Sudah hampir satu tahun program 'Bahan Bakar Minyak (BBM) Satu Harga' dilaksanakan.Bagaimana perkembangannya?
- - - - - -
Ya, kalau Anda masih ingat, ketika meresmikan Bandar Udara Nop Goliat Dekai di Yahukimo, Papua, pada 18 Oktober 2016, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencanangkan program 'Satu Harga BBM'. Program yang cukup membuat terhenyak banyak pihak, lantaran selama ini dipandang musykil, dan tak mungkin bisa dilakukan.
Tapi ternyata, Presiden Jokowi tidak mengenal istilah musykil, mustahil, apalagi impossible. Bahkan, buka cuma sekadar pandai mencetuskan gagasan, Presiden Jokowi menunjukkan keseriusannya dengan langsung memeriksa pesawat Air Tractor AT-802 yang merupakan pesawat pengangkut BBM. Inilah salah satu pesawat yang menjadi salah satu penopang pelaksanaan program 'BBM Satu Harga'. Kapasitas angkut maksimal "perut" pesawat ini adalah 4 ton atau 4.000 liter.
Secara bertahap, program tersebut kemudian dilaksanakan. Sekaligus jadi bukti nyata kerja Presiden Joko Widodo dalam upaya mewujudkan pemerataan biaya di Kawasan Indonesia Timur.
"Ini bukan masalah untung dan rugi. Ini masalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Saya mau ada keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sehingga harganya sekarang di seluruh kabupaten yaitu 6.450 rupiah per liter untuk premium," tegas Presiden Jokowi.
Suara tegas Presiden Jokowi yang optimis program ini akan dapat dilaksanakan seakan menyingkap kabut berbagai kendala pelaksanaan 'BBM Satu Harga'. Ya, semua orang tahu, khusus untuk wilayah Papua misalnya, pengiriman BBM masih sulit dijangkau dengan mengandalkan moda transportasi umum. Jadi, bagaimana mungkin mau memberlakukan 'satu harga'? Begitu pikir mereka yang nyinyir bahkan setengah menentang.
Tapi, buat apa mendengarkan kata mereka yang pesimis.
"Ini luar biasa. Sejak Papua berintegrasi dengan Indonesia, harganya sudah seperti itu. Ini keputusan yang luar biasa dan bijaksana bagi orang Papua. Tidak mudah menyeragamkan harga BBM khususnya di Papua. Pasalnya, wilayah satu dengan yang lain belum terintegrasi dengan infrastruktur masih menjadi penyebab utama," kata Lukas seraya berjanji dan siap mengawal dan mensukseskan program 'BBM Satu Harga'.
Harapan Lukas, pada setiap kecamatan di Papua, ada terdapat SPBU. Alasannya logis, supaya masyarakat tidak kesulitan untuk mendapatkan BBM. Bukankah kemudahan memperoleh BBM juga menjadi salah satu faktor penggerak roda perekonomian daerah?
Sekali lagi, tak perlu memikirkan opini mereka yang nyinyir. Karena slogan "kerja, kerja dan kerja" yang menjadi ciri khas Presiden Jokowi bukan sekadar kalimat kosong. Kerja untuk Indonesia. Kerja untuk Merah Putih! Maka tak aneh kalau kemudian Gubernur Papua sampai mengeluarkan pernyataan yang begitu membuat bulu kuduk bergidik mendengarnya. Apa itu? "Dengan penetapan satu harga, maka orang Papua merasa kami juga orang Indonesia!" tegas Lukas Enembe.
Adapun jenis BBM yang termasuk dalam aturan tersebut adalah minyak solar 48, minyak tanah bersubsidi, serta premium penugasan atau bensin (gasoline) RON 88. Rantai distribusi 'BBM Satu Harga' adalah badan usaha penerima penugasan (Badan Usaha Pemegang Izin Usaha Niaga Umum yang selanjutnya disingkat BU-PIUNU adalah Badan Usaha yang telah memperoleh Izin Usaha untuk melakukan Kegiatan Usaha Niaga Umum Bahan Bakar Minyak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan); penyalur (yaitu koperasi, usaha kecil, dan/atau badan usaha swasta nasional yang ditunjuk oleh BU-PIUNU untuk melakukan kegiatan penyaluran); dan konsumen.
Kendala dan Perkembangan 'BBM Satu Harga'
Sejak awal program dicanangkan, berbagai kendala pelaksanaannya sudah jelas-jelas menumpuk di pelupuk mata. Utamanya, kendala tersebut adalah tingginya biaya jalur distribusi dari Sabang sampai Merauke. Krisis harga minyak dunia yang masih fluktuatif pun menjadi masalah, seiring kapasitas produksi minyak mentah Indonesia yang selama ini belum mampu mencukupi kebutuhan domestik.
"Kendala lainnya adalah sulitnya mencari pengusaha atau investor untuk membangun SPBU di wilayah 3T alias Terdepan, Terluar dan Tertinggal. Untuk mewujudkan 'BBM Satu Harga', kita juga musti mencari darimana sumber-sumber BBM-nya, memikirkan bagaimana menerapkan moda transportasi yang tepat, dan mencari terlebih dahulu pihak-pihak yang dapat menjadi APMS atau Agen Premium dan Minyak Solar. Intinya, pelaksanaan program ini tidak mudah, karena misalnya, terlalu jauh jaraknya, sementara volume yang didistribusikan kecil, sehingga nilainya tidak terlalu ekonomis. Meskipun, tetap akan ada nilai ekonomis tersebut," tutur Adiatma Sardjito, Vice President Corporate Communication Pertamina, dalam satu kesempatan di Jakarta baru-baru ini.
Buktinya, mari kita lihat terlebih dahulu, optimalisasi jaringan distribusi BBM di Indonesia --- yang banyak dinilai rumit --- untuk menyalurkan BBM melalui pengoperasian berbagai infrastruktur penunjang. Untuk menyalurkan energi ke seluruh penjuru negeri, Pertamina mengoperasikan prasarana penunjang, seperti berikut:
* 6.454 SPBU.
* 2.856 unit mobil tanki (hingga Februari 2016).
* 227 kapal tanker (sewa dan milik).
* 116 terminal BBM.
* 66 depot pengisian pesawat udara (DPPU).
Lantas, bagaimana dengan perkembangan terakhir capaian program 'BBM Satu Harga'?
Sebagai pengemban amanat negara untuk menunaikan program berkeadilan ini, Pertamina menargetkan untuk membangun lembaga penyalur di 148 kabupaten/kota hingga 2019.
Adapun sebaran lokasi lembaga penyalur yang sudah beroperasi hingga Juli 2017, menurut Kementerian ESDM, berada di Kalimantan Utara (Krayan), Kalimantan Barat (Bengkayang), Kalimantan Timur (Long Apari), Sumatera Utara (Pulau-pulau Batu), Sumatera Barat (Siberut Tengah), Jawa Tengah (Kepulauan Karimunjawa), Jawa Timur (Pulau Raas), Nusa Tenggara Barat (Tanjung Pengamas), Nusa Tenggara Timur (Waingapu), Sulawesi Tenggara (Wangi-wangi), Sulawesi Utara (Kepulauan Talaud : Kecamatan Kabaruan, Kecamatan Melonguane), Maluku (Seram Bagian Barat), Maluku Utara (Halmahera Selatan dan Morotai Utara), Papua Barat (Kecamatan Moswaren dan Kecamatan Anggi), dan Papua (Kecamatan Ilaga, Elelim, Kenyam, Kasonaweja, Kobakma, Karubaga dan Wenam, serta Kecamatan Sugapa).
Sebagai contoh penyesuaian harga BBM yang sudah terjadi adalah di Kecamatan Ilaga, Papua. Harga Premium sebelum adanya program 'BBM Satu Harga' adalah Rp 50.000 -- Rp. 100.000 per liter, dan menjadi Rp 6.450 per liter pasca program dilaksanakan. Begitu juga dengan harga Solar di Kecamatan Anggi, Papua Barat, yang sebelumnya Rp 15.000 -- Rp 30.000 per liter menjadi Rp 5.150 per liter setelah penerapan 'BBM Satu Harga'.
Tapi, asal tahu saja, hasil yang mengagumkan ini tak lepas dari operasional distribusi BBM yang pada praktiknya begitu teramat menantang. "Sebagai contoh, pengiriman BBM di Kalimantan yang harus menggunakan jalur sungai. Di terminal BBM Samarinda menuju APMS Hulu Sungai Mahakam biaya distribusi BBM-nya mencapai Rp 1.051 per liter. Tambah lagi, pada saat pendistribusian, di daerah riam atau jeram yang tidak memungkinkan dilalui Long Boat bermuatan BBM, maka BBM harus dipindahkan lebih dahulu ke drum yang lain di hulu riam," terang Adiatma.
Tulang Punggung Ekonomi Negara
Boleh dibilang, pelaksanaan 'BBM Satu Harga' sudah berjalan sesuai tahapan programnya, dan mengincar kesempurnaannya pada 2019 mendatang. Bagi Pertamina, waktu dua tahun jelas terbilang singkat. Makanya, jauh-jauh hari sempat dicanangkan enam paket strategi untuk mendorong percepatan pemberlakuan 'BBM Satu Harga'. Keenam paket tersebut adalah: peningkatan bisnis di hulu migas, mendorong efisiensi produksi, revitalisasi kilang minyak, pembangunan infrastrukturdan peningkatan kapasitas pemasaran, serta mendorong kinerja keuangan.
Mari kita kulik paket nomor wahidnya yaitu peningkatan bisnis di hulu (upstream) migas.
Seperti kita tahu, industri hulu migas memang menjadi tulang punggung ekonomi negara. Kegiatan eksplorasi dan produksi pada industri hilir migas mencakup serangkaian aktivitas yang kompleks dan bersifat jangka panjang, yang diatur dengan regulasi khusus. Dalam mengelola usaha hulu migas, Indonesia mengembangkan model kontrak bagi hasil (production sharing contract) atau kontrak kerja sama dengan perusahaan swasta nasional maupun internasional. Dengan model kontrak bagi hasil ini, negara memegang kontrol atas pengelolaan sumber daya alam migas. (Agus Sudibyo, "Etika Jurnalisme Migas : Panduan untuk Wartawan", 2015)
Bukan hanya di dalam negeri, Pertamina juga menggenjot produksi hulu lapangan mancanegara. Pada 2025 mendatang, Pertamina menargetkan produksi migas mencapai 1,9 juta barel setara minyak, dari hasil produksi ladang migas dalam negeri maupun ekspansi menggarap ladang-ladang migas di luar negeri. Untuk yang di luar negeri, Pertamina pasang target untuk dapat memproduksi hingga 700.000 MBOEPD pada 2025.
Adapun tahapan yang sudah berjalan pada kuartal I 2017 ini adalah di Kanada, Nigeria, Afrika, Kolombia, Perancis, Nambia, Italia, Irak, Myanmar dan Malaysia. Hasilnya? Kontribusi lapangan migas mancanegara mampu memproduksi hingga 121.000 BPOEPD pada kuartal I 2017 atau naik 17,3% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Dari jumlah itu, minyak mencapai 99,9 ribu barel per hari, dan gas 281,9 juta kaki kubik per hari.
Akhirnya, wajar kalau kita cukup gembira menyimak perkembangan program 'BBM Satu Harga' sejak dicanangkan Presiden Jokowi hampir setahun kemarin. Pada praktiknya, kendala boleh saja menghadang, tetapi prinsip keadilan harus terus ditegakkan. Saya pun jadi terngiang kata-kata Adiatma Sardjito lagi.
Katanya, "Jangan samakan distribusi BBM di Indonesia dengan di Amerika Serikat. Kalau di Amerika, geografisnya adalah benua sehingga tinggal sambungkan saja pipa demi pipa untuk menjangkau wilayah distribusi. Beda dengan Indonesia yang punya 17.504 pulau, dengan sarana dan prasarana yang terbatas. Tapi, meskipun terbatas, distribusi harus tetap ada!"
Ya, 'BBM Satu Harga', Satu Indonesia Raya!
Â
o O o
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H