Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Peluncuran Buku 'Batik Pekalongan - Dari Masa ke Masa'

26 Mei 2017   08:24 Diperbarui: 26 Mei 2017   09:38 2706
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Talkshow forum kafe BCA VI. Dari kiri ke kanan: Suryani, Nita Kenzo, Jahja Setiaatmadja, Poppy Savitri, Iwo (moderator). (Foto: Gapey Sandy)

Motif Indigo pada Batik Jawa. (Foto: Gapey Sandy)
Motif Indigo pada Batik Jawa. (Foto: Gapey Sandy)
Menurut Nita lagi, tantangan untuk membawa batik sebagai kearifan lokal kepada pasar dunia adalah soal waktu. “Terus terang untuk membuat kerajinan tangan tidak bisa dibandingkan dengan produk massal yang dihasilkan melalui fabrikasi. Mahalnya harga batik itu  relatif. Membuat batik harus harganya terjangkau. Memang benar ada batik premium yang dibuat dalam jangka waktu lama dan jumlahnya terbatas, tetapi hal ini tidak akan banyak memberi kesejahteraan yang baik kepada para pengrajin. Makanya, batik itu harganya harus terjangkau, sehingga disinilah tantangan kreatif dan inovatif menjadi berlaku,” jelasnya.

Pasar utama Batik Indonesia, lanjutnya lagi, adalah Jepang dan Eropa. “Mereka merasa cocok dengan Batik Indonesia yang punya pewarnaan alami dan ramah lingkungan. Pewarnaan alami ini sungguh sebuah kekuatan yang luar biasa sekaligus kemandirian bagi industri batik Indonesia, apalagi warna sintetik masih memiliki kandungan impor yang tinggi. Maklum, Indonesia sendiri juga bukan penghasil warna sintetik yang andal,” papar Nita yang aktif menggerakkan Batik Rakyat.       

“Kita tahu banyak sekali sentra-sentra batik di Jawa Tengah yang kolaps karena “serangan” Batik Printing. Alhasil, muncul kesadaran untuk mengangkat kembali sentra-sentra batik rakyat. Makanya, kita kemudian secara bersama-sama membuat sebuah gerakan yang namanya Batik Rakyat, untuk membangkitkan kembali batik-batik Kebumen, Tegal, Batang, Imogiri dan sebagainya, semata agar batik-batik tersebut tidak punah,” tutur pemilik Galeri Batik Jawa ini.

Peragaan busana Batik Jawa. (Foto: Gapey Sandy)
Peragaan busana Batik Jawa. (Foto: Gapey Sandy)
Memprihatinkan, Minat Studi Batik

Dari sisi akademisi, Suryani SH MHum, Rektor Universitas Pekalongan (Unikal) memaparkan, Pekalongan sudah terkenal sebagai Kota Batik. Untuk mendukung hal tersebut, Unikal membuka Program Studi Teknologi Batik pada 2011.

“Hal ini dikarenakan Unikal mempunyai beban moril sekaligus menunjukkan tanggung jawab akademik terhadap batik, karena minat generasi muda untuk membatik semakin berkurang. Padahal, produksi batik justru banyak diminati dunia. Artinya, bagaimana Batik Indonesia harus dilestarikan dan dikembangkan, dari hulu sampai hilir butuh knowledge. Kami mewajibkan semua Prodi di Unikal mempunyai kewirausahaan membatik yang berkonsentrasi sesuai Prodi masing-masing. Misalnya, Prodi Kesehatan Masyarakat yang membahas bagaimana agar limbah batik menjadi tidak berbahaya bagi masyarakat dan lainnya,” urai Suryani yang juga Ketua Dewan Pendidikan Kota Pekalongan.

Sayangnya, imbuh Suryani, minat mahasiswa terhadap Prodi Teknologi Batik sangat kurang. “Paling hanya sekitar 20 mahasiswa per semester, selain mahasiswa yang datang dari luar negeri seperti Brunei Darussalam,” ungkap Ketua Dewan Riset Daerah Kota Pekalongan ini.

Peragaan busana Batik Jawa. (Foto: Gapey Sandy)
Peragaan busana Batik Jawa. (Foto: Gapey Sandy)
Lini Masa Batik Pekalongan

Selain menampilkan talkshow yang sarat pengetahuan tentang Batik, forum kafe BCA VI juga menjadi momentum peluncuran buku ‘Batik Pekalongan – Dari Masa ke Masa’ karya Budi Mulyawan yang didukung secara penuh oleh BCA.

Ya, salah satu kota yang tak bisa dipisahkan dari eksistensi Batik adalah Pekalongan di Jawa Tengah. Mendapat julukan Kota Batik, Pekalongan punya Industri Kecil Menengah (IKM) Batik sebanyak 12.475 unit yang menyerap sekitar 88.670 tenaga kerja.

Tak salah bila buku ini diharapkan dapat meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap Batik dan menjadi inspirasi bagi kemajuan teknik membatik di Indonesia. “Sebagai salah satu perusahaan yang lahir dan besar di Indonesia, BCA melakukan berbagai cara untuk mendukung Pekalongan mempertahankan eksistensinya sebagai Kota Batik. Baru saja misalnya, BCA meresmikan Kampung Batik Gemah Sumilir, Wiradesa, Pekalongan sebagai salah satu Desa Wisata Binaan BCA,” kata Jahja Setiaatmadja, Presdir BCA.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun