Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) DKI Jakarta resmi menetapkan tiga pasangan Cagub dan Cawagub peserta Pilkada Serentak 2017. Siapa saja mereka, tentu kita sudah tahu. Merekalah “triple A : Ahok, Anies, Agus”. Dan seperti Pilkada sebelumnya, jauh hari sebelum hari penetapan, lembaga-lembaga survei lebih dahulu menyodorkan hasil siginya terhadap “triple A” beserta pasangannya.
Survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) misalnya menegaskan, para pemilih “Ahok – Djarot” kurang banyak yang berasal dari kalangan muda. Untuk pemilih berusia 19 tahun ke bawah, pasangan petahana “Ahok – Djarot” cuma mendulang 27% suara pemilih, atau keok bila dibandingkan “Agus – Sylvi” (33%), dan “Anies – Sandi” (30%). Catatan: Prosentase ini dibulatkan.
Masih di kalangan pemilih muda, rentang usia 20 – 29 tahun. Duet “Ahok – Djarot” juga belum sanggup menandingi kedua pasangan pesaingnya. Karena, “Ahok – Djarot” cuma memperoleh 22%, atau sedikit mengungguli “Anies – Sandi” di urutan paling buncit dengan 21%. Sedangkan pesona pasangan “Agus – Sylvi” di kalangan anak muda begitu apik lantaran meraup 28%.
Okey? Pada dua rentan usia pemilih muda, menurut survei LSI, “Ahok – Djarot” klepek-klepek kibarkan ‘bendera putih’ di sudut ring.
Tapi, bukan “Ahok – Djarot” namanya, kalau gampang menyerah. Karena, para pemilih duet petahana ini di rentang usia 30 tahun ke atas justru leading dan jauh melesat tinggalkan dua pesaing.
Hitungannya, untuk usia 30 – 39 tahun (“Ahok – Djarot” dapat 29%, “”Anies – Sandi” peroleh 26%, dan “Agus – Sylvi” cuma 19%). Bahkan, pada suara pemilih berusia 40 – 49 tahun raihannya lebih gede lagi. Karena “Ahok – Djarot” dapat 41%, ”Anies – Sandi” peroleh 15%, dan “Agus – Sylvi” cuma 11%. Sedangkan, untuk pemilih berusia 50 tahun ke atas (“Ahok – Djarot” dapat 28%, sedangkang ”Anies – Sandi” dan “Agus – Sylvi” sama-sama mengoleksi 21%).
Saya membatasi kutipan hasil survei pada latarbelakang Usia (pemilih) saja. Meskipun sebenarnya banyak parameter lain yang disodorkan LSI. Seperti background Pendidikan, Pendapatan, Agama, Suku, Wilayah, dan Identifikasi Kepartaian.
Pertanyaannya kemudian, mengapa “Ahok - Djarot” kurang berhasil meraup suara kaum muda atau rentang usia 17 – 29 tahun? Sebegitu termarginalkan-kah Ahok oleh bayang-bayang Agus yang lebih punya greget sekaligus magnet di kalangan pemilih muda? Jawabannya, pasti macam-macam, tergantung angle dan interest politik masing-masing. Tapi, kalau saya mau menjawabnya, hal ini lebih dikarenakan Ahok yang belakangan semakin hendak dicitrakan sebagai “musuh bersama” dengan “gempuran” tiada henti termasuk melalui media sosial. Sialnya, pengguna social media terbesar tak lain adalah lapisan anak muda. Termasuk para pemilih muda yang punya hak mencoblos kertas suara Pilgub DKI Jakarta, 15 Februari 2017 nanti.
Belakangan, “gempuran” yang dialamatkan untuk meruntuhkan citra Ahok makin beragam. Mulai dari sindiran “tukang gusur”, mulut “kasar”, lelaku temperamental, isu KKN, isu SARA termasuk dugaan menista agama. Bayangkan, setiap hari status-status di media sosial yang intinya “gempuran” seperti itu berseliweran tiada henti. Sementara, pasar media sosial yang notabene dikuasai anak muda, mungkin belum tanggap untuk secara bijak menyaring diri dari informasi yang tiada jelas sumber maupun asal-usulnya. Ya sudah, maka babak-belurlah suara “Ahok – Djarot” di kalangan pemilih muda.
Tentu, pendapat saya ini cuma asumsi belaka. Bisa salah, tapi juga barangkali benar. Asumsi lain? Mungkin karena Ahok kurang bergaul akrab dengan anak-anak muda. Sekalipun kita juga percaya, kalau komunitas Teman Ahok misalnya, adalah kebanyakan anak-anak muda yang sadar akan hak pilihnya, dan rela memberikan suaranya untuk mendukung sang petahana. Tapi itu saja belum cukup. Karena, pemilih muda ada di kampus-kampus, di komunitas-komunitas hobi, di ruang-ruang diskusi, dan utamanya ada di social media.
Lokasi terakhir dari kerumunan anak muda itu yang penting, yaitu di media-media sosial. Menggunakan gawai cerdasnya, mereka berselancar menyimak musik, menonton video, membaca status, termasuk meluangkan waktu sejenak mematut-matut informasi gosip, hoax sampai perkembangan paling aktual menggunakan daftar trending topic.
Fakta bahwa DKI Jakarta tengah mengalami berkah bonus demografi, pernah diungkap Menneg Koordinator Bidang Kesra dan Pengentasan Kemiskinan Indonesia, Haryono Suyono. Artinya, sejak 1990-an, jumlah penduduk yang berusia 15 – 60 tahun lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk di bawah usia 15 tahun dan di atas 60 tahun.
Apabila bonus demografi ini dipilah lagi berdasarkan studi Tom Brokaw, maka tinggal tersisa dua generasi yaitu Generasi X yang terlahir pada 1965 – 1980-an (berusia 30 – 45 tahun), dan Generasi Y atau Milenial yang lahir pada sesudah 1980-an (berusia 18 - 29 tahun).
Pada Pilgub DKI Jakarta 2917 nanti, jumlah penduduk ibukota diperkirakan mencapai lebih dari 10 juta jiwa, sementara jumlah potensi pemilihnya ditaksir 74% atau 7,4 juta jiwa. Dari jumlah ini, sebanyak lebih dari 3,3 juta jiwa (44,78%) termasuk “kaum” Generasi Milenial.
Generasi Milenial sebanyak 3,3 juta jiwa ini tentu teramat sayang untuk tidak diperebutkan suaranya. Caranya? “Kejar” di mana mereka biasa berkerumun. Jawabannya jelas, tiada lain tiada bukan yaitu di media sosial. Karena, sebanyak 75% dari Generasi Milenial ini adalah pengguna media sosial. Mereka rajin membuka akun media sosialnya, mulai dari satu hari bisa sampai beberapa kali, sehari sekali, beberapa hari sekali, bahkan ada juga yang seminggu sekali. Tapi intinya, mereka “hidup” di media sosial.
Toh kampanye melalui media sosial diperbolehkan. Meski ada rambu dan aturan ketatnya. [Baca ulasan penulis: Tidak Sembarangan Kampanye Pilkada di Media Sosial].
Sebenarnya, bukan hanya “triple A” saja yang musti cawe-cawe mengurus kampanye di media sosial. Seluruh peserta Pilkada se-Indonesia harusnya juga melakukan hal sama. Karena, jumlah pengguna internet di negeri ini jumlahnya menggiurkan. Hasil jajak pendapat Litbang Kompas menghitung, per Januari 2016 ada 88,1 juta pengguna internet aktif. Dari angka ini, sebanyak 64,1 juta merupakan pengguna aktif internet mobile. Dan, ini yang penting, ada 79 juta pengguna aktif media sosial.
Bagaimana dengan frekuensi penggunaan internet mereka? Jajak pendapat ini menjabarkan, ada 48% dari total pengguna aktif yang setiap hari menggunakan internet, 35% melakukannya minimal sekali seminggu, 12 % minimal sekali sebulan, dan 5% - nya kurang dari sekali dalam sebulan berselancar di internet.
Sementara itu, penggunaan harian internet dengan telepon genggamnya rata-rata mencapai 3 jam 33 menit. Sedangkan, rata-rata penggunaan harian media sosial adalah 2 jam 51 menit. Nah tuh, luar biasa bukan durasi “generasi internet” dalam bergiat di media sosial? Lamanya waktu mereka “melototi” media sosial bahkan bisa jadi melebihi durasi baca koran, majalah dan lainnya.
Jadi, tidak ada alasan untuk menafikkan suara pemilih di media sosial. Segeralah para peserta Pilkada Serentak 2017 ini melakukan persiapan teknis, mulai dari pembuatan akun untuk media-media sosial yang kelak bakal aktif dan interaktif dengan seluruh “warga internet”. Susun rencana unggahan status demi status secara matang, termasuk pemuatan foto-foto yang relevan dan anti “pencitraan” plus “tebar pesona”. Sampaikan rencana program kerja bukan janji-janji muluk yang melenakan. Mengapa? Lagi-lagi, jajak pendapat Kompas yang dimuat pada edisi 10 Oktober 2016 kemarin menyimpulkan bahwa publik semakin rasional dalam memilih. Jadi, tak ada untungnya berpoles pencitraan apalagi obral janji.
Rasionalitas pemilih ini dibuktikan dari dua alasan utama memilih, yaitu rekam jejak atau prestasi yang baik, dan kesantunan yang mencerminkan kualitas kepribadian. Dua alasan ini sangat mendominasi, mengalahkan secara telak alasan kesamaan agama, juga kekayaan yang dimiliki.
Menyadari kondisi demikian, kiranya “triple A” --- dan juga para peserta Pilkada lainnya --- harus ekstra hati-hati mengangkat isu agama. Isu ini begitu sensitif, bahkan malah bisa jadi belati tajam yang siap berbalik menghunus pemegangnya. Sekali lagi ingat loch, publik makin rasional!
Survei yang dilakukan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pun menandaskan hal senada. Alasan kesamaan agama, tidak menjadi dominan terkait Pilgub DKI Jakarta. Karena, angka dari pemilih muslim yang bakal memilih “Ahok – Djarot” lumayan besar (38.5%), mengungguli prosentase untuk “Agus – Sylvi” (26,2%), dan “Anies – Sandi” (23,7%).
Parameter lain terkait rasionalitas pemilih ini juga terbukti dengan urutan alasan memilih. Mulai dari yang paling atas yakni jujur, bisa dipercaya dan bersih dari korupsi (44,7%); mampu memimpin Provinsi DKI Jakarta (17,2%); perhatian pada rakyat (16,2%); tegas dan berwibawa (14,5%); pintar atau berwawasan luas (5,0%); orangnya ramah atau santun (1,6%); kemudian, enak dipandang, tampan atau cantik (0,1%).
Akhirnya, kita semua menanti pertarungan “triple A” di media sosial. Pasangan “Ahok – Djarot” termasuk yang paling harus ambil kesempatan ini karena alasan “kurusnya” jumlah pemilih muda. “Ahok – Djarot” harus “dipermak” untuk tampil lebih young and trendy di media sosial. Menampilkan kinerja, kerja dan mulai berhati-hati menjaga lisan apalagi kelakuan, rasanya bisa makin membuat moncer performa duet petahana ini di jagat maya tempat berkerumun pemilih muda. Tapi tetap harus diingat, pemilih muda tidak usah dijejali ikon maupun pesan kepartaian. Pemilih muda di media sosial mengutamakan rasionalitas. Mereka justru bisa emoh memilih, kalau sedikit-sedikit “Ahok – Djarot” bawa-bawa nama partai pengusung. Lagipula, bukankah Ahok selama ini memang terkesan sebagai seorang petarung? Jadi, tampilkan saja image ini secara positif, dan yakinlah pasti besar efek raihan suaranya. Bukankah semua juga sudah paham bahwa Jakarta yang “keras” butuh pemimpin yang rada “koboi” tapi santun.
Sedangkan bagi “Agus – Sylvi”, bertarung melalui media sosial bisa berarti makin “menggemukkan” perolehan suara. Modal duet ini sudah begitu apik dalam tataran komunitas pemilih muda. Tapi jangan lengah. Penggarapan kampanye via media sosialnya jangan sampai diisi dengan blunder --- entah itu pernyataan maupun balasan komentar kepada lawan ---, pencitraan, tebar pesona, apalagi janji-janji politik. Patut juga diperhitungkan untuk mulai “menyamarkan” sosok sang ayah, Soesilo Bambang Yudhoyono, agar tidak seolah-olah membayangi setiap langkah dan gerak politik Agus yang kian taktis.
Bagaimana dengan “Anies – Sandi”? Rasanya, menunggu bagaimana Sandiaga Uno memaparkan rencana kerja ekonominya di media-media sosial dalam upaya mendongkrak lapangan kerja baru dan peningkatan kesejahteraan warga DKI Jakarta, akan menjadi sesuatu yang cukup ditunggu-tunggu. Lho terus, Anies-nya ‘gimana? Begini. Dengan kepandaiannya merangkai kata dan kalimat yang merangsang pikir juga motivasi, cuitan Anies di twitter, status singkatnya di facebook, maupun tampilan foto-foto humanisnya di instagram juga media sosial lain, yakinlah bakal sanggup menyentuh kembali nurani para fans Anies yang sempat “terkecewakan”. Untuk selanjutnya, mereka diharapkan memberi dukungan dan membuka jalan bagi Anies untuk kembali manggung.
Last but not least, selamat bertarung!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H