Sedangkan ketika di Ende, Mbak Asita menuangkan seluruh keindahan Kabupaten Ende yang beribukota Ende ini pada halaman 79 sampai 104. Di sini, Mbak Asita mengawali pembaca untuk menyaksikan sendiri lokasi sebuah taman yang menjadi saksi mata, bahwa Proklamator RI yaitu Bung Karno pernah merenungkan falsafah Pancasila. Seperti kita tahu, Bung Karno pernah diasingkan oleh kolonial Belanda ke Ende (1934 – 1938). Mbak Asita dengan apik menuliskan suasana Taman Perenungan Bung Karno, lengkap dengan foto Pohon Sukun juga foto Patung Bung Karno yang berpose duduk.
Pohon Sukun asli yang menjadi naungan Bung Karno saat itu telah tumbang di tahun 60-an karena termakan usia. Dan yang ada sekarang, adalah pohon kedua yang ditanam kembali tahun 1981 sebagai duplikat untuk mengenang tempat Bung Karno merenungkan Dasar Negara, dan pohon ini tumbuh subur dengan lima cabang yang diyakini oleh masyarakat Ende sebagai perwujudan kelima sila dari Pancasila. (halaman 82).
Masih di Ende, Mbak Asita mengajak pembaca mengenal Kampung Moni, sebuah kampung di kaki Gunung Kelimutu yang banyak sekali terdapat homestay bagi pelancong. Tak ketinggalan, Mbak Asita menuturkan pula kisah menyaksikan keindahan matahari terbit di Danau Kelimutu, juga kemeriahan Festival Danau Kelimutu sebagai puncak acara adat ritual Patika yakni Du’a Bapu Ata Mata yang biasa digelar Suku Lio.
Kedalaman penuturan Mbak Asita bercerita tentang seluruh destinasi wisata yang ada di enam tujuan wisata di Flores, menjadikan buku ini laik menjadi referensi panutan bagi para turis yang hendak melakukan perjalanan wisata ke obyek-obyek wisata yang sama di Flores.
Kedua, tidak cuma menuturkan keunggulan dan pariwisata andalan Flores, Mbak Asita juga menyisipkan fakta dan data sejarah terkait sejumlah obyek wisata yang dikunjunginya. Contohnya, ya cerita tentang pengasingan Bung Karno itu. Artinya, buku ini juga mengandung kisah historis yang sakral plus faktual.
Ketiga, dua kali perjalanan wisata ke Flores dan menetap dalam watu yang tidak sebentar, membuat buku ini punya nalar budaya yang tak bisa dipandang remeh. Mbak Asita sukses mengulik bagaimana budaya dan kebudayaan masyarakat setempat yang ramah dan begitu menghormati setiap tamu yang datang berkunjung. Siapapun, tak peduli kepada wisatawan domestik maupun mancanegara, masyarakat Flores yang penuh santun, ramah dan hangat bersahabat ini pasti juga akan selalu menawarkan para tamunya untuk bersantap makan dan minum di rumah-rumah mereka.
Sekadar perhatian saja bagi buku travel kedua yang ditulis Mbak Asita ini adalah kualitas perwajahan isi buku yang mungkin harus ditingkatkan lagi. Selain karena rata kiri dan kanan kolom lembar halaman demi halaman yang kurang artistik, juga pencantuman halaman yang sedikit menyulitkan pembaca. Selain foto-foto yang banyak disisipkan Mbak Asita untuk mendukung tulisan atau naskah, buku ini pun menyediakan tujuh halaman Galeri Foto. Tapi, andai boleh memberi saran, sebaiknya foto-foto ini diperbesar ukurannya dan diusahakan tampil dengan berwarna atau full color. Bukankah ada yang berpendapat bahwa satu gambar bisa saja lebih bermakna ketimbang 1000 kata-kata.
Oh ya, kelebihan lain buku ini adalah karena dimuat juga semacam testimony dari sejumlah pihak yang kebetulan juga sudah pernah berkunjung dan berwisata ke Flores. Semua tertuang di halaman 146 - 150. Misalnya, ada nama Ria Aziz Basoeki (traveler dan pekerja sosial), Ruth Marinthan Panjaitan (traveler dan karyawati swasta), Andrej Zorko (traveler asal Slovenia yang tinggal di Bali), Mardiana Sukardi (traveler dan dosen di Jakarta), juga Herbertus Ajo (pengamat pariwisata Flores) yang diantaranya menyampaikan betapa Flores terkenal dengan kain tenun lengkap dengan upaya pelestariannya.