Bisa dibayangkan efektivitas Sisaku --- ide start up yang terpilih untuk menjadi pemenang ajang Indonesia Sociopreneur Challenge (ISoC) 2015 bertema Waste Around Us --- bila sudah familiar di kalangan warga Tangsel. Kesadaran bersama akan membuahkan volume sampah yang dibuang dan disalurkan masuk ke TPA Cipeucang dapat dikurangi. Begitu pula dengan pendapatan masyarakat juga dapat meningkat, karena bisa “menjual” sampah dan mengolah sampah menjadi produk-produk bernilai ekonomis.
Perjuangan Relawan Mengelola Bank Sampah
Kalau tadi para penggagas dan pembuat start up Sisaku menyebut keterlibatan bank sampah-bank sampah yang ada di Kota Tangsel, sebenarnya bagaimana geliat bank yang menampung dan memberdayakan sampah rumah tangga tersebut?
“Kini kegiatan kami tidak cuma memilah, memilih dan menimbang sampah saja, tetapi juga mengupayakan bagaimana memanfaatkan sampah rumah tangga (rumga). Sehingga sampah-sampah rumga tidak lagi keluar dari wilayah RW tempat dimana kita tinggal,” jelasnya. (Selengkapnya reportase tentang bank sampah ini, baca tulisan sebelumnya: Ada Sampah, Pasti Ada Eka Maidya)
Urun sibuk antara Pemkot Tangsel melalui Dinas Kebersihan Pertamanan dan Pemakaman (DKPP) dengan FORKAS juga amat harmonis. Antara lain, pembinaan dan pelatihan kepada para kelompok bank sampah untuk membuat komposter penghasil pupuk cair. Dengan pupuk cair yang dihasilkan, pelatihan semakin ditingkatkan dengan melaksanakan urban farming, pertanian warga. Ada juga kegiatan membuat lubang-lubang biopori yang fungsinya menyimpan cadangan dan meghindari genangan air, serta pelatihan menghasilkan eco brick atau sampah plastik ukuran kecil yang dipadatkan dalam botol bekas. Tak ketinggalan, membuat produk upcycle bernilai ekonomis dari sampah anorganik.
Data yang dimiliki FORKAS untuk satu kelompok bank sampah bernama ‘Baginda’ misalnya, sempat menyentuh angka penjualan tertinggi mencapai Rp. 6.343.240 pada Agustus 2015, kemudian sebulan kemudian, September 2015, anjlok menjadi Rp. 2.112.550. Sedangkan angka penjualan tertinggi per Januari hingga September 2015, ditempati oleh kardus sebesar Rp 5.019.500, disusul botol bening senilai Rp 2.719.500, kemudian plastik warna dengan cuan masuk mencapai Rp 2.684.600. (lihat tabel)
Angka ini baru dicapai oleh satu bank sampah. Bayangkan bila di Tangsel ada 145 bank sampah seperti sekarang, dan kelak diproyeksikan jumlahnya menjadi 540 bank sampah. Perputaran roda ekonomi pasti membuat warga tersenyum akibat keberkahan sampah. “Saya percaya kata para pakar bahwa ‘Sampah Dipilah Menjadi Berkah dan Sampah Dipilah Menjadi Rupiah’. Ini benar adanya,” bahagia Eka.