Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Peluncuran Buku 'Batik Pekalongan - Dari Masa ke Masa'

26 Mei 2017   08:24 Diperbarui: 26 Mei 2017   09:38 2706
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku ‘Batik Pekalongan – Dari Masa ke Masa’ karya Budi Mulyawan. (Foto: Gapey Sandy)

Pekalongan dan batik tak dapat dipisahkan. Batik Pekalongan, siapa pula yang belum kenal? Tak salah kalau dibilang Pekalongan adalah Kota Batik. Sebutan ini semakin lengkap dengan sudah diluncurkannya buku berjudul ‘Batik Pekalongan – Dari Masa ke Masa’ karya Budi Mulyawan. Buku setebal 214 halaman ini disponsori Bank BCA.

* * *

Mencerminkan khasanah budaya leluhur, kain Batik adalah kebanggaan bangsa Indonesia yang sudah diakui UNESCO sebagai Budaya Benda Tak Benda Warisan Manusia.

Aspek sosial budaya yang terangkum melalui sehelai kain Batik menawarkan nilai tambah yang tinggi di pasar domestik maupun mancanegara. Pada 2015 saja misalnya, nilai ekspor Batik dan produk Batik mencapai US$ 178 juta atau meningkat 25,7% dibandingkan tahun sebelumnya. Pasar ekspor utama Batik Indonesia utamanya adalah Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa.

Berfokus membangun ekonomi kreatif sebagai tulang punggung perekonomian nasional, kain Batik dan produk Batik menjadi komoditas yang patut diperhitungkan sebagai aset yang berharga dan mencerminkan identitas bangsa Indonesia. Beragam inisiatif seperti pembentukan Ekosistem Desa Kreatif yang diusung BEKRAF dan Desa Wisata Binaan yang diusung BCA berkontribusi menyediakan wadah bagi peningkatan kualitas para pengrajin Batik, serta kemajuan budaya dan ekonomi masyarakat berbasis kearifan lokal.

Talkshow forum kafe BCA VI. Dari kiri ke kanan: Suryani, Nita Kenzo, Jahja Setiaatmadja, Poppy Savitri, Iwo (moderator). (Foto: Gapey Sandy)
Talkshow forum kafe BCA VI. Dari kiri ke kanan: Suryani, Nita Kenzo, Jahja Setiaatmadja, Poppy Savitri, Iwo (moderator). (Foto: Gapey Sandy)
“Batik adalah salah satu kebudayaan kita yang harus menjadi milik kita sendiri. Apalagi batik memang sudah ada di Indonesia sejak abad ke-14. Hingga saat ini, batik semakin unik karena di setiap daerah selalu ada kerajinan batik dan punya ciri khas tersendiri,” ujar Presiden Direktur PT BCA Tbk (Bank BCA), Jahja Setiaatmadja ketika berbicara dalam talkshow forum kafe BCA VI bertema ‘Khasanah Batik Pesona Budaya’, Selasa, 23 Mei 2017 di Menara BCA, Jakarta.

Talkshow menghadirkan pembicara Poppy Savitri selaku Direktur Edukasi dan Ekonomi Kreatif BEKRAF (Badan Ekonomi Kreatif), Nita Kenzo yang merupakan Ketua Yayasan Batik Indonesia, dan Suryani SH MHum sebagai Rektor Universitas Pekalongan (Unikal). 

Jahja melanjutkan, dirinya yang terlahir pada 1955, mulai terkesan dengan batik sejak duduk di bangku SD lantaran pihak sekolah mewajibkan seragam batik. “Meskipun itu merupakan batik cetak, tapi at least kita diperkenalkan dengan batik. Seiring berjalannya waktu, rasa mengenal dan memiliki batik sebagai kebudayaan bangsa semakin menebal dan inilah hal yang paling penting. Semakin mengenal batik maka semakin kita sayang,” katanya sembari menyebut bahwa seperti pepatah ‘tak kenal maka tak sayang’, forum kafe BCA VI sengaja digelar agar supaya generasi muda dapat mengenal lebih dekat rekam jejak falsafah Batik dari masa ke masa. “Menghargai Batik sebagai salah satu warisan budaya yang perlu kita bersama lestarikan.”

Sudah mengenal seragam batik sekolah sejak di bangku SD. Presiden Direktur BCA, Jahja Setiaatmadja. (Foto: Gapey Sandy)
Sudah mengenal seragam batik sekolah sejak di bangku SD. Presiden Direktur BCA, Jahja Setiaatmadja. (Foto: Gapey Sandy)
Generasi muda Indonesia wajib meneruskan kerajinan batik, lanjut Jahja, karena saat ini kerajinan membatik yang turun-temurun dari generasi ke generasi semakin jarang dan sulit, karena generasi penerus dibawahnya semakin tidak tertarik dengan membatik dan malah justru lebih tertarik untuk menekuni hal lain. Inilah tantangan yang dihadapi oleh kerajinan membatik, padahal mustinya kondisi demikian terjaga dan berkesinambungan,

“Peribahasa ‘tak kenal maka tak sayang’ saja masih belum cukup. Harus diubah, mengenal lebih mendalam dan menyayangi batik. Artinya, tahu arti historis, tahu budaya batik di setiap daerah, sehingga akan sangat berharga, sehingga akan lebih tahu bagaimana menghargai batik. Bukan sekadar batik yang diproduksi oleh tokoh terkenal saja, atau yang sekadar harganya mahal saja, melainkan mengenal batik secara mendalam, mulai dari apa dan bagaimana Batik Cap, Batik Tulis dan sebagainya,” urai Jahja.

Nilai filosofis yang tersirat dalam sehelai kain Batik, katanya lagi, menjadikan Batik sebagai karya seni yang punya nilai jual tinggi di pasaran. “Aspek ini yang sebaiknya kita bersama tonjolkan dalam membangun ekonomi kreatif di Indonesia sehingga tidak hanya menjual kain Batik dan produk Batik yang bermutu tinggi tetapi juga merepresentasikan jiwa dan identitas bangsa Indonesia,” jelas Jahja lagi.

General Manager CSR BCA, Inge Setiawati dan Presiden Direktur BCA, Jahja Setiaatmadja menekan tombol pertanda peluncuran buku ‘Batik Pekalongan – Dari Masa ke Masa’ karya Budi Mulyawan yang didukung penuh BCA. (Foto: Gapey Sandy)
General Manager CSR BCA, Inge Setiawati dan Presiden Direktur BCA, Jahja Setiaatmadja menekan tombol pertanda peluncuran buku ‘Batik Pekalongan – Dari Masa ke Masa’ karya Budi Mulyawan yang didukung penuh BCA. (Foto: Gapey Sandy)
Batik Indonesia Kian Mendunia

Sementara itu, Poppy Savitri selaku Direktur Edukasi Ekonomi Kreatif BEKRAF (Badan Ekonomi Kreatif Indonesia) mengatakan, BEKRAF mempunyai visi membangun Indonesia menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia dalam ekonomi kreatif pada 2030 mendatang. Untuk mencapai visi tersebut, BEKRAF merancang enam misi besar, yaitu:

  • Menyatukan seluruh aset dan potensi kreatif Indonesia untuk mencapai ekonomi kreatif yang mandiri.
  • Menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan industri kreatif.
  • Mendorong inovasi di bidang kreatif yang memiliki nilai tambah dan daya saing di dunia internasional.
  • Membuka wawasan dan apresiasi masyarakat terhadap segala aspek yang berhubungan dengan ekonomi kreatif.
  • Membangun kesadaran dan apresiasi terhadap hak kekayaan intelektual, termasuk perlindungan hukum terhadap hak cipta.
  • Merancang dan melaksanakan strategi yang spesifik untuk menempatkan Indonesia dalam peta ekonomi kreatif dunia.

Adapun sasaran edukasi ekonomi kreatif, menurut Poppy, adalah meningkatkan jumlah pelaku kreatif, meningkatkan kualitas pelaku kreatif, dan memperluas lapangan kerja di Bidang Ekonomi Kreatif.

Poppy Savitri, Direktur Edukasi Ekonomi Kreatif BEKRAF. (Foto: Gapey Sandy)
Poppy Savitri, Direktur Edukasi Ekonomi Kreatif BEKRAF. (Foto: Gapey Sandy)
“Program Direktorat Edukasi Ekonomi Kreatif terkait suksektor Desain, Fashion, dan Kriya terdiri dari keberlanjutan program yang diawali dengan ORBIT sebagai seleksi desainer Indonesia, lalu “disalurkan” ke IKKON atau Inovatif dan Kreatif melalui Kolaborasi Nusantara, kemudian bergabung dalam KOPIKKON yaitu Koperasi Inovatif dan Kreatif melalui Kolaborasi Nusantara, dan turut aktif mengembangkan program CREATE atau Creative, Training & Education,” tuturnya.

Penerapan pola pikir kreatif pada produk lokal, kata Poppy lagi, dapat menghasilkan kemungkinan-kemungkinan baru yang dapat meningkatkan nilai ekonomis maupun estetis produk tersebut, serta dapat memunculkan identitas bangsa bahkan ikon-ikon baru dari Indonesia di mata internasional.

“Salah satu karya nyata yang membanggakan adalah Batik Tulis dari Brebes yang sudah dikembangkan oleh IKKON Brebes. Batiknya tidak lagi hanya dimanfaatkan sebatas untuk fesyen busana saja, tapi juga untuk kepentingan lain, seperti asesoris meja makan dan tempat tidur. Bahkan, salah satu hotel di Brebes sudah mempergunakan Batik Tulis dari wilayah setempat sebagai asesoris maupun desain interior ruang demi ruangnya. Selain itu, Batik Tulis Brebes yang diproduksi Sylvie Romi dan Tarkinah asal Desa Bentas, Kecamatan Salem, Kabupaten Brebes pernah meraih sukses di Kota Milan, Italia,” urainya.

Contoh motif Batik Pekalongan. (Foto: Gapey Sandy)
Contoh motif Batik Pekalongan. (Foto: Gapey Sandy)
Lestarikan Kekuatan Batik Indonesia

Di sisi lain, Ketua Yayasan Batik Indonesia, Nita Kenzo menerangkan, Batik Indonesia yang diakui sebagai Budaya Tak Benda Warisan Manusia oleh UNESCO karena merupakan tradisi budaya yang sudah turun temurun.

“Inilah salah satu wujud pelestarian dan pengembangannya. Sehingga pola batik Indigo bukan sekadar sesuatu yang kuno saja, tetapi kita sanggup menjawabnya dengan kekunoan itu menjadi kekinian, sehingga bisa menjadi pakaian jadi, produk interior dan sebagainya. Indonesia mempunyai kekuatan untuk bertanggung-jawab terhadap pengakuan UNESCO bahwa tradisi itu akan terus berjalan pada masa kini dan di masa mendatang. Selain tradisi, yang juga menjadi pertimbangan adalah kebiasaan sosial, dan kegiatan membatik yang masih berlanjut sampai saat ini. Apabila kelak kegiatan membatik tidak berlanjut lagi, maka akan sulit bagi kita untuk mempertahankan pengakuan UNESCO itu,” tutur Nita penuh semangat.

Nita juga mengisahkan tentang perjuangan Kota Yogyakarta yang sukses meraih pengakuan global sebagai Kota Batik Dunia.

“Kekuatan Batik Indonesia, selain karena memperoleh pengakuan UNESCO, juga karena pada tahun 2014 lalu, Yogyakarta diakui pula sebagai Kota Batik Dunia. Pemilihan ini melalui seleksi ketat karena bersaing dengan kota-kota di negara lain sedunia, diantaranya Kota Batik Dunia harus punya nilai budaya, pelestarian budaya, green value dengan menghindari penggunaan pewarnaan sintetis yang belum ramah lingkungan juga zat karsinogen yang bisa memicu kanker, menyangkut nilai ekonomi global dan kekinian yang berkesinambungan, Membicarakan batik tidak lepas dari nilai budaya. Kalau hanya semata bicara nilai ekonomi saja, maka “jatuhnya” akan menjurus kepada Batik Printing saja,” tegas Nita yang memang lahir dan bermukim di Yogyakarta.

Motif Indigo pada Batik Jawa. (Foto: Gapey Sandy)
Motif Indigo pada Batik Jawa. (Foto: Gapey Sandy)
Menurut Nita lagi, tantangan untuk membawa batik sebagai kearifan lokal kepada pasar dunia adalah soal waktu. “Terus terang untuk membuat kerajinan tangan tidak bisa dibandingkan dengan produk massal yang dihasilkan melalui fabrikasi. Mahalnya harga batik itu  relatif. Membuat batik harus harganya terjangkau. Memang benar ada batik premium yang dibuat dalam jangka waktu lama dan jumlahnya terbatas, tetapi hal ini tidak akan banyak memberi kesejahteraan yang baik kepada para pengrajin. Makanya, batik itu harganya harus terjangkau, sehingga disinilah tantangan kreatif dan inovatif menjadi berlaku,” jelasnya.

Pasar utama Batik Indonesia, lanjutnya lagi, adalah Jepang dan Eropa. “Mereka merasa cocok dengan Batik Indonesia yang punya pewarnaan alami dan ramah lingkungan. Pewarnaan alami ini sungguh sebuah kekuatan yang luar biasa sekaligus kemandirian bagi industri batik Indonesia, apalagi warna sintetik masih memiliki kandungan impor yang tinggi. Maklum, Indonesia sendiri juga bukan penghasil warna sintetik yang andal,” papar Nita yang aktif menggerakkan Batik Rakyat.       

“Kita tahu banyak sekali sentra-sentra batik di Jawa Tengah yang kolaps karena “serangan” Batik Printing. Alhasil, muncul kesadaran untuk mengangkat kembali sentra-sentra batik rakyat. Makanya, kita kemudian secara bersama-sama membuat sebuah gerakan yang namanya Batik Rakyat, untuk membangkitkan kembali batik-batik Kebumen, Tegal, Batang, Imogiri dan sebagainya, semata agar batik-batik tersebut tidak punah,” tutur pemilik Galeri Batik Jawa ini.

Peragaan busana Batik Jawa. (Foto: Gapey Sandy)
Peragaan busana Batik Jawa. (Foto: Gapey Sandy)
Memprihatinkan, Minat Studi Batik

Dari sisi akademisi, Suryani SH MHum, Rektor Universitas Pekalongan (Unikal) memaparkan, Pekalongan sudah terkenal sebagai Kota Batik. Untuk mendukung hal tersebut, Unikal membuka Program Studi Teknologi Batik pada 2011.

“Hal ini dikarenakan Unikal mempunyai beban moril sekaligus menunjukkan tanggung jawab akademik terhadap batik, karena minat generasi muda untuk membatik semakin berkurang. Padahal, produksi batik justru banyak diminati dunia. Artinya, bagaimana Batik Indonesia harus dilestarikan dan dikembangkan, dari hulu sampai hilir butuh knowledge. Kami mewajibkan semua Prodi di Unikal mempunyai kewirausahaan membatik yang berkonsentrasi sesuai Prodi masing-masing. Misalnya, Prodi Kesehatan Masyarakat yang membahas bagaimana agar limbah batik menjadi tidak berbahaya bagi masyarakat dan lainnya,” urai Suryani yang juga Ketua Dewan Pendidikan Kota Pekalongan.

Sayangnya, imbuh Suryani, minat mahasiswa terhadap Prodi Teknologi Batik sangat kurang. “Paling hanya sekitar 20 mahasiswa per semester, selain mahasiswa yang datang dari luar negeri seperti Brunei Darussalam,” ungkap Ketua Dewan Riset Daerah Kota Pekalongan ini.

Peragaan busana Batik Jawa. (Foto: Gapey Sandy)
Peragaan busana Batik Jawa. (Foto: Gapey Sandy)
Lini Masa Batik Pekalongan

Selain menampilkan talkshow yang sarat pengetahuan tentang Batik, forum kafe BCA VI juga menjadi momentum peluncuran buku ‘Batik Pekalongan – Dari Masa ke Masa’ karya Budi Mulyawan yang didukung secara penuh oleh BCA.

Ya, salah satu kota yang tak bisa dipisahkan dari eksistensi Batik adalah Pekalongan di Jawa Tengah. Mendapat julukan Kota Batik, Pekalongan punya Industri Kecil Menengah (IKM) Batik sebanyak 12.475 unit yang menyerap sekitar 88.670 tenaga kerja.

Tak salah bila buku ini diharapkan dapat meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap Batik dan menjadi inspirasi bagi kemajuan teknik membatik di Indonesia. “Sebagai salah satu perusahaan yang lahir dan besar di Indonesia, BCA melakukan berbagai cara untuk mendukung Pekalongan mempertahankan eksistensinya sebagai Kota Batik. Baru saja misalnya, BCA meresmikan Kampung Batik Gemah Sumilir, Wiradesa, Pekalongan sebagai salah satu Desa Wisata Binaan BCA,” kata Jahja Setiaatmadja, Presdir BCA.

Fashion show busana Batik Jawa. (Foto: Gapey Sandy)
Fashion show busana Batik Jawa. (Foto: Gapey Sandy)
Tak hanya itu, BCA bekerjasama dengan pengrajin Batik di Pekalongan untuk memproduksi Batik Hoko BCA sebagai seragam yang dikenakan oleh lebih dari 23.000 karyawan BCA dari Sabang sampai Merauke. “Kami juga berharap melalui dukungan terhadap penerbitan buku ini dapat berkontribusi membantu masyarakat luas mengenal lebih dalam Batik Pekalongan yang sungguh kaya akan kreasi,” tegas Jahja.

Sementara itu, Budi Mulyawan selaku penulis buku mengatakan, buku ‘Batik Pekalongan – Dari Masa ke Masa’ dibuat dalam jangka waktu satu tahun sesudah melewatkan masa riset sepanjang lima tahun.

Pola yang umum untuk Batik Pekalongan adalah pola Pedesaan, Belanda, Tionghoa, Cilamprang, dan Kontemporer. Unsur yang masuk untuk pola Belanda misalnya bunga, Burung Gereja juga Dewa Cinta. “Secara pewarnaan, Batik Pekalongan memiliki spektrum warna yang lebih luas, bukan sekadar hanya warna cerah dan tidak cerah belaka,” jelas Budi yang juga peneliti pada Lembaga Kajian Batik.

Buku ini merupakan ungkapan kepedulian penulis terhadap dinamika perkembangan Batik Pekalongan yang meliputi varian produk batik dan pelaku batik yang dibuat di Pekalongan dan sekitarnya.

Budi Mulyawan, penulis buku ‘Batik Pekalongan – Dari Masa ke Masa’. (Foto: Gapey Sandy)
Budi Mulyawan, penulis buku ‘Batik Pekalongan – Dari Masa ke Masa’. (Foto: Gapey Sandy)
Dalam Kata Pengantar buku, Zahir Widadi MHum selaku Dekan Fakultas Teknologi Batik Universitas Pekalongan menyatakan, buku ini diawali dengan pembahasan tentang keeratan batik dan Pekalongan. Kemudian kajian perkembangan batik Pekalongan di era kolonial Belanda, peran Islam dan Arab serta masa kolonial Jepang, hingga  batik di zaman Orde Lama dan Orde Baru. Tidak hanya itu, buku ini juga menghadirkan bahasan tentang kajian perkembangan batik yang mengungkap rahasia teknik Batik Tulis dan Batik Cap beserta para pelaku batik Pekalongan dari generasi ke generasi di masa kini.

Dalam dinamika perkembangan, Batik Pekalongan dikelompokkan menjadi beberapa periode. Mulai dari periode perkembangan batik sebelum Kemerdekaan Republik Indonesia. Ketika itu, Pekalongan masih dibawah kekuasaan kolonial Belanda juga Jepang, sekitar tahun 1800-an hingga menjelang kemerdekaan pada tahun 1940-an. Setelah itu, batik Pekalongan memasuki periode setelah kemerdekaan, yaitu mulai tahun 1945 melampaui zaman Orde Lama dan Orde Baru, hingga sekarang.

Pembahasan tentang pengaruh asing dalam batik Pekalongan juga menjadi sajian yang menarik. Pengaruh asing pada batik Pekalongan dapat kita lihat hingga sekarang. Pengaruh asing pada motif dan warna batik Pekalongan menjadi pembeda pada tampilan visual batik yang dibuat di daerah lain, seperti Solo dan Yogyakarta. Kondisi ini merupakan bentuk kontribusi ide pembatik dalam pembuatan desain sesuai selera pendatang asing dan kolonial. Jika kita menelusuri banyak tempat di Pekalongan, akan kita temukan kelompok masyarakat, seperti pendatang dari Timur Tengah bermukim di sekitar Klego.

Pameran alur proses dalam membatik. (Foto: Gapey Sandy)
Pameran alur proses dalam membatik. (Foto: Gapey Sandy)
Hal yang tidak kalah penting dari pembahasan dalam buku ini adalah rekaman perjalanan para pelaku batik yang telah banyak berkontribusi terhadap batik secara nasional, tetapi masih terpendam dalam dokumentasi pemberitaan.  Konsep pemikiran dalam membuat batik yang diterapkan oleh para pelaku batik  sehari hari menjadi catatan tersendiri bagi penulis untuk berbagi kepada pembaca. Rangkuman kolaborasi konsep, dan teknik pembuatan karya-karya maestro dapat ditemukan di bab akhir.

Sekilas BCA

BCA merupakan salah satu bank terkemuka di Indonesia yang fokus pada bisnis perbankan transaksi serta menyediakan fasilitas kredit dan solusi keuangan bagi segmen korporasi, komersial dan UKM serta konsumer. Pada akhir Maret 2017, BCA melayani hampir 16 juta rekening nasabah dan memproses jutaan transaksi setiap harinya didukung oleh 1.213 kantor cabang, 17.207 ATM dan lebih dari 400.000 mesin EDC serta transaksi melalui layanan internet banking maupun mobile banking yang dapat diakses selama 24 jam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun