Melahirkan Suku Dalu (Suku Malam)
Gerakan penghijauan RW 023 pun dimulai dengan gemar melakukan kerja bakti. Sayangnya, banyak juga warga yang rata-rata tidak mau ikut kerja bakti dengan alasan tidak ada waktu, kerja lembur, pulang kerja sudah malam dan sebagainya. Menyikapi hal ini, Bambang tidak kehabisan akal. Ia pun mulai menggelorakan semangat kerja bakti yang dilaksanakan pada malam hari.
“Kebijakan ini cukup mendapat dukungan dari warga masyarakat. Mereka pun mulai banyak yang bekerja bakti pada malam hari. Gara-gara kegiatan ini, maka lahirlah yang namanya Suku Dalu atau Suku Malam, sebagai gambaran komunitas warga yang malam-malam melakukan kerja bakti. Jadi, kalau Indonesia ingin menambah jumlah suku dalam ke-bhineka tunggal ika-annya, maka tambahkan Suku Dalu ini,” canda Bambang.
Selain menyatu dengan warganya untuk menggemari kerja bakti, Bambang juga memiliki akal yang edukatif dan kreatif sebagai penjabat RW. Dirinya tidak akan segan-segan menampik permohonan permintaan tanda-tangan dan cap stempel RW, apabila di rumah warga yang bersangkutan tidak ada pepohonan yang ditanam sebagai bentuk dukungan gerakan penghijauan.
“Harga cap stempel RW di tempat saya menjadi “mahal”, karena warga harus melakukan penanaman pohon terlebih dahulu di rumahnya, apabila menginginkan dokumennya dibubuhkan cap stempel RW,” ungkapnya. Tapi, gara-gara kebijakan itu pula, tak sedikit warga yang menambahkan “predikat” baru untuk Bambang yaitu sebagai “RW dzalim”, “RW melanggar HAM”, “RW tidak Pancasilais” dan sebagainya.
Bagi Bambang, “predikat” tersebut tidak menjadi masalah berarti, asalkan yang penting warga menanam pohon di rumahnya. Kalaupun tetap ada yang ngotot, Bambang malah balik menantang, untuk mempersilakan dirinya dipecat saja sebagai Ketua RW.
“Malah ada kejadian, seorang warga baru melahirkan anaknya. Tetapi karena di rumahnya tidak ada tanaman sama sekali, maka permohonan surat pengurusan akte kelahiran saya tangguhkan. Sampai yang bersangkutan menanam pohon di rumahnya lebih dahulu, atau datang lagi dengan membawa bibit pohon untuk ditanam. Itulah mengapa, kemana-mana saya selalu membawa cap stempel RW,” ujar Bambang.
Solusi Penghijauan di Lahan Sempit
Gerakan penghijauan di RW 023 pimpinan Bambang semakin inovatif juga kreatif. Untuk mensiasati sempitnya lahan penanaman pohon misalnya, terwujud ide melakukan penanaman pohon dengan menggunakan polybag, vertical garden, hidroponik, sky garden dan flying garden. Praktiknya di lapangan, warga yang rumahnya bertingkat, harus juga menanam sayur-mayur di lantai dua rumahnya.
Apa yang diusahakan Bambang bersama warga RW 023 membuahkan hasil. Kini, dengan luas wilayah yang sempit dan terbatas, RW 023 berhasil memiliki kebun terung seluas 2 hektar. Lho, memang ada lahan kosong seluas 2 hektar? Tidak! Tetapi bentuknya adalah dengan kewajiban bahwa setiap warga wajib menanam dua pohon terung di rumahnya dengan menggunakan polybag. “Apabila dalam satu kampung kami ada 400 rumah, maka berarti ada 800 pohon terung ditanam menggunakan polybag. Kalau ke-800 pohon terung ini ditanam di lahan, maka sama saja dengan membutuhkan lahan tanah seluas 2 hektar. Inilah yang mengartikan bahwa RW kami memiliki lahan seluas 2 hektar, bukan dalam bentuk lahan, tapi polybag,” jelas Bambang.
Setelah sukses dengan “menambah” lahan perkebunan terung seluas 2 hektar, Bambang dan segenap warga RW 023 kemudian menginginkan untuk menanam cabai. Maka, gerakan menanam cabai pun dilakukan, sama seperti “membuka” lahan terung dengan menggunakan polybag. “Tak heran, kini RW kami punya lahan perkebunan baru yang berhektar-hektar jumlahnya, tetapi bukan dalam bentuk lahan terbuka, melainkan polybag,” jelas Bambang.