Anda perlu tahu!
Beginilah fakta dan data sampah di Kota Tangerang Selatan (Tangsel).
Masih belum bisa membayangkan volume sampah sebanyak itu?
Baiklah, biar gampang, mari kita setarakan. Hasilnya, kira-kira seperti ilustrasi yang saya buat di bawah ini:Â
Okey … terus sekarang bagaimana penanganannya?
Yuk, simak hasil wawancara saya dengan Mochammad Taher Rochadi, Kepala DKPP Kota Tangsel. Wawancaranya berlangsung di sela kegiatan Motivasi dan Evaluasi Bank Sampah Melati Bersih, sekaligus pengenalan perbankan dalam rangka GERAIKU bersama Bank Artha Graha Internasional, 13 Oktober kemarin di Gedung Serbaguna Kampus Universitas Terbuka (UT) Pondok Cabe, Tangsel.
Bagaimana manajemen pengelolaan sampah di Tangsel?
Sampah di Tangsel itu, teorinya ada sebanyak 700 – 800 ton per hari. Atau, 2.100 meter kubik. Kalau dilihat dari kandungan sampahnya, sebagian besar adalah jenis sampah organik. Dan, kandungan airnya sangat besar. Ini berkaitan dengan perilaku masyarakat Indonesia yang gemar makan sayur berkuah, atau sampah dari pasar yang kandungan airnya juga begitu besar. Hal ini bukan merupakan permasalahan sampah, tapi untuk bagaimana mengelola sampah dengan baik maka harus mengenal struktur sampahnya lebih dahulu.
Dari volume sampah sebanyak itu, ada sekitar 250 ton yang dibuang ke Tempat Pemrosesan Akhir Sampah Cipeucang di Serpong. Selain itu, kami juga terbantu dengan adanya para pengepul barang-barang bekas yang memilah dan memilih sampah demi kepentingan bisnis, belum lagi aktivitas di TPS3R (Tempat Pengelolaan Sampah Reuse Reduce Recycle) dan komunitas bank-bank sampah, termasuk perumahan-perumahan besar di Tangsel yang sudah mengelola sampah secara mandiri.
Bagaimana teknis pengolahan sampah di TPA Cipeucang yang merupakan satu-satunya milik Tangsel?
Kita melakukan sanitary landfill. [Penelusuran referensi online mengartikan, metode ini adalah membuang dan menumpuk sampah ke suatu lokasi yang cekung, memadatkan sampah tersebut kemudian menutupnya dengan tanah. Metode ini dapat menghilangkan polusi udara.] Pada intinya, kami mengelola sampah dengan baik apalagi kami sudah mengetahui struktur sampah dan sebagainya.
Karena sampah organik di Tangsel ini dominan mengandung air, maka untuk menguranginya --- selain mengandalkan 3R --- maka harus dihilangkan kandungan airnya terlebih dahulu. Caranya bagaimana? Nah, sekarang kami mencoba untuk melakukannya dengan cara gampang yakni di-press. Penge-press-an ini dilakukan supaya air di sampah itu keluar, sehingga kandungan air di sampah menjadi berkurang. Air yang keluar dari sampah hasil penge-press-an ini belum termasuk yang beracun, belum menjadi air lindi. Metode ini dilakukan tidak hanya di TPA Cipeucang saja, tapi juga di depo-depo dan juga tempat-tempat pembuangan sampah sementara yang kami miliki.
Kami memulai dari timbunan sampah yang banyak airnya yaitu yang berada di pasar-pasar. Dalam APBN Perubahan ini kami sudah mengajukan untuk pembelian alat penge-press-an sampah. Penge-press-an ini sangat berdayaguna. Karena, sampah yang sudah di-press, maka kandungan airnya akan berkurang drastis, barulah kemudian kita buang ke TPA Cipeucang. Pola ini sangat lumayan karena mampu mengurangi 30 – 40 persen dari total volume sampah yang dibuang ke TPA Cipeucang.
Contohnya, di Pasar Ciputat, yang setiap hari volume sampahnya mencapai enam truk, sesudah sampahnya dilakukan penge-press-an maka volumenya berkurang lantaran kandungan airnya sudah dikeluarkan. Otomatis juga, potenasi airnya tidak beracun  karena sampahnya sudah di-press sehingga kering.
Berapa pasar yang akan disediakan alat penge-press-an sampah itu?
Kami baru melihat alat press-nya itu. Mungkin segera akan dilaksanakan di Pasar Ciputat. Kemudian, pada 2017, giliran Pasar Jombang dan Pasar Cimanggis. Kenapa? Karena kami memantau bahwa volume sampah di tiga pasar ini terbilang besar. Tahun ini, kami beli satu unit alat press sampah. Insya Allah, tahun depan, kami beli alat press-nya sebanyak tiga unit. Harganya, sesuai e-catalogue, tergantung dari berapa volume sampah yang hendak dilakukan penge-press-an. Kisaran harganya sekitar Rp 1 miliar. Mahal memang, tapi manfaatnya besar.
Selain itu, dengan melakukan penge-press-an sampah, menghindari dampak polusi lingkungan karena sampah hasil press-nya sudah dalam kondisi kering.
Selain mengangkut sampah dengan cepat, kemudian mengubah perilaku masyarakat berkaitan dengan 3R tadi --- termasuk jangan membuang sampah sembarangan ---, maka dilakukan juga penge-press-an untuk mengurangi timbunan sampah. Pokoknya, kami bersama dukungan banyak pihak melakukan program untuk bagaimana mengurangi timbunan sampah. Mulai dari rumah tangga-rumah tangga dengan melakukan 3R, struktur sampah yang sudah kami lakukan penge-press-an, dan perlakuan lain seperti penggunaan incinerator dan sebagainya.
Kalau kita melihat manajemen persampahan yang ada, awal mulanya sampah berasal dari rumah tangga-rumah tangga yang apabila berhasil menerapkan 3R maka dapat berkurang jumlahnya. Artinya, sampah jenis nonorganik bisa dijual melalui bank-bank sampah, jadi tinggal organiknya yang kalau kemudian di-press maka sudah sama sekali tidak ada harganya.
Sampah-sampah tadi mengapa tak dimanfaatkan jadi sumber energi, misalnya bio gas dan lainnya? Â Â
Volume sampah di Tangsel ini masih terlalu kecil untuk dimanfaatkan sebagai waste to energy. Harusnya, rata-rata untuk dikembangkan menjadi waste to energy adalah sebanyak 1.000 ton. Tapi sebaliknya, volume sampah itu akan semakin baik program pengelolaannya apabila jumlahnya semakin berkurang. Artinya, akan menjadi lebih baik apabila mampu mengurangi jumlah sampah di Tangsel yang mencapai 700 – 800 ton per hari. Saya yakin, bisa ‘kok kami kurangi jadi 350 ton per hari.
Tapi, andaikata sampah-sampah ini kemudian bisa dikelola, misalnya untuk biogas dan sebagainya, ya silakan. Cuma harus disadari, semua ide mengenai pemanfaatan sampah misalnya untuk menjadi energi itu adalah dalam rangka efisiensi lebih tinggi, bukan sebagai unsur utama menyelesaikan masalah. Misalnya, program waste to energy dilaksanakan, dengan cara dibakar dan kemudian menghasilkan energi, maka tetap hal ini harus ditegaskan bukan sebagai upaya untuk mencari dan menggali energinya. Karena, listrik yang dihasilkan pun hanya untuk dalam rangka meningkatkan efisiensi energi. Kondisi demikian berlangsung dimana-mana di seluruh dunia.
Tidak hanya untuk Tangsel saja, tapi kesuksesan kebersihan di Indonesia ini, masalah utamanya adalah terkait dengan perubahan perilaku. Misalnya, perilaku melaksanakan 3R termasuk bagaimana warga membuang sampah di tempat yang benar. Kami memperkirakan, mereka yang membuang sampah tidak pada tempat yang benar, jumlahnya mencapai 20 – 30 persen. Makanya, mulailah memilah dan memilih sampah sejak dari rumah tangga-rumah tangga masing-masing.
Bayangkan, apabila sekarang ini secara berbarengan, semua warga Tangsel yang jumlahnya mencapai 1,4 juta jiwa ini mampu memisahkan sampah organik dan nonorganik, maka hasilnya pasti akan sangat luar biasa. Dari 700 – 800 ton sampah per hari di Tangsel, kalau sampah jenis nonorganiknya bisa dipisahkan, maka bisa dijual dan punya nilai ekonomis. Sampah menjadi berkah, begitu kira-kira semboyannya.
Apabila, seluruh sampah nonorganik bisa dipisahkan untuk kemudian laku dijual, lalu sampah organik di-press agar dapat dikelola jadi kompos padat, air lindi dan semacamnya, maka semua itu bisa mengurangi sebanyak 35 persen total sampah di Tangsel pada hari ini juga. Tapi, kalau semua itu benar pelaksanaannya. Beginilah hebatnya dampak perubahan perilaku terhadap pengolahan dan pengelolaan sampah. Amat sangat berpengaruh! Percuma kita ‘jago’ mengangkut semua sampah, kalau perilaku warga terhadap sampah belum peduli.
* * * * *
Baca tulisan lain terkait sampah dan kebersihan lingkungan:
Ada Sampah Pasti Ada Eka Meidya
Bersih dan Senyum untuk Buktikan Pesona Indonesia
Inilah Pelitas, Super Hero Penyelamat Lingkungan Kota Tangsel
Pendekar Kaleng Asal Sukabumi, Penyelamat Bumi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H