Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Karpet Merah untuk 'Tukang Garap' Industri Hulu Migas

30 Agustus 2016   10:54 Diperbarui: 16 September 2016   15:52 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Statistik Produksi : Lifting Minyak dan Gas Bumi. (Sumber: SKK Migas)

Sebagai contoh, terang Taslim lagi, pengguna gas yang terbesar adalah Pulau Jawa, padahal sumbernya itu ada di Indonesia Timur semisal di Pulau Natuna. “Bagaimana bisa mengalirkan gas dari dari Indonesia Timur ini ke Pulau Jawa, kalau infrastruktur jaringan gas buminya saja belum merata? Hal ini menjadi salah satu kendala yang dihadapi Indonesia,” tuturnya yang menyampaikan materi berjudul Pemanfaatan Migas Untuk Kesejahteraan Rakyat.

Kini, lantaran trend eksplorasi migas di Indonesia semakin mengarah ke Timur Indonesia, berarti cost yang dikeluarkan oleh para investor bakal semakin mahal. Hal ini ekuivalen juga dengan semakin sulitnya menemukan wilayah yang memiliki kandungan migas.

Tabel Jumlah Wilayah Kerja Migas per 30 Juni 2016. (Sumber: SKK Migas)
Tabel Jumlah Wilayah Kerja Migas per 30 Juni 2016. (Sumber: SKK Migas)
Statistik Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) pada sektor industri hulu migas. (Sumber: SKK Migas)
Statistik Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) pada sektor industri hulu migas. (Sumber: SKK Migas)
“Sangat terasa sekali betapa dekade terakhi ini semakin susah kita menemukan Migas. Sudah proses penemuan migasnya semakin lama, sukses rasio eksplorasinya pun kian mengecil pula. Akibatnya, muncul penemuan sumber Migas yang kecil-kecil. Tak hanya itu, setelah ditemukan pun, tidak bisa langsung begitu saja dilakukan eksploitasi maupun produksi. Rentang waktu antara discovery dan produksi ini memakan waktu yang begitu lama. Contohnya, sumur migas di Blok Cepu yang sebenarnya ditemukan sejak 2001, tetapi baru mencapai tahap puncak produksi pada Februari 2016,” ungkap Taslim.

Semakin lamanya jeda waktu antara penemuan cadangan sampai dengan produksi, yakni antara 8 - 26 tahun, jelas menjadi indikator negatif bagi iklim investasi hulu migas. Menurut Taslim, fakta ini secara otomatis memaparkan bahwa kontraktor pada tahap eksplorasi menghadapi hambatan investasi. Hambatan ini musti segera ditanggulangi, karena dari 289 Wilayah Kerja (WK) yang ada di Indonesia saat ini, baru 67 WK saja yang mulai tahap produksi.

Problem lain yang mengemuka terkait WK adalah kenyataan bahwa begitu rendahnya minat investor guna mengikuti lelang WK migas yang dilakukan Pemerintah pada setiap tahun. Contoh, pada 2015 kemarin, penawaran delapan WK migas malah tidak berjodoh dengan pemenangnya. Alias, nihil. Kenihilan hasil lelang WK migas ini seakan membenarkan bahwa industri hulu migas Indonesia memang kurang atraktif. 

Dengan kondisi seperti ini, menurut Taslim lagi, kekhawatiran bahwa cadangan migas tidak akan mencukupi kebutuhan jangka panjang menjadi sangat masuk akal. Apalagi, kebutuhan minyak mentah Indonesia saat ini sebesar 1,4 juta bph, dan ironisnya produksi nasional cuma pada kisaran 800 ribu bph. “Walaupun produksi gas meningkat, tapi kalau pengembangan beberapa proyek besar tertunda, maka praktis produksi gas Indonesia tak akan sanggup memenuhi kebutuhan dalam negeri, terutama pada sektor kelistrikan,” terangnya.

Statistik Distribusi Penerimaan Negara pada sektor industri hulu migas. (Sumber: SKK Migas)
Statistik Distribusi Penerimaan Negara pada sektor industri hulu migas. (Sumber: SKK Migas)
Statistik Transaksi Melalui Perbankan Nasional pada sektor industri hulu migas. (Sumber: SKK Migas)
Statistik Transaksi Melalui Perbankan Nasional pada sektor industri hulu migas. (Sumber: SKK Migas)
Kendala lain yang juga tengah dihadapi industri hulu migas, papar Taslim, adalah fasilitas operasi produksi yang sudah tua, cadangan migas yang semakin menipis, penurunan produksi migas, migas yang masih mendominasi penggunaan energi primer, dan rasio penggantian cadangan (reserves replacement ratio/RRR) yang minus 50 persen. [Agar bisnis hulu migas bisa berkelanjutan, nilai RRR seharusnya minimal 100 persen, mengacu kepada pernyataan Deputi Pengendalian Perencanaan SKK Migas, Gunawan Sutadiwiria, belum lama ini di Bandung]  

Yang cukup membuat miris peserta Kompasiana Nangkring adalah ketika Taslim menyodorkan fakta bahwa status ketahanan migas Indonesia sudah “Lampu Merah”. Waduh, ini jelas gawat!

“Diperkirakan, mulai 2019 nanti, produksi minyak dan gas di Indonesia akan terus mengalami penurunan sampai dengan 2025. Untuk minyak, sebenarnya puncak produksi sudah mencapai tahap puncaknya pada 1995 (second peak oil year), lalu kemudian terus menerus terjadi penurunan, meski sempat naik pada 2016 ini, tapi setelah itu akan kembali turun lagi. Begitu pun gas bumi, puncak kiri dan kanan (peak gas) hanya terjadi pada 2010 dan 2018, sementara pada rentang kedua tahun ini terjadi fluktuasi yang cenderung turun. Nah, mulai 2019 nanti, barulah produksi minyak dan gas bumi diramalkan akan sama-sama terus menurun. Inilah yang dimaksud status “lampu merah” untuk kemandirian atau ketahanan energi Indonesia,” ujar Taslim prihatin, seraya berharap agar aktivitas eksplorasi dan eksploitasi terus berlangsung, sehingga kecukupan energi nasional pada 2025 dapat terpenuhi. “Jangan dulu bicara ekspor migas, bahkan untuk memenuhi kebutuhan energi migas nasional pun belum mencukupi”.

Tiga tahun lalu, kondisi ketahanan energi yang memprihatinkan pernah pula disampaikan Marwan Batubara, peneliti Indonesian Resources Studies. Menurutnya, pertumbuhan rata-rata energi global hingga 2035 diperkirakan mencapai 1,4 persen per tahun. Sementara peningkatan konsumsi energi global mencapai 12,4 Mtoe (2010), dan 16,7 Mtoe (2035). [Mtoe = Million Tonnes of Oil Equivalent. 1 ton = 7,3 barel]. Adapun peningkatan konsumsi minyak, ditaksir sebesar 87,5 barel per hari/bph (2012), dan diestimasikan menjadi 100 bph (2022). Sementara, pertumbuhan energi nasional hanya 4 persen per tahun. Sedangkan impor minyak mentah dan BBM terus meningkat, sekaligus pula pembangunan kilang migas stagnan. Kesimpulannya, ketahanan energi nasional rapuh.

Tabel yang menunjukkan bahwa Ketahanan Migas Indonesia berada dalam status Lampu Merah. (Sumber: SKK Migas)
Tabel yang menunjukkan bahwa Ketahanan Migas Indonesia berada dalam status Lampu Merah. (Sumber: SKK Migas)
Kondisi miris ini tentulah bertolakbelakang dengan amanat UU No.30/2007 tentang Energi, yang diantaranya menjabarkan tujuan pengelolaan energi yaitu (a). Tercapainya kemandirian pengelolaan energi. (b). Terjaminnya ketersediaan energi dalam negeri, baik dari sumber di dalam maupun di luar negeri. (c). Tersedianya sumber energi dari dalam negeri dan/atau luar negeri. (d). Terjaminnya pengelolaan sumber daya energi secara optimal, terpadu dan berkelanjutan. (e). Termanfaatkannya energi secara efisien di semua sektor. (f). Tercapainya peningkatan akses masyarakat yang tidak mampu dan/atau yang tinggal di daerah terpencil terhadap energi untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata. (g). Tercapainya pengembangan kemampuan industri energi dan jasa energi dalam negeri agar mandiri dan meningkatkan profesionalisme SDM. (h). Terciptanya lapangan kerja. (i). Terjaganya kelestarian fungsi lingkungan hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun