Selain mengangkut sampah dengan cepat, kemudian mengubah perilaku masyarakat berkaitan dengan 3R tadi --- termasuk jangan membuang sampah sembarangan ---, maka dilakukan juga penge-press-an untuk mengurangi timbunan sampah. Pokoknya, kami bersama dukungan banyak pihak melakukan program untuk bagaimana mengurangi timbunan sampah. Mulai dari rumah tangga-rumah tangga dengan melakukan 3R, struktur sampah yang sudah kami lakukan penge-press-an, dan perlakuan lain seperti penggunaan incinerator dan sebagainya.
Kalau kita melihat manajemen persampahan yang ada, awal mulanya sampah berasal dari rumah tangga-rumah tangga yang apabila berhasil menerapkan 3R maka dapat berkurang jumlahnya. Artinya, sampah jenis nonorganik bisa dijual melalui bank-bank sampah, jadi tinggal organiknya yang kalau kemudian di-press maka sudah sama sekali tidak ada harganya.
Sampah-sampah tadi mengapa tak dimanfaatkan jadi sumber energi, misalnya bio gas dan lainnya? Â Â
Volume sampah di Tangsel ini masih terlalu kecil untuk dimanfaatkan sebagai waste to energy. Harusnya, rata-rata untuk dikembangkan menjadi waste to energy adalah sebanyak 1.000 ton. Tapi sebaliknya, volume sampah itu akan semakin baik program pengelolaannya apabila jumlahnya semakin berkurang. Artinya, akan menjadi lebih baik apabila mampu mengurangi jumlah sampah di Tangsel yang mencapai 700 – 800 ton per hari. Saya yakin, bisa ‘kok kami kurangi jadi 350 ton per hari.
Tapi, andaikata sampah-sampah ini kemudian bisa dikelola, misalnya untuk biogas dan sebagainya, ya silakan. Cuma harus disadari, semua ide mengenai pemanfaatan sampah misalnya untuk menjadi energi itu adalah dalam rangka efisiensi lebih tinggi, bukan sebagai unsur utama menyelesaikan masalah. Misalnya, program waste to energy dilaksanakan, dengan cara dibakar dan kemudian menghasilkan energi, maka tetap hal ini harus ditegaskan bukan sebagai upaya untuk mencari dan menggali energinya. Karena, listrik yang dihasilkan pun hanya untuk dalam rangka meningkatkan efisiensi energi. Kondisi demikian berlangsung dimana-mana di seluruh dunia.
Tidak hanya untuk Tangsel saja, tapi kesuksesan kebersihan di Indonesia ini, masalah utamanya adalah terkait dengan perubahan perilaku. Misalnya, perilaku melaksanakan 3R termasuk bagaimana warga membuang sampah di tempat yang benar. Kami memperkirakan, mereka yang membuang sampah tidak pada tempat yang benar, jumlahnya mencapai 20 – 30 persen. Makanya, mulailah memilah dan memilih sampah sejak dari rumah tangga-rumah tangga masing-masing.
Bayangkan, apabila sekarang ini secara berbarengan, semua warga Tangsel yang jumlahnya mencapai 1,4 juta jiwa ini mampu memisahkan sampah organik dan nonorganik, maka hasilnya pasti akan sangat luar biasa. Dari 700 – 800 ton sampah per hari di Tangsel, kalau sampah jenis nonorganiknya bisa dipisahkan, maka bisa dijual dan punya nilai ekonomis. Sampah menjadi berkah, begitu kira-kira semboyannya.
Apabila, seluruh sampah nonorganik bisa dipisahkan untuk kemudian laku dijual, lalu sampah organik di-press agar dapat dikelola jadi kompos padat, air lindi dan semacamnya, maka semua itu bisa mengurangi sebanyak 35 persen total sampah di Tangsel pada hari ini juga. Tapi, kalau semua itu benar pelaksanaannya. Beginilah hebatnya dampak perubahan perilaku terhadap pengolahan dan pengelolaan sampah. Amat sangat berpengaruh! Percuma kita ‘jago’ mengangkut semua sampah, kalau perilaku warga terhadap sampah belum peduli.
* * * * *
Baca tulisan lain terkait sampah dan kebersihan lingkungan: