“Uang kas nol rupiah. Semua dana tersisa dihabiskan untuk masa pemilihan RW lengkap dengan kampanye sampai kepada pergelaran acara serah-terima jabatan Ketua RW. Bayangkan, saya mulai bekerja dengan kas RW yang posisinya nol rupiah,” tutur Bambang.
Padahal, Rukun Warga 023 termasuk gemuk jumlah warganya. “Di RW kami, ada 3mpat RT yang seluruhnya terdiri dari 303 Kepala Keluarga. Total seluruhnya ada 1.086 jiwa. Sebagian besar pekerjaan warga kami adalah buruh dan membuka usaha kecil-kecilan,” ujar Bambang yang punya titel Sarjana Pertanian.
Meski “diwariskan” uang kas nol rupiah, tapi Bambang tidak galau, sensi apalagi baper. Ia justru semakin bertekad bulat untuk tidak mau hanya sekadar menengadahkan tangan minta bantuan dana kepada Lurah. Atau, cuma “menjajakan” jasa dengan mengharap imbalan seketip dua ketip manakala ada warga yang butuh tanda-tangan dan cap stempel RW.
“Saya tidak mau yang seperti itu. Maka dari itu, sebagai manajer wilayah, saya bertekad untuk mempelajari potensi kewilayahan, yang ternyata, lokasi tempat tinggal kami berada di jalur strategis. Modal yang paling utama adalah karena di depan gang kami adalah jalan protokol, yang bahkan apabila Presiden RI Joko Widodo bolak balik ke Malang, pasti melintasi wilayah kami. Termasuk, kalau naik kereta api menuju Malang pun pasti akan melintasi wilayah kami, tidak mungkin lewat kota wisata, Batu,” tuturnya.
Nah, berbekal pembelajaran geografi dan demografi kewilayahan serta menjalankan fungsi manajer wilayah secara ethos pathos logos, mulailah Bambang bergerilya mewujudkan Tata Kelola Wilayah Berbasis Gotong-Royong.
Andaikata ada yang coba mengubah wajah suatu kampung dengan sekadar menggelar lomba ini-itu, maka efektivitasnya hanyalah 3,3 persen dari total upaya mengubah pola pikir masyarakat.
“Kalau cuma melaksanakan lomba ini-itu, maka ibaratnya apa yang dilakukan hanyalah sekadar supaya menang lomba. Ini sesuatu yang salah orientasi. Upaya melakukan perubahan lingkungan bisa jadi melempem dan patah semangat karena jumlah partisipasi warga yang sangat sedikit. Padahal seharusnya, partisipasi sebanyak 10 persen warga saja sudah merupakan jumlah yang luar biasa untuk mengubah wajah perkampungan,” terang Bambang sembari menampilkan meme pergelaran lomba-lomba antar kampung seperti seorang bocah gemuk yang wajahnya didandani bedak putih serampangan dengan diberi tulisan “tiwas dandan gak sido budal” (terlanjur sudah dandan tapi malah tidak jadi pergi).
Untuk membongkar mindset warga menuju perubahan yang baik, Bambang teringat semangat the founding fathers negara Indonesia yang sudah menanamkan jargon ’Bangunlah jiwanya, Bangunlah badannya’. “Semangat ini kemudian saya ejawantahkan dengan cara, dimulai dari sekarang juga; dimulai dari diri sendiri; dan dimulai dari yang mudah. Semua itu harus didasarkan pada dimulai dengan niat ibadah!” tegas Bambang.
Tapi, bukan berarti Bambang dengan mudah mengubah mindset warganya. Setahun upaya mengubah pola pikir itu hanya “dihabiskan” dengan melakukan banyak pertemuan atau rapat, diskusi, pro-kontra dan lainnya bersama warga.
Nah, dari frekwensi pelaksanaan rapat yang banyak dilakukan sepanjang satu tahun itu, akhirnya tercapai kesamaan pendapat dan kesepakatan bersama untuk melakukan gerakan penghijauan di RW 023. Tapi, meski sudah diketok palu dan disahkan, tetap saja kendala menghadang, karena para RT sepakat bertanya: “Mana dana untuk penghijauannya, Pak RW?” Padahal seperti sudah dijelaskan sebelumnya, dana kas RW itu kosong melompong.
Menyadari bahwa uang kas RW sama sekali nihil untuk menggerakkan penghijauan, spontan banyak warga yang mulai pesimis akan keberhasilannya. “Malah muncul istilah ‘ati karep, bondo cupet’ yang artinya ‘maksud hati benar-benar kepingin tetapi apa daya tidak ada dana’. Beginilah gambaran kepesimisan warga waktu itu,” cerita Bambang.