“Alhamdulillah, meski sehari-hari dalam keterbatasan tapi semangat sekali mereka berkompetisi dalam lomba yang sengaja diselenggarakan untuk memperingati Hari Kartini 21 April, dan menyambut Hari Pendidikan Nasional (HARDIKNAS) 2 Mei ini,” bangga Mustopa S.Sos.I selaku Ketua Yayasan Daarul Hidayah selaku penyelenggara SKh ‘Sahabat Kita’.
SKh ‘Sahabat Kita’ berlokasi di Kelurahan Jurang Mangu Barat, Kecamatam Pondok Aren, Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Banten. Persisnya, kalau dari arah pusat perbelanjaan Lotte Mart Bintaro, ikuti saja jalan satu arahnya, melintasi jembatan, lalu masuk ke Jalan Cikini yang ada di sebelah kiri, lurus terus, dan akan ketemu Jalan Jurang Mangu Barat. Sekitar 500 meter dari mulut jalan ada SDIT Matahari di sisi kanan, maka di situ jualah SKh ‘Sahabat Kita’ berada.
“Sekolah ABK ini sudah tiga tahun berlangsung. Muridnya, sembilan orang dari lingkungan sekitar. Kebanyakan adalah penderita autisme, mood disorders, tunarungu, cerebral palsy atau kelumpuhan otak besar yang berakibat pada buruknya pengendalian/kekakuan otot, juga down syndrome yang merupakan kelainan genetik sehingga berakibat pada keterbelakangan fisik dan mental,” tutur Nunung Nuryanih (38), guru SKh ‘Sahabat Kita’.
Jumlah guru --- lebih tepat disebut sebagai relawan --- ada lima orang, termasuk Mansyur yang bertindak selaku Kepala SKh. Mengapa lebih tepat disebut relawan, karena memang mereka yang mendidik dan membina anak-anak berkebutuhan khusus ini lebih kepada semangat untuk berbagi dan berbuat untuk sesama.
Nunung Nuryanih misalnya, ia lulusan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, angkatan tahun 2002. Perempuan kelahiran Tangsel, 30 Agustus 1978 ini tergerak untuk bergabung dengan SKh "Sahabat Kita" karena ada panggilan jiwa membantu sesama. Karena memang diakui, mereka yang bersekolah di SKh ‘Sahabat Kita’ adalah berasal dari kalangan masyarakat yang kurang mampu.
“Selain, karena selama kuliah dulu, saya sempat menimba ilmu tentang mereka yang berkebutuhan khusus. Teori dari kampus, saya praktikkan di sekolah khusus ini,” jelas Nunung.
Berlatarbelakang relawan bukan berarti terlarang untuk memberi bimbingan dan pendampingan bagi siswa-siswi berkebutuhan khusus. Mereka tetap harus menguasai teknik dan kecakapan untuk mendidik.
Sebagai contoh, untuk berkomunikasi dengan Hani yang tuna rungu misalnya, para relawan terus mengasah kemampuan untuk dapat menguasai bahasa isyarat.
“Kami tahu dasar-dasar bahasa isyarat, tapi memang diakui, belum sepenuhnya menguasai. Padahal bahasa isyarat ini penting karena ada murid yang tunarungu, Makanya, kita menggunakan body language juga untuk berkomunikasi dengan murid yang tunarungu,” kata Wati, juga salah seorang guru SKh ‘Sahabat Kita’.