sudah terlengkapi dua fasilitas yang sepaket dan vital itu.
Harapan keduanya untuk punya kamar mandi plus jamban di dalam rumah terwujud sesudah mereka mengikuti program pembiayaan yang digagas KKUM, sebuah koperasi syariah yang berkantor pusat di Desa Kolong I, Kecamatan Leuwisadeng, Kabupaten Bogor. Hanya bermodalkan fotokopi KTP, KK dan bisa menuliskan namanya sendiri, Kredit Sanitasi yang digunakan untuk membangun kamar mandi juga jamban dikucurkan.
"Buat Ela sih, tidak memberatkan, apalagi kalau dibandingkan dengan "bank-bank keliling" yang suka nawarin pinjaman uang tapi bunga pinjamannya gede banget. Jadi, setelah pihak KKUM menghitung kebutuhan bahan-bahan bangunan berikut ongkos pekerja bangunan untuk pembuatan kamar mandi berikut jamban, maka total nilai pinjaman Ela ya sebesar itu juga. Waktu itu, total pinjaman Ela Rp 5.025.240. Nah, Ela punya kewajiban untuk mengangsur per minggu sebesar Rp 118.500 selama satu tahun. Alhamdulillah, tinggal lima kali angsuran lagi, pinjaman Ela sudah akan lunas," urai Ela dengan wajah berbinar bahagia.
Kalau dihitung-hitung, memang ada selisih kelebihan Ela membayar, yakni Rp 899.760. Inilah yang ditulis sebagai margin (keuntungan - red), dalam buku kecil biru bertuliskan Skim Pembiayaan Mikro Untuk Rumah Tangga Miskin. Margin keuntungan adalah bahasa lembaga pembiayaan syariah, sedangkan pada lembaga pembiayaan konvensional sebutannya menjadi bunga. Tapi, karena Kredit Sanitasi KKUM ini falsafahnya adalah syariah, maka ya itu tadi, "margin keuntungan" menjadi istilah paling tepat.
Besarnya persentase bunga dikaitkan dengan jumlah uang yang dipinjamkan. Sementara persentase margin keuntungan didasarkan pada kesepakatan antara pembeli dan penjual. Hal lain, bunga harus tetap dibayarkan walau proyek merugi, tetapi margin keuntungan adalah hak penjual dan merupakan bagian dari harga yang disepakati antara pembeli dan penjual. Dan masih banyak lagi perbedaan bunga (konvensional) dengan margin keuntungan (syariah), seperti tertulis di sini, misalnya.
Itulah antara lain alasan, mengapa Yuliana -- yang bangunan kamar mandi dan jambannya belum selesai --, tidak bisa menjawab secara pasti berapa nilai plafon pinjamannya. "Saya belum tahu berapa nilai pinjamannya. Tentu juga belum tahu, berapa harus bayar angsurannya per minggu dalam satu tahun kedepan. Karena, prosesnya di lapangan adalah bahan-bahan bangunan dikirim lebih dahulu ke rumah, lalu kamar mandi dan jamban dibangun oleh tukang bangunan. Hitung-hitungan akhirnya baru nanti ditetapkan, sesudah semua proses pengerjaan bangunannya selesai," ujar Yuliana ketika menjawab pertanyaan peserta rombongan Media Jabar Visit.
Program Kredit Sanitasi -- yang membangun kamar mandi dan jamban -- warga, memang bukan sesuatu yang baru. "Kredit Jamban" juga sudah berjalan di beberapa daerah lain, seperti di Kabupaten Malang, Soreang -- Bandung, Jombang -- Jawa Timur, Grobogan -- Jawa Tengah dan lainnya. Malah ada juga yang menggunakan konsep "Arisan Jamban" seperti di Cluring - Banyuwangi.
"Keunggulan dari Kredit Sanitasi yang kami gulirkan adalah lebih berpikir bahwa kami membuat sanitasi yang bukan hanya sekadar sanitasi, tetapi sanitasi diharapkan dapat membuat warga untuk termotivasi untuk hidup lebih sehat. Dalam arti, rumahnya lebih sehat, lingkungan lebih sehat, kemampuan warga untuk bekerja juga lebih sehat, lalu ketika bekerja juga menjadi lebih maksimal, karena mereka sekarang mandinya tidak perlu jauh-jauh ke sungai, BAB-nya juga enggak jauh, lalu lingkungan dan airnya juga bersih, Itu sasaran kami sebenarnya," tutur Direktur KKUM, Murtadho SH MM.