“Awalnya, PusPKPT melakukan social engineering dan sekaligus membidani lahirnya masukan dari warga masyarakat sekitar di Tambak Lorok bahwa mereka membutuhkan Balai Warga dan Perpustakaan. Masukan berharga ini kemudian diimplementasikan menjadi sebuah gagasan oleh rekan-rekan peneliti dari Puskim, dalam hal ini arsiteknya adalah Bapak Mahatma Sindu. Lahirlah konsep Bangunan Apung, dimana lantai satu dikhususkan untuk balai pertemuan warga, dan lantai dua difungsikan sebagai perpustakaan atau taman baca. Kenapa perpustakaan? Karena kami menemukan fakta bahwa sangat minim sekali edukasi literasi di kawasan Tambak Lorok ini,” jelas Nazib Faizal dari Pusjatan.
Setelah konsepnya rampung, para peneliti masih belum menemukan solusi bagaimana cara mendirikan bangunannya, terutama pada masalah pondasinya. Karena seperti diketahui, ujar Nazib, kondisi geografi alam di Semarang tercatat memiliki angka penurunan permukaan tanah yang cukup tinggi.
“Atas dasar itu, tim Balitbang Kementerian PUPR akhirnya sepakat untuk membuat pondasi bangunan dalam bentuk mengapung, yang artinya tidak usah menimbun apalagi memasang tiang pancang di perairan. Bangunan Apung ini akan mengapung, sekitar 400 meter dari bibir daratan tambak, dengan mengandalkan foam dari B-foam yang dilapisi beton sebagai pelindung sekaligus dek atau tapak bangunannya dengan ketebalan sekitar 7 hingga 8 cm. Begitu juga di sisi pinggir yang dilapisi beton tipis. Insya Allah, Bangunan Apung ini aman, tidak akan mudah rusak,” jelasnya.
“Seluruh teknologi yang dipergunakan pada Bangunan Apung ini mempergunakan teknologi inovasi Balitbang Kementerian PUPR. Misalnya, teknologi panel surya untuk memenuhi kebutuhan listrik, dimana panelnya akan dipasang di atap bangunan. Juga, teknologi filter air, dan septictank biority pada toiletnya. Boleh dibilang Bangunan Apung ini adalah smarthouse. Bahkan, untuk arah datangnya sinar matahari yang membantu pencahayaan, juga arah angin sudah diperhitungkan matang-matang oleh arsitektnya,” tutur Nazib bangga.
Struktur Bangunan Apung memang cukup sederhana namun memiliki nilai dan fungsi yang tidak bisa dipandang remeh-temeh. “Struktur bangunannya diawali dengan tapak bangunan yang dibentuk dari paduan teknologi beton dan foam dari B-foam. Ini dikenal dengan nama teknologi ‘fonton’ alias paduan foam dan beton. Lalu, mulailah dibuat rangka bangunannya menggunakan baja, karena bangunan ini harus kokoh mengingat terdapat dua lantai. Setelah rangka bajanya dibuat, struktur dindingnya menyusul kemudian, dan dibuat dari bambu yang sudah diawetkan. Jadi bukan sembarang bambu yang dipergunakan. Kemudian barulah atapnya yang menggunakan sirap, lengkap dengan pemasangan panel surya. Setelah atap selesai, barulah pemenuhan utilities lainnya,” urai Nazib seraya mengundang penulis secara khusus untuk bisa hadir ketika peresmian Bangunan Apung pada 6 September mendatang.
Apakah salinitas (tingkat keasinan atau kadar garam terlarut dalam air) dapat mengkhawatirkan struktur bangunan? “Yang namanya infrastruktur adalah seperti tubuh manusia. Kalau tidak kita rawat dan jaga, maka pasti kinerjanya akan menurun. Misalnya saja cat pada rangka baja yang mudah mengalami korosif akibat salinitas. Karena itulah bangunan ini harus dioperasikan dengan pemeliharaan yang rapi dan jelas agar terawat serta terus berguna,” jelasnya lagi seraya mengingatkan bahwa inilah wujud semangat ‘Hadirkan Solusi Seiring Inovasi’.
(Lihat video liputannya)
Fly Over Antapani, Bandung yang Berteknologi MCB