Undang-undang ini sekaligus menunjukkan pergeseran paradigma, dari semula yang hanya memprioritaskan ekspor energi kepada kebijakan energi yang lebih berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Bahkan melalui pasal 5 UU Energi ini antara lain menyatakan: Untuk menjamin ketahanan energi nasional, pemerintah wajib menyediakan cadangan penyangga energi. Tapi faktanya? Malah muncul pernyataan status “lampu merah”, penilaian “rapuh” dan sejenisnya. Hmmmm …
Semangat perbaikan, sempat diletupkan Pemerintahan SBY – Boediono. Ketika membuka konferensi, pameran industri minyak dan gas Indonesian Petroleum Association (IPA) ke-34 pada 18-20 Mei 2010, Wapres Boediono menandaskan, peran migas telah berubah. Semula hanya sebagai sumber penerimaan negara maupun ekspor, maka kini menjadi bagian dari sistem energi penyangga perekonomian nasional. Sasaran produksi migas tidak lagi semata untuk pendapatan negara dan kebutuhan ekspor, tetapi juga pertumbuhan ekonomi masyarakat Indonesia.
Benang merah antara produksi migas dan pertumbuhan ekonomi masyarakat ini, dipaparkan pula oleh Taslim. Menurut pria berkumis yang mengaku belum lama memegang tampuk sebagai Kabag Humas SKK Migas ini, multiplier effect economyindustri hulu migas begitu cair dan potensial. “Karena, pada setiap pembelanjaan US$ 1 juta oleh industri hulu migas dampaknya akan menghasilkan, output ekonomi sejumlah US$ 1,6 juta. Juga, tambahan GDP US$ 0,7 juta, tambahan pendapatan rumah tangga Rp 200 juta, dan tambahan lapangan kerja sebanyak 100 orang,” ungkapnya.
Tawaran Solusi Iklim Investasi
Indonesia mempunyai luas wilayah yang sangat besar, 5.193.250 km2, mencakup daratan dan lautan. Sejarah industri Migas mencatat, Indonesia pernah menjadi penghasil Migas terbesar di Asia Tenggara. Saat ini pun, terdapat sejumlah lapangan Migas besar yang berhasil ditemukan tapi belum dikembangkan maksimal. Misalnya Lapangan Gas Tangguh di Papua Barat, Gas Abadi Blok Masela di Maluku, Jangkrik Blok Muara Bakau di Kalimantan, Indonesia Deepwater Development (IDD) Chevron, dan masih banyak lagi.
“Kalaupun ada yang menyangsikan bahwa Indonesia masih memiliki banyak cadangan sumber daya alam, khususnya migas, maka untuk menjawab keraguan tersebut harus dilakukan secara hati-hati. Karena keraguan itu bisa saja benar, tetapi juga bisa salah. Kalau melihat dari cadangan-cadangan migas yang sudah ditemukan, memang kita akui terjadi penyusutan. Itu bertul. Tapi, apakah eksplorasi sebenarnya sudah dilakukan maksimal? Jawabannya, belum! Makanya kita harus melihat cadangan-cadangan migas yang belum ditemukan, karena cekungan-cekungan yang ada di Indonesia itu banyak sekali. Mengapa belum ditemukan, boleh jadi karena memang trend eksplorasi bergerak ke Timur Indonesia dengan berbagai kendala beratnya, seperti lautnya yang sangat dalam, minim infrastruktur, sampai kepada lokasi yang terpencil,” urai Meity selaku Direktur Eksekutif IPA yang juga tampil sebagai pembicara pada talkshow ‘Kompasiana Nangkring Bareng SKK Migas’.
Potensi sumber migas yang luar biasa besar ini menurut Meity, wajib dilihat dan diselaraskan dengan bunyi Pasal 33 ayat 3 UUD ’45 yang berbunyi “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
“Artinya, kekayaan alam --- termasuk migas --- dimiliki oleh Pemerintah. Pasal 33 ayat 3 ini bagi saya ini penting, karena walaupun ada investor yang menjadi operator dari suatu wilayah kerja, tapi asset, minyak, gas dan semua peralatan adalah punya Negara. Jadi, ini bukan seperti business as usual, artinya selain si investor ini membawa uang dan teknologi, tapi si investor ini seperti tukang garap saja. Tapi, ini tukang garap yang bawa uang dan teknologi. Sehingga Pemerintah Indonesia tidak perlu lagi menaruh uangnya lebih dahulu. Tetapi, Pemerintah tetap berada pada posisi yang benar-benar sebagai pemegang kendali. Sehingga, investor yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi di Indonesia, setiap tahun harus memaparkan rencana kerja secara detil, dan harus disetujui Pemerintah Indonesia terlebih dahulu, baru kemudian diizinkan untuk melakukan pekerjaannya,” urainya berapi-api.
Kerjasama antara Pemerintah dan Perusahaan Migas ini, kata Meity, berbentuk Kontrak Bagi Hasil, dengan kendali penuh di tangan Pemerintah --- melalui SKK Migas ---, salah satu implementasinya adalah seluruh rencana kerja, anggaran, dan pelaksanaannya wajib disetujui oleh Pemerintah.