Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Karpet Merah untuk 'Tukang Garap' Industri Hulu Migas

30 Agustus 2016   10:54 Diperbarui: 16 September 2016   15:52 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penulis ketika berada di atas anjungan tanker Pertamina Gas 2. (Foto: Gapey Sandy)

Undang-undang ini sekaligus menunjukkan pergeseran paradigma, dari semula yang hanya memprioritaskan ekspor energi kepada kebijakan energi yang lebih berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Bahkan melalui pasal 5 UU Energi ini antara lain menyatakan: Untuk menjamin ketahanan energi nasional, pemerintah wajib menyediakan cadangan penyangga energi. Tapi faktanya? Malah muncul pernyataan status “lampu merah”, penilaian “rapuh” dan sejenisnya. Hmmmm

Semangat perbaikan, sempat diletupkan Pemerintahan SBY – Boediono. Ketika membuka konferensi, pameran industri minyak dan gas Indonesian Petroleum Association (IPA) ke-34 pada 18-20 Mei 2010, Wapres Boediono menandaskan, peran migas telah berubah. Semula hanya sebagai sumber penerimaan negara maupun ekspor, maka kini menjadi bagian dari sistem energi penyangga perekonomian nasional. Sasaran produksi migas tidak lagi semata untuk pendapatan negara dan kebutuhan ekspor, tetapi juga pertumbuhan ekonomi masyarakat Indonesia.

Benang merah antara produksi migas dan pertumbuhan ekonomi masyarakat ini, dipaparkan pula oleh Taslim. Menurut pria berkumis yang mengaku belum lama memegang tampuk sebagai Kabag Humas SKK Migas ini, multiplier effect economyindustri hulu migas begitu cair dan potensial. “Karena, pada setiap pembelanjaan US$ 1 juta oleh industri hulu migas dampaknya akan menghasilkan, output ekonomi sejumlah US$ 1,6 juta. Juga, tambahan GDP US$ 0,7 juta, tambahan pendapatan rumah tangga Rp 200 juta, dan tambahan lapangan kerja sebanyak 100 orang,” ungkapnya.

Diagram multiplier effect economy dari setiap pembelanjaan di sektor industri hulu migas. (Sumber: SKK Migas)
Diagram multiplier effect economy dari setiap pembelanjaan di sektor industri hulu migas. (Sumber: SKK Migas)
Sebagai contoh, tukas Taslim, yang terjadi pada masa lalu di Blok Natuna Alpha, yang waktu itu ditandatangani oleh Pak BJ Habibie kepada PT Exxon Mobil, dan ada saja pihak-pihak yang menganggap bahwa Indonesia secara relatif hanya mendapatkan pemasukan berupa pajak yang dibayarkan oleh pihak kontraktor saja. “Tetapi, Pak BJ Habibie berpikiran bahwa Indonesia sebenarnya tidak hanya memperoleh pemasukan pajak saja, tetapi juga multiplier effect economy dari modal besar yang ditanamkan PT Exxon Mobil di Natuna,” ujarnya.

Tawaran Solusi Iklim Investasi

Indonesia mempunyai luas wilayah yang sangat besar, 5.193.250 km2, mencakup daratan dan lautan. Sejarah industri Migas mencatat, Indonesia pernah menjadi penghasil Migas terbesar di Asia Tenggara. Saat ini pun, terdapat sejumlah lapangan Migas besar yang berhasil ditemukan tapi belum dikembangkan maksimal. Misalnya Lapangan Gas Tangguh di Papua Barat, Gas Abadi Blok Masela di Maluku, Jangkrik Blok Muara Bakau di Kalimantan, Indonesia Deepwater Development (IDD) Chevron, dan masih banyak lagi.

“Kalaupun ada yang menyangsikan bahwa Indonesia masih memiliki banyak cadangan sumber daya alam, khususnya migas, maka untuk menjawab keraguan tersebut harus dilakukan secara hati-hati. Karena keraguan itu bisa saja benar, tetapi juga bisa salah. Kalau melihat dari cadangan-cadangan migas yang sudah ditemukan, memang kita akui terjadi penyusutan. Itu bertul. Tapi, apakah eksplorasi sebenarnya sudah dilakukan maksimal? Jawabannya, belum! Makanya kita harus melihat cadangan-cadangan migas yang belum ditemukan, karena cekungan-cekungan yang ada di Indonesia itu banyak sekali. Mengapa belum ditemukan, boleh jadi karena memang trend eksplorasi bergerak ke Timur Indonesia dengan berbagai kendala beratnya, seperti lautnya yang sangat dalam, minim infrastruktur, sampai kepada lokasi yang terpencil,” urai Meity selaku Direktur Eksekutif IPA yang juga tampil sebagai pembicara pada talkshow ‘Kompasiana Nangkring Bareng SKK Migas’.

Potensi sumber migas yang luar biasa besar ini menurut Meity, wajib dilihat dan diselaraskan dengan bunyi Pasal 33 ayat 3 UUD ’45 yang berbunyi “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

“Artinya, kekayaan alam --- termasuk migas --- dimiliki oleh Pemerintah. Pasal 33 ayat 3 ini bagi saya ini penting, karena walaupun ada investor yang menjadi operator dari suatu wilayah kerja, tapi asset, minyak, gas dan semua peralatan adalah punya Negara. Jadi, ini bukan seperti business as usual, artinya selain si investor ini membawa uang dan teknologi, tapi si investor ini seperti tukang garap saja. Tapi, ini tukang garap yang bawa uang dan teknologi. Sehingga Pemerintah Indonesia tidak perlu lagi menaruh uangnya lebih dahulu. Tetapi, Pemerintah tetap berada pada posisi yang benar-benar sebagai pemegang kendali. Sehingga, investor yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi di Indonesia, setiap tahun harus memaparkan rencana kerja secara detil, dan harus disetujui Pemerintah Indonesia terlebih dahulu, baru kemudian diizinkan untuk melakukan pekerjaannya,” urainya berapi-api.

Meity, Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association/IPA. (Foto: Gapey Sandy)
Meity, Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association/IPA. (Foto: Gapey Sandy)
Modal besar, pengalaman kerja dan teknologi tinggi memang menjadi syarat mutlak bagi perusahaan migas yang akan ditunjuk Pemerintah sebagai investor, karena kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam sungguh memiliki risiko tinggi. “Pemerintah tidak mungkin mengalokasikan dana APBN untuk membiayai eksplorasi yang penuh risiko. Maka dari itu, risiko eksplorasi adalah tanggung-jawab investor. Adapun pembiayaan eksploitasi dilakukan dahulu oleh investor bersama mitranya, untuk kemudian akan diganti secara bertahap setelah produksi mencukupi,” jelas Meity yang memang menamatkan studinya di bidang perminyakan.

Kerjasama antara Pemerintah dan Perusahaan Migas ini, kata Meity, berbentuk Kontrak Bagi Hasil, dengan kendali penuh di tangan Pemerintah --- melalui SKK Migas ---, salah satu implementasinya adalah seluruh rencana kerja, anggaran, dan pelaksanaannya wajib disetujui oleh Pemerintah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun