Sebagai contoh, terang Taslim lagi, pengguna gas yang terbesar adalah Pulau Jawa, padahal sumbernya itu ada di Indonesia Timur semisal di Pulau Natuna. “Bagaimana bisa mengalirkan gas dari dari Indonesia Timur ini ke Pulau Jawa, kalau infrastruktur jaringan gas buminya saja belum merata? Hal ini menjadi salah satu kendala yang dihadapi Indonesia,” tuturnya yang menyampaikan materi berjudul Pemanfaatan Migas Untuk Kesejahteraan Rakyat.
Kini, lantaran trend eksplorasi migas di Indonesia semakin mengarah ke Timur Indonesia, berarti cost yang dikeluarkan oleh para investor bakal semakin mahal. Hal ini ekuivalen juga dengan semakin sulitnya menemukan wilayah yang memiliki kandungan migas.
Semakin lamanya jeda waktu antara penemuan cadangan sampai dengan produksi, yakni antara 8 - 26 tahun, jelas menjadi indikator negatif bagi iklim investasi hulu migas. Menurut Taslim, fakta ini secara otomatis memaparkan bahwa kontraktor pada tahap eksplorasi menghadapi hambatan investasi. Hambatan ini musti segera ditanggulangi, karena dari 289 Wilayah Kerja (WK) yang ada di Indonesia saat ini, baru 67 WK saja yang mulai tahap produksi.
Problem lain yang mengemuka terkait WK adalah kenyataan bahwa begitu rendahnya minat investor guna mengikuti lelang WK migas yang dilakukan Pemerintah pada setiap tahun. Contoh, pada 2015 kemarin, penawaran delapan WK migas malah tidak berjodoh dengan pemenangnya. Alias, nihil. Kenihilan hasil lelang WK migas ini seakan membenarkan bahwa industri hulu migas Indonesia memang kurang atraktif.
Dengan kondisi seperti ini, menurut Taslim lagi, kekhawatiran bahwa cadangan migas tidak akan mencukupi kebutuhan jangka panjang menjadi sangat masuk akal. Apalagi, kebutuhan minyak mentah Indonesia saat ini sebesar 1,4 juta bph, dan ironisnya produksi nasional cuma pada kisaran 800 ribu bph. “Walaupun produksi gas meningkat, tapi kalau pengembangan beberapa proyek besar tertunda, maka praktis produksi gas Indonesia tak akan sanggup memenuhi kebutuhan dalam negeri, terutama pada sektor kelistrikan,” terangnya.
Yang cukup membuat miris peserta Kompasiana Nangkring adalah ketika Taslim menyodorkan fakta bahwa status ketahanan migas Indonesia sudah “Lampu Merah”. Waduh, ini jelas gawat!
“Diperkirakan, mulai 2019 nanti, produksi minyak dan gas di Indonesia akan terus mengalami penurunan sampai dengan 2025. Untuk minyak, sebenarnya puncak produksi sudah mencapai tahap puncaknya pada 1995 (second peak oil year), lalu kemudian terus menerus terjadi penurunan, meski sempat naik pada 2016 ini, tapi setelah itu akan kembali turun lagi. Begitu pun gas bumi, puncak kiri dan kanan (peak gas) hanya terjadi pada 2010 dan 2018, sementara pada rentang kedua tahun ini terjadi fluktuasi yang cenderung turun. Nah, mulai 2019 nanti, barulah produksi minyak dan gas bumi diramalkan akan sama-sama terus menurun. Inilah yang dimaksud status “lampu merah” untuk kemandirian atau ketahanan energi Indonesia,” ujar Taslim prihatin, seraya berharap agar aktivitas eksplorasi dan eksploitasi terus berlangsung, sehingga kecukupan energi nasional pada 2025 dapat terpenuhi. “Jangan dulu bicara ekspor migas, bahkan untuk memenuhi kebutuhan energi migas nasional pun belum mencukupi”.
Tiga tahun lalu, kondisi ketahanan energi yang memprihatinkan pernah pula disampaikan Marwan Batubara, peneliti Indonesian Resources Studies. Menurutnya, pertumbuhan rata-rata energi global hingga 2035 diperkirakan mencapai 1,4 persen per tahun. Sementara peningkatan konsumsi energi global mencapai 12,4 Mtoe (2010), dan 16,7 Mtoe (2035). [Mtoe = Million Tonnes of Oil Equivalent. 1 ton = 7,3 barel]. Adapun peningkatan konsumsi minyak, ditaksir sebesar 87,5 barel per hari/bph (2012), dan diestimasikan menjadi 100 bph (2022). Sementara, pertumbuhan energi nasional hanya 4 persen per tahun. Sedangkan impor minyak mentah dan BBM terus meningkat, sekaligus pula pembangunan kilang migas stagnan. Kesimpulannya, ketahanan energi nasional rapuh.