Bagaimana dengan pilihan stasiun radionya?
Sutopo mengatakan, pilihannya sudah tentu radio yang mampu menjangkau masyarakat pendengar secara luas. “Hampir kebanyakan radio yang kita plot-kan memang ada di lokasi rawan bencana, misalnya Radio Merapi Indah FM (104.9 MHz di Magelang), Radio CJDW FM (107 MHz di Boyolali), Radio Komunitas Lintas Merapi FM (107.90 MHz di Klaten), Radio Komunitas Kelud FM (88.4 MHz di Kediri) dan lainnya. Masyarakat yang ada di sekitar lereng Gunung Merapi apalagi konteksnya cerita ini adalah bagaimana pertempuran kesultanan setempat dalam konteks juga terjadi erupsi Gunung Merapi kala itu. Tentu masyarakat --- khususnya yang berada di kawasan pedesaan dan sekitar gunung berapi --- akan lebih mudah memahaminya,” urai Sutopo seraya menyebut bahwa Pulau Jawa memang paling banyak memiliki gunung berapi aktif, sehingga didalam peradabannya masyarakat Jawa tidak pernah lepas dari erupsi-erupsi seperti Gunung Merapi, Kelud, Galunggung dan lainnya.
Target yang BNPB ingin capai, ujarnya lagi, adalah masyarakat benar-benar paham tentang adanya rawan bencana. Dari pesan pendidikan kebencanaan dan informasi yang disampaikan melalui sandiwara radio dapat menjadi pengetahuan, untuk kemudian menjadi sikap dan perilaku, serta berujung menjadi budaya. Ini merupakan proses panjang dimana sosialisasi siaga bencana harus kita sampaikan kepada masyarakat sejak usia dini hingga lanjut usia secara terus-menerus.
.
Dari Siaga Bencana, Asmara, Heroisme Sampai Balas Budi
Sementara itu, S Tidjab selaku penulis naskah ‘Asmara di Tengah Bencana’ mengatakan, inti sandiwara radio ini sebenarnya adalah kisah asmara biasa saja, tapi peristiwanya persis berbarengan saat meletusnya Gunung Merapi. “Ini hanya waktunya saja yang bersamaan, tidak ada kaitan apa-apa antara keduanya. Sekali lagi, hanya percintaan yang gagal, kemudian Gunung Merapi meletus, dan mereka semua tercerai-berai. Selain asmara, ada juga pembelajaran moral bagi masyarakat yakni sikap kepahlawanan dan balas budi. Ini digambarkan melalui Jatmiko dan Blendung. Blendung menggambarkan sosok orang kecil, pernah menjadi orang jahat dan dari kalangan rakyat biasa, yang apabila memiliki kredibilitas baik pasti akan menuai kepercayaan dari orang banyak,” tuturnya.
Adapun soal pesan pendidikan siaga bencana, ujar pria berusia 79 tahun ini, nantinya akan dimasukkan pada bagian episode akhir. Kalau untuk episode-episode awal ini hanya menampilkan kisah asmara percintaannya saja terlebih dahulu. “Pada 30 episode pertama ini belum menyentuh soal siaga bencana, baru mengolah tentang kisah kasih asmaranya saja dulu. Nanti, pada 20 episode terakhir, informasi dan pesan siaga bencana baru akan disisipkan dalam sandiwara radio ini,” jelas Tidjab yang mengenakan topi baret.
Peristiwa roman bersejarah dalam sandiwara radio, katanya lagi, digambarkan dalam masa Kerajaan Mataram yang dipimpin Sultan Agung. “Menariknya, ini karena percintaan beda kelas sosial masyarakat. Yaitu antara Radenmas Jatmiko yang berasal dari kalangan ningrat dengan Setyaningsih yang merupakan putri dari salah seorang lurah atau dari kalangan masyarakat biasa. Kisah asmara berbeda kelas sosial masyarakat ini mendapat tentangan dari kedua belah pihak. Tetapi keduanya tetap melanjutkan kisah kasih asmaranya. Yang memisahkan asmara keduanya adalah bencana meletusnya Gunung Merapi ini. Selain erupsi Gunung Merapi, dalam sandiwara radio ini juga ada bencana wedhus gembel, tanah longsor dan banjir lahar panas,” urainya.
Sebenarnya, lanjut Tidjab, rancangan sandiwara radio ‘Asmara Di Tengah Bencana’ ini sengaja dibuat untuk kisah yang panjang. “Tapi, karena memang diminta hanya sebanyak 50 episode saja, maka disinilah saya mulai merasakan kesulitannya. Sulit, membagi seri demi seri. Jadi kita harus irit durasi, tidak bisa berlama-lama, harus cepat. Kesulitan lain, kalau ada ‘titipan pesanan informasi’ seperti memasukkan pendidikan kesiagaan bencana seperti yang digariskan BNPB ini. Kita harus merancang ceritanya sedemikian rupa disesuaikan dengan kewaspadaan bencana,” ujarnya kepada penulis dalam wawancara eksklusif sebelum acara.
Sejauh ini, Tidjab yakin, sandiwara radio masih efektif untuk menarik minat dengar masyarakat dan yang lebih penting lagi, efektif untuk menyampaikan informasi kebencanaan maupun pesan mitigasi bencana. “Saya kira, pesan pendidikan kesiap-siagaan bencana yang dimasukkan kedalam skenario sandiwara radio, masih efektif dampaknya di lapangan. Pada masa lalu, hal demikian tentu saja sangat efektif, apalagi disiarkan oleh sebanyak 400 hingga 500 radio secara serentak dan diudarakannya setiap hari pula. Sekarang, hal seperti ini sudah tergerus oleh pengaruh kehadiran siaran televisi,” ujarnya.