Beruntung, keberadaan bank-bank sampah di Tangsel tidak dibiarkan merana. Pemkot melalui DKPP urun sibuk melakukan pembinaan dan pelatihan. “Misalnya, bagaimana memilah dan memilih sampah. Sampah anorganik sebagian bisa dijual ke lapak pemulung, sebagian lagi bisa dibuat beraneka kerajinan produk upcycle. Sedangkan sampah organiknya, dimanfaatkan untuk membuat kompos pupuk cair menggunakan tabung komposter. Setelah para anggota bank-bank sampah pandai membuat kompos pupuk cair, kemudian kami laksanakan pelatihan secara simultan yakni bagaimana mengelola pertanian warga atau urban farming,” tutur Yepi Suherman, Kepala Bidang Kebersihan Tangsel kepada penulis.
Apabila urban farming ini sudah semakin tersosialisasi dan diwujudkan dengan baik, maka pada saatnya nanti akan muncul sentra-sentra produksi hasil pertanian warga melalui komunitas bank-bank sampah.
“Untuk sementara ini, kami berharap komunitas pengelola urban farming menanam sayur-mayur yang usianya pendek sehingga bisa cepat dipanen untuk memenuhi kebutuhan keluarganya lebih dahulu. Kelak, apabila semua sudah siap ber-urban farming, maka kami punya proyeksi untuk menetapkan satu komunitas untuk satu sentra produksi pertanian. Misalnya, di lokasi A adalah urban farming untuk sentra cabai, sedangkan di lokasi B khusus untuk terung ungu, begitu juga dengan sentra-sentra lain dengan produk pertanian yang berbeda seperti sayur-mayur dan lainnya,” tuturnya.
Kelak, dengan adanya sentra-sentra urban farming ini, harapannya kemudian adalah menjadikan Tangsel sebagai Pusat Edukasi Sampah. “Artinya, bisa menjadi aset kota untuk raihan devisa dari sektor pariwisata,” harap Yepi.
Ternyata hal ini tidak lepas kaitannya dengan keterbatasan lahan TPA sampah yang dimiliki Tangsel yaitu di Cipeucang. Seperti dijelaskan Yepi, TPA ini merupakan hibah dari Pemkab Tangerang sehubungan pemekaran wilayah, dimana Tangsel menjadi kota otonom sendiri.
“Di TPA Cipeucang ini ada dua zona land fill atau kita menyebutnya kolam sampah. Kolam pertama seluas 2,5 hektar dan sudah maksimal alias tidak dapat lagi menampung buangan sampah baru, malah sudah mau ditutup lantaran ketinggian sampahnya sudah menjulang hampir 15 meter. Sementara kolam kedua, luasnya 1,7 hektar dan masih bisa menampung sampah baru dengan segala keterbatasannya,” terang Yepi.
Untuk memperpanjang usia kolam kedua tadi, imbuh Yepi, pihaknya tidak mungkin membuang seluruh sampah yang berhasil diangkut lalu dibuang begitu saja ke sana. “Makanya, harus dilakukan pemilahan dan pemilihan sampah terlebih dahulu oleh warga bersama komunitas bank-bank sampah. Selain itu, sampah-sampah baru yang akan dibuang ke kolam kedua harus sudah melalui tahap pemadatan atau di-press terlebih dahulu,” terangnya.
Kondisi darurat TPA sampah Cipeucang juga tergambarkan dari keterangan Yepi soal penambahan jumlah armada kendaraan angkut sampah.
“Memang kami akui, penambahan jumlah armada angkut sampah ini sengaja dilakukan secara bertahap. Alasannya sederhana, kalau armada angkut sampah ini diperbanyak bahkan melebihi batas, dampaknya akan berpengaruh pada jumlah dan volume sampah yang juga akan dibuang ke kolam kedua. Padahal, di sisi lain kami berharap, usia pemakaian kolam kedua TPA Cipeucang bisa lebih panjang,” jujur Yepi seraya berharap dengan membina komunitas bank-bank sampah, dan memperbanyak jumlah TPS3R (Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu Reduce Reuse Recycle) akan membuat pada saatnya nanti sampah-sampah akan habis di sumbernya yaitu di rumah-rumah tangga. “Jadi tidak perlu lagi sampah itu dibuang ke TPA Cipeucang,” tuturnya.