Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Menanti Pertarungan Pilkada di Media Sosial

24 Oktober 2016   22:01 Diperbarui: 25 Oktober 2016   11:15 1545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peta pemilih muda di Jakarta. (Sumber: Semiocast/Tim riset Tirto/BPS)
Peta pemilih muda di Jakarta. (Sumber: Semiocast/Tim riset Tirto/BPS)
Bonus Demografi dan Media Sosial

Fakta bahwa DKI Jakarta tengah mengalami berkah bonus demografi, pernah diungkap Menneg Koordinator Bidang Kesra dan Pengentasan Kemiskinan Indonesia, Haryono Suyono. Artinya, sejak 1990-an, jumlah penduduk yang berusia 15 – 60 tahun lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk di bawah usia 15 tahun dan di atas 60 tahun.

Apabila bonus demografi ini dipilah lagi berdasarkan studi Tom Brokaw, maka tinggal tersisa dua generasi yaitu Generasi X yang terlahir pada 1965 – 1980-an (berusia 30 – 45 tahun), dan Generasi Y atau Milenial yang lahir pada sesudah 1980-an (berusia 18 - 29 tahun).

Pada Pilgub DKI Jakarta 2917 nanti, jumlah penduduk ibukota diperkirakan mencapai lebih dari 10 juta jiwa, sementara jumlah potensi pemilihnya ditaksir 74% atau 7,4 juta jiwa. Dari jumlah ini, sebanyak lebih dari 3,3 juta jiwa (44,78%) termasuk “kaum” Generasi Milenial.

Generasi Milenial sebanyak 3,3 juta jiwa ini tentu teramat sayang untuk tidak diperebutkan suaranya. Caranya? “Kejar” di mana mereka biasa berkerumun. Jawabannya jelas, tiada lain tiada bukan yaitu di media sosial. Karena, sebanyak 75% dari Generasi Milenial ini adalah pengguna media sosial. Mereka rajin membuka akun media sosialnya, mulai dari satu hari bisa sampai beberapa kali, sehari sekali, beberapa hari sekali, bahkan ada juga yang seminggu sekali. Tapi intinya, mereka “hidup” di media sosial.

Toh kampanye melalui media sosial diperbolehkan. Meski ada rambu dan aturan ketatnya. [Baca ulasan penulis: Tidak Sembarangan Kampanye Pilkada di Media Sosial].

Sebenarnya, bukan hanya “triple A” saja yang musti cawe-cawe mengurus kampanye di media sosial. Seluruh peserta Pilkada se-Indonesia harusnya juga melakukan hal sama. Karena, jumlah pengguna internet di negeri ini jumlahnya menggiurkan. Hasil jajak pendapat Litbang Kompas menghitung, per Januari 2016 ada 88,1 juta pengguna internet aktif. Dari angka ini, sebanyak 64,1 juta merupakan pengguna aktif internet mobile. Dan, ini yang penting, ada 79 juta pengguna aktif media sosial.

Bagaimana dengan frekuensi penggunaan internet mereka? Jajak pendapat ini menjabarkan, ada 48% dari total pengguna aktif yang setiap hari menggunakan internet, 35% melakukannya minimal sekali seminggu, 12 % minimal sekali sebulan, dan 5% - nya kurang dari sekali dalam sebulan berselancar di internet.

Sementara itu, penggunaan harian internet dengan telepon genggamnya rata-rata mencapai 3 jam 33 menit. Sedangkan, rata-rata penggunaan harian media sosial adalah 2 jam 51 menit. Nah tuh, luar biasa bukan durasi “generasi internet” dalam bergiat di media sosial? Lamanya waktu mereka “melototi” media sosial bahkan bisa jadi melebihi durasi baca koran, majalah dan lainnya.

Tiga pasangan peserta Pilkada DKI Jakarta 2017. (Foto: merdeka.com)
Tiga pasangan peserta Pilkada DKI Jakarta 2017. (Foto: merdeka.com)
Pemilih Makin Rasional

Jadi, tidak ada alasan untuk menafikkan suara pemilih di media sosial. Segeralah para peserta Pilkada Serentak 2017 ini melakukan persiapan teknis, mulai dari pembuatan akun untuk media-media sosial yang kelak bakal aktif dan interaktif dengan seluruh “warga internet”. Susun rencana unggahan status demi status secara matang, termasuk pemuatan foto-foto yang relevan dan anti “pencitraan” plus “tebar pesona”. Sampaikan rencana program kerja bukan janji-janji muluk yang melenakan. Mengapa? Lagi-lagi, jajak pendapat Kompas yang dimuat pada edisi 10 Oktober 2016 kemarin menyimpulkan bahwa publik semakin rasional dalam memilih. Jadi, tak ada untungnya berpoles pencitraan apalagi obral janji.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun