Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Hardiknas, Hani dan Sekolah Anak Berkebutuhan Khusus

2 Mei 2016   06:38 Diperbarui: 2 Mei 2016   08:15 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Para guru mendampingi siswa-siswi SKh Sahabat Kita di atas panggung perayaan Hari Kartini dan menyambut Hardiknas. || Foto: Gapey Sandy

“Adalah tugas kita semua untuk memastikan binar keingintahuan di mata setiap anak Indonesia, serta api semangat berkarya di dalam dirinya tidak akan padam. Adalah tugas kita memberikan ruang bagi anak-anak Indonesia untuk berkontribusi, memajukan dirinya, memajukan masyarakatnya, memajukan kebudayaan bangsanya. Rasa percaya dari orang dewasa kepada anak-anak untuk berkarya dan ikut membawa kebudayaan kita terus bergerak melangkah maju adalah kunci kemajuan negara.”

Paragraf di atas adalah penggalan pidato Mendikbud Anies Baswedan PhD, dalam rangka merayakan dan memeriahkan Hardiknas, 2 Mei 2016. Dalam bentuk file khusus, pidato ini diunggah situs Kemendikbud untuk kemudian jadi viral di media massa, khususnya online.

Tegaskan kembali apa yang disampaikan Mendikbud: “Adalah tugas kita memberikan ruang bagi anak-anak Indonesia untuk berkontribusi, memajukan dirinya, memajukan masyarakatnya, memajukan kebudayaan bangsanya.”

Dan diantara perwujudan pidato itu, mari kita melongok ke lapangan. Ke salah satu Sekolah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di perbatasan ibukota.

* * * * * * *

ok-0012-57268c6d177b6164131b93c6.jpg
ok-0012-57268c6d177b6164131b93c6.jpg
Hani, siswi kelas 2 SD di SKh Sahabat Kita, Pondok Aren, Tangsel. || Foto: Gapey Sandy.

Siang itu, Hani mengangkat pialanya tinggi-tinggi. Di atas panggung, siswi kelas 2 SD ini tersenyum sambil terus menatap ke depan. Bocah cilik berusia delapan tahun ini masih mengenakan busana adat Jawa Tengah. Anggun sekali! Siswi tunarungu di Sekolah Khusus (SKh) ‘Sahabat Kita’ ini nampak ceria, karena berhasil menjadi juara pertama Lomba Fashion Show, pada Selasa, 26 April 2016 kemarin.

Bersama teman-teman sekolah lainnya yang juga berkebutuhan khusus, Hani berfoto bersama. Mereka semua terlihat senang mendapat piala. Kecuali seorang siswa yang bertubuh paling besar, agak menunjukkan sikap agresif dan kekurangsukaannya berdiri di atas panggung. 

Ia adalah Jason yang mengalami autisme. Meski menerima piala juga, tapi Jason sempat menunjukkan sikap agresif lantaran memang sejak awal ia ingin jajan di kantin. Tapi lama kelamaan, Jason melunak sikapnya dan menjadi anak yang membanggakan.

Saya termasuk yang banyak-banyak menjepret momentum kebersamaan mereka. Ketika anak-anak berkebutuhan khusus ini berdiri di atas panggung, ada semburat kebanggaan. Ada keharuan di situ. Ceklik! Ceklik!

Alhamdulillah, meski sehari-hari dalam keterbatasan tapi semangat sekali mereka berkompetisi dalam lomba yang sengaja diselenggarakan untuk memperingati Hari Kartini 21 April, dan menyambut Hari Pendidikan Nasional (HARDIKNAS) 2 Mei ini,” bangga Mustopa S.Sos.I selaku Ketua Yayasan Daarul Hidayah selaku penyelenggara SKh ‘Sahabat Kita’.

ok-007-57268de2b27e615d0e92bdb7.jpg
ok-007-57268de2b27e615d0e92bdb7.jpg
 Hani ketika menjadi juara pertama Fashion Show yang diselenggarakan SKh Sahabat Kita. || Foto: Gapey Sandy.

SKh ‘Sahabat Kita’ berlokasi di Kelurahan Jurang Mangu Barat, Kecamatam Pondok Aren, Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Banten. Persisnya, kalau dari arah pusat perbelanjaan Lotte Mart Bintaro, ikuti saja jalan satu arahnya, melintasi jembatan, lalu masuk ke Jalan Cikini yang ada di sebelah kiri, lurus terus, dan akan ketemu Jalan Jurang Mangu Barat. Sekitar 500 meter dari mulut jalan ada SDIT Matahari di sisi kanan, maka di situ jualah SKh ‘Sahabat Kita’ berada.

“Sekolah ABK ini sudah tiga tahun berlangsung. Muridnya, sembilan orang dari lingkungan sekitar. Kebanyakan adalah penderita autisme, mood disorders, tunarungu, cerebral palsy atau kelumpuhan otak besar yang berakibat pada buruknya pengendalian/kekakuan otot, juga down syndrome yang merupakan kelainan genetik sehingga berakibat pada keterbelakangan fisik dan mental,” tutur Nunung Nuryanih (38), guru SKh ‘Sahabat Kita’.

Jumlah guru --- lebih tepat disebut sebagai relawan --- ada lima orang, termasuk Mansyur yang bertindak selaku Kepala SKh. Mengapa lebih tepat disebut relawan, karena memang mereka yang mendidik dan membina anak-anak berkebutuhan khusus ini lebih kepada semangat untuk berbagi dan berbuat untuk sesama. 

Nunung Nuryanih misalnya, ia lulusan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, angkatan tahun 2002. Perempuan kelahiran Tangsel, 30 Agustus 1978 ini tergerak untuk bergabung dengan SKh "Sahabat Kita" karena ada panggilan jiwa membantu sesama. Karena memang diakui, mereka yang bersekolah di SKh ‘Sahabat Kita’ adalah berasal dari kalangan masyarakat yang kurang mampu.

“Selain, karena selama kuliah dulu, saya sempat menimba ilmu tentang mereka yang berkebutuhan khusus. Teori dari kampus, saya praktikkan di sekolah khusus ini,” jelas Nunung.

ok-0010-57268d878e7e617f048b457f.jpg
ok-0010-57268d878e7e617f048b457f.jpg
Hani ketika menjadi juara pertama Fashion Show di SKh Sahabat Kita. || Foto : Gapey Sandy.

Berlatarbelakang relawan bukan berarti terlarang untuk memberi bimbingan dan pendampingan bagi siswa-siswi berkebutuhan khusus. Mereka tetap harus menguasai teknik dan kecakapan untuk mendidik. 

Sebagai contoh, untuk berkomunikasi dengan Hani yang tuna rungu misalnya, para relawan terus mengasah kemampuan untuk dapat menguasai bahasa isyarat.

“Kami tahu dasar-dasar bahasa isyarat, tapi memang diakui, belum sepenuhnya menguasai. Padahal bahasa isyarat ini penting karena ada murid yang tunarungu, Makanya, kita menggunakan body language juga untuk berkomunikasi dengan murid yang tunarungu,” kata Wati, juga salah seorang guru SKh ‘Sahabat Kita’.

Di sekolah, guru-guru SKh ‘Sahabat Kita’ menerapkan dua program: Class Programme dan Individual Programme. “Untuk program kelas biasanya lebih ditujukan kepada upaya membangun kemandirian mereka. Misalnya, mencuci piring bersama, memakai kaos kaki bersama, berwudhu bersama, sholat bersama dan sebagainya. Pokoknya mereka melakukan Activity Daily Living (ADL),” jelas Nunung.

Sedangkan Individual Programme, lanjut Nunung, sengaja dilaksanakan karena setiap anak punya kurikulumnya sendiri-sendiri. Status pada anak berkebutuhan khusus selalu berbeda-beda. Contohnya pada Hani yang tunarungu, ternyata ia memiliki nilai akademik yang bagus. Bila diberikan bacaan tertentu, ia paham untuk diperintahkan menyalinnya kembali. 

“Dalam hal berhitung, Hani juga bagus. Hitungan penjumlahan bagus, dan pengurangan pun juga bagus. Tapi, belum tentu program pendidikan yang kami berikan kepada Hani, bisa dicerna dan dilakukan oleh teman-teman Hani yang lain,” ujar Nunung.

ok-009-57268e5816937329048b456a.jpg
ok-009-57268e5816937329048b456a.jpg
Hadi, siswa SKh Sahabat Kita. Hadi juga menjadi relawan di Taman Baca Masyarakat Rumah Sahabat Kita di Pondok Aren, Tangsel. || Foto: Gapey Sandy.
ok-0011-57268eabb27e61650e92bdb9.jpg
ok-0011-57268eabb27e61650e92bdb9.jpg
Mustopa selaku Ketua Yayasan Daarul Hidayah bersama Hadi, siswa SKh Sahabat Kita. || Foto: Gapey Sandy.

Program individu benar-benar melatih dan mendidik anak berkebutuhan khusus secara personal. Jadi, benar-benar individual sekali programnya. Bisa jadi, untuk teman-teman Hani lainnya yang berkebutuhan khusus, pelajarannya adalah berbicara, atau menyebutkan kata. Sedangkan untuk Hani, justru akan kesulitan menyebutkan kata. “Meskipun untuk menunjuk benda-benda yang dimaksudkan dalam kata, seperti ‘bo- la’, ‘bu - ku’, ‘ba - ju’, Hani sudah bisa,” tukasnya.

Bagaimana pengalaman mendidik anak yang mengalami autis?

Nunung mengatakan, kadangkala sikap agresif anak-anak autis muncul karena mereka memiliki satu keinginan yang harus didapatkan. Perilaku agresifnya bermacam-macam. Tapi juga, kalau anak-anak autis ini sudah melakukan sesuatu tindakan yang baik, maka guru-guru harus lekas memberi ucapan apresiasi.

“Untuk kasus anak berkebutuhan khusus yang autis, kita tentu juga harus menanganinya dengan penuh ekstra sabar. Sebab, kadangkala mereka akan memperlihatkan perilaku panik, marah dan mengamuk. Tapi secara komunikasi, sebenarnya mereka mudah untuk mengerti. Misalnya, apabila kita mengatakan, “Tidak boleh”. Atau, “Jangan marah”. Maka mereka akan mengerti. 

Hanya saja, kalau anak-anak autis ini melakukan tindakan yang baik, maka kita tidak boleh terlambat untuk mengucapkan apresiasi: “Bagus sekali, anakku”, atau “Pintar sekali, anakku”. Jadi memang ada serba-serbi yang kemudian kita pahami karena setiap hari hal ini boleh dibilang dijumpai di sekolah,” ujar Nunung.

Anak autis, imbuh Nunung lagi, sikap agresifnya tinggi sekali. Kadangkala ia mencengkeram kerah leher belakang baju temannya. Atau, kadangkala ia mencubit dengan gemas. Sikap agresif seperti ini, biasanya ditunjukkan karena terpicu soal makanan atau minuman.

“Saya hafal kalau ada seorang murid yang autis dan agresif, biasanya ia akan terpicu melakukan hal itu karena ada keinginannya soal minuman, dalam hal ini minuman isotonik yang dibawa misalnya oleh seorang temannya. Sikap agresif ini akan terus dilakukan, sampai murid yang autis ini berhasil memperoleh minuman isotonik yang diinginkannya,” urai Nunung penuh sabar.

ok-003-57268f1d8e7e619d048b457f.jpg
ok-003-57268f1d8e7e619d048b457f.jpg
Nunung Nuryanih, salah seorang guru/relawan di SKh Sahabat Kita, Pondok Aren, Tangsel. || Foto: Gapey Sandy.
ok-006-57268f678e7e6193048b4585.jpg
ok-006-57268f678e7e6193048b4585.jpg
Nunung Nuryanih bersama Hani. || Foto: Gapey Sandy.

Beda lagi dengan pengalaman mendidik anak berkebutuhan khusus yang down syndrome. Menurut Nunung, anak-anak down syndrome justru memiliki sikap yang baik dalam hal bersosialisasi maupun berkegiatan sosial.

“Berkomunikasi dengan murid yang mengalami down syndrome harus memahami beberapa hal. Diantaranya, berdasarkan pemantauan kami, anak-anak ini lebih bagus dalam hal yang menyangkut kegiatan sosial. Sosialisasi mereka ini bagus. Adaptasi mereka cepat dan bagus. Spontanitas anak-anak yang down syndrome ini untuk menyapa orang lain, juga bagus. 

Hanya saja, artikulasi pengucapan bahasa lisan mereka banyak yang kurang jelas. Misalnya ketika dengan cepat mereka mengucapkan: “Mau – ke – kaka”. Artinya, mereka itu sebenarnya ingin mengucapkan “Mau ke sana”. Nah, kita yang sehari-hari bersama mereka, mampu memaknai apa yang mereka ingin sampaikan meski ucapan atau artikulasinya salah,” tuturnya.

Khusus untuk anak-anak dengan cerebral palsy, lanjut Nunung, aktivitasnya nyata terganggu. “Meski sekilas mereka seperti anak-anak dengan fisik yang normal, bisa mendengar, berbicara dan sebagainya, tapi gangguan gerakan fisik begitu nampak,” ujarnya. 

Ada lagi anak berkebutuhan khusus yang mengalami mood disorders. “Anak yang mood disorders ini hanya mau bicara atau berkomunikasi, hanya apabila ada mama atau ibundanya saja. Kalau sedang menjalankan program kelas, tentu otomatis sang ibundanya akan keluar kelas, nah anak yang mood disorders ini akan diam saja atau seperti ‘hilang suaranya’. Ia juga bertingkah seperti mudah cemas, mudah takut,” terang Nunung.

ok-008-57268f9c35977379082b760b.jpg
ok-008-57268f9c35977379082b760b.jpg
Hani, siswi SKh Sahabat Kita. || Foto: Gapey Sandy.

Khusus untuk berkomunikasi dengan siswi tunarungu seperti Hani, menurut Nunung, para guru selalu mengupayakan untuk melakukan kontak mata terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan agar Hani dapat memperhatikan dan ‘membaca’ gerak bibir lawan bicaranya.

“Kalau berkomunikasi dengan Hani, biasanya ia akan memperhatikan dengan seksama gerak bibir kita sebagai lawan bicaranya. Misalnya, kalau kita menyebut: “Hani – mau – makan?” Atau, “Hani - wudhu”. Maka, meski tidak mendengar, tapi Hani akan paham apa yang kita sampaikan, karena memang aktivitas ini sudah biasa dilaksanakan secara rutin sehari-hari. Tapi, kalau Hani posisinya agak jauh dan kita memanggilnya, maka ia akan sama sekali tidak merespon panggilan kita. Jadi memang harus ‘ditarik’ terlebih dahulu kontak mata dengan Hani,” terangnya. 

Meskipun diakui, untuk beberapa kata yang biasa dipergunakan sehari-hari, Hani dapat memahami gerak bibir lawan bicaranya. Misalnya, kata ‘Wudhu’, ‘Makan’ dan lainnya secara terbatas.

Meski tunarungu, Hani adalah siswi yang potensial. Ia pandai membaca, menyalin tulisan, juga berhitung. Hanya saja untuk pengucapan kata atas apa yang dibacanya, Hani jelas kesulitan. Tapi untuk menunjuk kepada gambar yang dimaksudkan atau diinginkan oleh lawan bicara, Hani cukup pandai. 

“Misalnya, kami meminta Hani untuk menunjuk aktivitas ‘orang berenang’, maka dengan tangkas Hani akan menunjukkan gambar yang benar. Contoh lain, Hani akan tepat menunjuk gambar ‘Bola’ dan ‘Meja’, sesuai kata yang diinstruksikan kepadanya,” ungkap Nunung.

ok-004-57268fd5177b6157131b93d7.jpg
ok-004-57268fd5177b6157131b93d7.jpg
Kartu Baca buatan sendiri. || Foto: Gapey Sandy.

Selain mengasah keterampilan Hani berbahasa isyarat (lebih tepatnya menggunakan bahasa tubuh atau body language), para guru di SKh ‘Sahabat Kita’ juga membuat kertas dengan tulisan kata-kata tertentu. Misalnya, kata ‘Mandi’, ‘Gigi’, ‘Pagi’, ‘Ini’, ‘Buku’ dan sebagainya. Nah, para guru berharap, Hani dapat terus menghafal tulisan kata pada kertas tersebut. Sehingga perlahan-lahan, Hani akan mengenali dan menghafal tulisan ‘Gigi’. “Hal ini akan memudahkan kita berkomunikasi dengan Hani, misalnya untuk menanyakan soal “Apakah Hani sudah menggosok gigi pada saat mandi pagi di rumah?” ujarnya.

Butuh Matras, Bola Bobath dan Kartu Baca

Sejauh ini, SKh ‘Sahabat Kita’ berharap anak-anak berkebutuhan khusus kelak dapat hidup mandiri tanpa harus bergantung kepada orang lain. “Ini sasaran kita. Mendidik mereka mandiri,” kata Nunung.

Hanya saja, untuk memenuhi harapan tesebut, jujur saja sekolah ini juga harus memenuhi berbagai piranti media pembelajaran. “Misalnya saja, kita butuh piranti yang berkaitan dengan auditori untuk melatih pendengaran. Atau, butuh juga piranti untuk melakukan aktivitas yang dinamakan Center of Integration, misalnya dengan menggunakan bola bobath atau bola besar yang umum dipergunakan untuk berlatih senam Yoga. Kita juga perlu matras agar anak-anak tidak terluka ketika beraktivitas yang berkaitan dengan masalah keseimbangan,” terangnya.

Kenapa butuh bola bobath dan matras? Untuk melatih keseimbangan motorik mereka. Karena, anak-anak yang berkebutuhan khusus ini umumnya memiliki keseimbangan yang kurang. 

Hal ini akan semakin terlihat manakala mereka berlari. Biasanya, ketika mereka sedang berlari, mereka tidak akan bertahan lama dan cenderung akan segera jatuh. Ini dikarenakan keseimbangan badan dan gerak kaki mereka memang tidak sesuai.

ok-002-57269024b27e61650e92bdbf.jpg
ok-002-57269024b27e61650e92bdbf.jpg
Hani nampak riang bermain. || Foto: Gapey Sandy.

Akan lebih baik pula kalau SKh juga memiliki ‘Kartu Baca’. Bentuknya seperti kartu, dengan gambar dan kata yang tertulis dibawah gambar. Misalnya, ada gambar buku, lalu ada tulisan kata ‘buku’ dibawahnya. 

Hal ini sangat perlu karena mereka akan lama sekali memahami, apabila pembelajaran membacanya dilakukan dengan mengeja ‘b – u = bu’ dan ‘k – u = ku’, untuk kemudian disambung menjadi ‘bu - ku’. Ini akan butuh pemahaman yang panjang. Makanya, mereka akan lebih memahami kalau melihat gambar buku, lengkap dengan kata ‘buku’ dibawahnya.

“Dengan menggunakan ‘Kartu Baca’ --- yang dibuat sendiri ---, sejauh ini Hani sudah memahami kata ‘Mama’, ‘Buku’ dan ‘Mau’. Hani semakin menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Ketika misalnya ia hendak mewarnai dengan pensil warna atau crayon, maka dengan sigap ia akan mengambil ‘Kartu Baca’ yang ada tulisan crayon

Hal yang sama diajarkan kepada Hani untuk menunjuk nama-nama temannya. Ini dilakukan dengan menuliskan nama-nama teman Hani satu per satu di ‘Kartu Baca’ tersebut,” jelas Nunung.

Harapan kedepan, SKh ‘Sahabat Kita’ dapat semakin melengkapi piranti atau media pembelajarannya. Semoga banyak juga pihak-pihak yang tergerak untuk membantu pengadaan media pembelajaran yang sudah disebutkan. 

Semua demi kelancaran pembelajaran ABK agar mereka dapat tetap tersenyum, semangat belajar, mandiri dan meraih masa depan yang gemilang.

Mereka perlu Kartu Baca, Bola Bobath, dan Matras. Siapa nih yang hendak ikhlas membantu? Mungkin, ada bantuan langsung dari Kemdikbud? Halo, Pak Anies Baswedan ...

SELAMAT HARDIKNAS 2016.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun