Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama FEATURED

Najwa Shihab Kurang Greget Wawancarai Gibran "Biasa Aja"

26 Februari 2016   19:03 Diperbarui: 10 Agustus 2017   20:55 14447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Tayangan Metro TV program Mata Najwa episode Cerita Anak Jokowi, 24 Februari 2016. || Foto: Gapey Sandy)

Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo sepertinya layak memperoleh julukan Gibran ‘Biasa Aja’. Karena, luncuran jawaban yang diajukan Najwa Shihab banyak yang dijawab dengan ‘Biasa aja’. Inilah sejumlah kutipan pada tayangan Mata Najwa episode ‘ Cerita Anak Jokowi’ yang disiarkan Rabu, 24 Februari kemarin.

JADI ANAK PRESIDEN? BIASA SAJA.

Najwa Shihab: Sama sekali tidak ada hal yang dirasa istimewa jadi anak orang nomor satu di negeri ini?

Gibran: Biasa aja sih. Kalau masalah Paspampres dan segala macem, itu kan sudah protokol ya. Tapi lebih dari itu, biasa aja sih menurut saya.

(Tayangan Metro TV program Mata Najwa episode Cerita Anak Jokowi, 24 Februari 2016. || Foto: Gapey Sandy)
(Tayangan Metro TV program Mata Najwa episode Cerita Anak Jokowi, 24 Februari 2016. || Foto: Gapey Sandy)
RESIKO MENJADI ORANG TERKENAL? BIASA SAJA

Resiko, kekhawatiran, dikenal orang, mungkin ada yang tidak suka dan sebagainya, itu tidak pernah dijadikan bahan pertimbangan?

Biasa aja sih. Santai aja. Saya jalan kemana, makan di warung kaki lima, biasa aja.

Sudah banyak yang mengenali belum sih?

Ya itu pasti.

Oh, ini anaknya Pak Jokowi, sudah banyak yang mengenali?

Ya.

Rata-rata mereka reaksi mereka apa?

Ya biasa aja sih. Paling minta foto segala macem, salaman. Tadi barusan (ada) minta selfie.

Kok semuanya biasa?

Ya.

Harus ada yang luar biasa dong?

Apa yang luar biasa? Minta foto. Tadi barusan (ada yang) minta selfie.

Siapa yang minta selfie? Oh, yang duduk di sampingnya?

Ya.

Cepet banget ya … hahahahaaaa … (Najwa terbahak).

(Gibran cuma mesam-mesem ‘dingin’).

BANYAK ORANG BERUBAH SIKAP? BIASA SAJA

Najwa Shihab: Mas Gibran, orang-orang yang selama ini kenal Mas Gibran, ada yang berubah tidak, setelah sekarang, atau ada yang menjadi sungkan, lebih risih?

Gibran: Biasa aja sih.

Biasa?

Biasa. Biasa aja.

Biasa. Ini jangan-jangan sampai selesai Mata Najwa apapun yang saya tanya, jawabannya biasa aja?

Ya karena memang biasa aja. (Gibran mesam-mesem lagi)

Betul-betul biasa ya?

Bener. Bener. Biasa aja.

(Tayangan Metro TV program Mata Najwa episode Cerita Anak Jokowi, 24 Februari 2016. || Foto: Gapey Sandy)
(Tayangan Metro TV program Mata Najwa episode Cerita Anak Jokowi, 24 Februari 2016. || Foto: Gapey Sandy)
BANYAK DIKOMENTARI MIRING? BIASA SAJA

Najwa Shihab: Penampilan (pertama di depan media bersama Pak Jokowi) itu kemudian langsung dikomentari macem-macem Mas Gibran …

Gibran: Ya baguslah.

Bagus?

(Gibran cuma manggut-manggut sambil mesem).

Ada yang menilai, kok anak pertama Pak Jokowi kayaknya sombong ya, kok kayaknya sepa ya, inget enggak waktu itu sempat ada penilaian-penilaian itu?

Ya enggak apa-apa.

Enggak terganggu dengan penilaian-penilaian seperti itu?

Biasa aja.

Biasa aja … hahahahaaaa

***

Penampilan putra sulung Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana Joko Widodo di talkshowMata Najwa itu memang terbilang unik dan cenderung nyeleneh.

Gaya Gibran yang khas dan ‘dingin’ dalam menjawab pertanyaan Najwa Shihab menjadikan talkshow ini sedap dan enak ditonton. Mungkin, sama lezatnya seperti ‘Markobar’, merek Martabak aneka rasa yang dijajakan Gibran dan berpusat di Solo, Jawa Tengah.

Kenapa gaya narasumber yang ‘dingin’ dan pelit ngomong seperti Gibran, malah menjadikan talkshow Mata Najwa enak ditonton? Jawabannya sederhana: Karena Najwa Shihab sudah mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik.

Persiapan itu mulai dari melakukan riset indoor, outdoor (bahkan mendatangi dan nongkrong bareng di Markobar), dan menyiapkan banyak pertanyaan serta beberapa ‘kejutan’ selama talkshow berlangsung.

(Tayangan Metro TV program Mata Najwa episode Cerita Anak Jokowi, 24 Februari 2016. || Foto: Gapey Sandy)
(Tayangan Metro TV program Mata Najwa episode Cerita Anak Jokowi, 24 Februari 2016. || Foto: Gapey Sandy)
Tapi, jangan pikir enggak ada yang kurang dari Mata Najawa edisi kali ini.

Yuk, mari kita bahas satu per satu.

Pertama, riset. Untuk membuat sebuah tayangan dalam pemberitaan maupuntalkshow adalah penting. Seorang sahabat saya, Riris Marpaung yang pernah bekerja pada bidang Pustaka dan Dokumentasi di salah satu televisi swata mengatakan, kompetisi dan perang pemberitaan tidak saja berawal dari praktik jurnalistik atau reportase di lapangan, tapi justru dari bilik dapur riset, pustaka dan dokumentasi. Artinya, menurut salah satu Perempuan Inspiratif NOVA 2015 ini, semakin lengkap fakta dan data riset dilakukan, maka keberhasilan untuk memenangkan kompetisi antar tayangan media pemberitaan menjadi semakin berpeluang.

Najwa Shihab bersama tim tak hanya riset mencari berbagai sumber dan referensi terkait anak-anak Jokowi. Mereka juga rame-rame mengunjungi langsung ke resto Martabak Markobar yang semakin tersohor. Alih-alih melihat bagaimana dan apa rasa Markobar, sebenarnya Najwa sedang mendalami bagaimana sifat dan sikap anak-anak Jokowi, seandainya berada di atas panggung Mata Najwa.

Mengapa hal ini sampai harus dipikirkan? Ya, karena mereka anak Presiden. Sekaligus, sudah memiliki trade mark bahwa Gibran, khususnya, sangat pelit ngomong. Bahkan, terkesan sombong. Wajar, kalau Najwa Shihab mengambil jalan terbaik, melakukan riset lapangan, menemui bakal calon narasumber ‘spesial’-nya ini.

Bolehlah dibilang, riset yang sampai Najwa Shihab ini turun sendiri ke lapangan menemui narasumbernya sebelum on air di Mata Najwa, sebagai lagak SKSD alias Sok Kenal Sok Dekat terlebih dahulu. Tapi, jangan pikir bahwa hal ini adalahtotally buruk. Ada sisi positifnya ‘kok. Apa itu? Sikap kehati-hatian Najwa Shihab dan tim Mata Najwa, dalam menampilkan atau menghadirkan anak-anak Presiden Joko Widodo sebagai narasumber talkshow.

(KIRI: Kaesang. KANAN: Gibran. Tayangan Metro TV program Mata Najwa episode Cerita Anak Jokowi, 24 Februari 2016. || Foto: Gapey Sandy)
(KIRI: Kaesang. KANAN: Gibran. Tayangan Metro TV program Mata Najwa episode Cerita Anak Jokowi, 24 Februari 2016. || Foto: Gapey Sandy)
Lantas apa sisi buruknya dengan Najwa Shihab terlebih dahulu melakukan pertemuan dengan dua anak Presiden Jokowi ini sebelum on air?

Nah, ini dia. Dialog, wawancara, diskusi, atautalkshow di televisi (dan radio), yang terbaik adalah menyajikan spontanitas. Misalnya, tidak boleh ada aturan bahwa daftar pertanyaan diberitahukan lebih dahulu kepada narasumber, atau tidak boleh ada larangan bertanya masalah tertentu saja alias bebas bertanya (tapi tetap sopan).

Selain itu, spontanitas juga menandakan bahwa antara pewawancara dan narasumber tampil secara natural, tidak ewuh pakewuh, malah akan lebih bagus kalau bisa tampil layaknya seperti ‘teman yang sudah lama tak berjumpa’. Ada kehangatan, ada pendalaman materi, ada pertanyaan nakal, ada sedikit interogasi (tidak boleh mencolok), ada humor, tetapi semuanya harus terstruktur dan memiliki alur pembicaraan yang jelas.

Ketika Najwa Shihab menghadapi Gibran, yang ada justru tidak seperti idealnyatalkshow. Najwa kurang mampu mengendalikan narasumbernya yang pelit ngomong ini. Sehingga akhirnya, apa yang ditampilkan Najwa terkesan interogasi dan proses wawancaranya lebih banyak dibumbui segmen-segmen yang sudah disiapkan oleh tim Mata Najwa, semisal penampilan JKT 48, menayangkan dokumentasi media sosial, menampilkan dokumentasi video, mengundang penampilan Ernest Prakasa untuk menjahili Gibran dan Kaesang, sampai adegan menelepon Presiden Joko Widodo.

Jujur, semua segmen yang ditayangkan Mata Najwa itu sah-sah saja adanya. Tapi, maaf, justru semua itu mengurangi sejatinya nilai sebuah talkshow, dimana episode ‘Cerita Anak Jokowi’ itu justru‘less talk’ dan‘more show’ saja.

Kalaupun hendak dianggap bahwa pertemuan Najwa Shihab dan tim Mata Najwa dengan utamanya Gibran di Markobar, Solo, sebagai sebuah upaya mengurangi kegugupan, ‘ice breaking’, saya pikir ini enggak tepat juga. Karena ‘ice breaking’-nya saya pikir terlalu berlebihan. Sehingga bukan saja ‘es yang mencair’, tapi hubungan kedekatan antara pewawancara dan narasumber menjadi semakin terbangun. Hasilnya? Najwa Shihab jadi seakan sungkan mengajukan pertanyaan kritis, nakal, dan menohok seperti biasanya.

(Tayangan Metro TV program Mata Najwa episode Cerita Anak Jokowi, 24 Februari 2016. || Foto: Gapey Sandy)
(Tayangan Metro TV program Mata Najwa episode Cerita Anak Jokowi, 24 Februari 2016. || Foto: Gapey Sandy)
(Tayangan Metro TV program Mata Najwa episode Cerita Anak Jokowi, 24 Februari 2016. || Foto: Gapey Sandy)
(Tayangan Metro TV program Mata Najwa episode Cerita Anak Jokowi, 24 Februari 2016. || Foto: Gapey Sandy)
(Tayangan Metro TV program Mata Najwa episode Cerita Anak Jokowi, 24 Februari 2016. || Foto: Gapey Sandy)
(Tayangan Metro TV program Mata Najwa episode Cerita Anak Jokowi, 24 Februari 2016. || Foto: Gapey Sandy)
Kedua, menyadari bahwa yang akan duduk di kursi Mata Najwa adalah narasumber dengan tipikal pelit ngomong, Najwa Shihab melakukan berbagai upaya demi ‘mengatasinya’. Paling tidak, agar jangan sampai terulang, kejadian ketika Najwa Shihab keok ‘melawan’ narasumbernya yang waktu itu adalah Menteri Perhubungan, Ignasius Jonan. Bahkan tidak hanya cukup pelit berbicara, Menhub kala itu, beberapa kali melakukan pertanyaan balik yang membuat Najwa Shihab nampak gelagapan. Baca disini.

Upaya yang dilakukan Najwa Shihab menghadapi Gibran, khususnya, sudah tepat. Pewawancara yang disebut-sebut memiliki mata indah ini (jauh-jauh hari) sudah menyiapkan banyak daftar pertanyaan. Memang, tidak semua ditanyakan. Tapi saya percaya, Najwa pasti sudah menyiapkan ‘amunisi’ pertanyaan yang cukup guna menghadapi narasumber sesulit Gibran.

Dalam buku yang saya pernah saya tulis ‘Terampil Wawancara | Panduan untuk Talkshow(Grasindo, 2001), ada bab yang khusus menurunkan tulisan tentang narasumber talkshow. Diantaranya, narasumber yang pelit ngomong. (hal. 121)

Bagaimana mengatasi narasumber yang demikian? Singkat saja jawaban saya: Tergantung dari bagaimana pertanyaan yang diajukan ke narasumber.

Narasumber yang pelit ngomong memang sulit diterka, karena pelit ngomong itu sendiri bisa disebabkan berbagai alasan. Misalnya, yang sudah umum adalah karena narasumber menyembunyikan sesuatu, misalnya rahasia atau kegagalan, atau karena kehati-hatiannya yang berlebihan, sehingga narasumber cenderung ogah-ogahan dalam menjawab pertanyaan.

Narasumber pelit atau tidak pelit ngomong itu tergantung dari pertanyaan kita. Kalau pertanyaan kita merupakan statement (biasanya diajukan pewawancara tanpa disadari), tentu narasumber bisa pelit ngomong.

Misalnya, pertanyaan yang bagaimana?

Ya, seperti yang diajukan Najwa Shihab ke Gibran. Baca saja dua pertanyaan ini. Keduanya hanya mengandung jawaban ‘Ya’ atau ‘Tidak’. Ini buktinya:

NAJWA SHIHAB: Ada yang menilai, kok anak pertama Pak Jokowi kayaknya sombong ya, kok kayaknya sepa ya, inget enggak waktu itu sempat ada penilaian-penilaian itu?

GIBRAN:Ya enggak apa-apa.

NAJWA SHIHAB: Enggak terganggu dengan penilaian-penilaian seperti itu?

GIBRAN: Biasa aja.

Mendapat dua pertanyaan seperti ini, Gibran yang aslinya memang sedikit berbicara, jelas akan sangat suka! Maka yang meluncur ya hanya jawaban‘Enggak apa-apa’. Dan, jawaban ‘Biasa aja’. Menghadapi narasumber seperti Gibran ‘Biasa Aja’, ya disinilah, kesalahan fatal Najwa Shihab.

(Tayangan Metro TV program Mata Najwa episode Cerita Anak Jokowi, 24 Februari 2016. || Foto: Gapey Sandy)
(Tayangan Metro TV program Mata Najwa episode Cerita Anak Jokowi, 24 Februari 2016. || Foto: Gapey Sandy)
(Tayangan Metro TV program Mata Najwa episode Cerita Anak Jokowi, 24 Februari 2016. || Foto: Gapey Sandy)
(Tayangan Metro TV program Mata Najwa episode Cerita Anak Jokowi, 24 Februari 2016. || Foto: Gapey Sandy)
(Tayangan Metro TV program Mata Najwa episode Cerita Anak Jokowi, 24 Februari 2016. || Foto: Gapey Sandy)
(Tayangan Metro TV program Mata Najwa episode Cerita Anak Jokowi, 24 Februari 2016. || Foto: Gapey Sandy)
Seharusnya, pertanyaan yang diajukan bisa membuat narasumber ‘buka mulut’.

Contoh:

Wajah Mas Gibran di tayangan bersama Pak Jokowi tadi, seolah mukanya masam dan tidak suka dengan awak media. Mengapa?

Bagaimana Mas Gibran menjawab anggapan orang yang menyebut-nyebut bahwa putra sulung Presiden Jokowi ini lagaknya seperti orang sombong?

Sudah banyak pandangan dan komentar orang yang bunyinya negatif terhadap Mas Gibran. Komentar seperti apa misalnya, yang membuat Mas Gibran emosi?

Bagaimana membuat pertanyaan yang baik sehingga narasumber tidak pelit ngomong? Pertanyaan yang disampaikan ‘harus mengundang jawaban’ (Theo Stokkink, 1997). Apabila masih belum memperoleh jawaban yang diinginkan, sampaikan pertanyaan kembali, tapi dengan menggunakan bahasa yang berbeda. (JB Wahyudi, 1996). Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada narasumber merupakan pertanyaan-pertanyaan yang memancing jawaban dari mereka, dimana jawaban ini merupakan informasi yang benar-benar diperlukan dan diinginkan khalayak.

Ketiga, karena sudah “mengenal” narasumbernya, lantaran sempat menemui Gibran langsung ke Solo, sebelum on airMata Najwa, sebenarnya hal ini membuat Nana---sapaan akrab Najwa Shihab---menjadi lebih rileks ketika mewawancarai. Gibran yang pelit ngomong dan terkesan songong, sudah dipahami karakternya oleh Nana. Tinggal pada saat on air-nya nanti, bagaimana Nana “memanfaatkan” pengetahuan dan “kedekatan”-nya itu.

Tapi ya, justru disitu masalahnya. Najwa Shihab menjadi terlihat kelewat “merendahkan” Gibran, mungkin karena mengasumsikannya sebagai ‘anak muda’ yang kebetulan menjadi anak dari seorang Presiden. ‘Merendahkan’ bukan dalam arti menghina atau dalam sudut pandang sempit lainnya. Ini terlihat dari keseringannya Najwa Shihab menopang dagu ketika bertanya. Dalam banyak buku gesture atau bahasa tubuh, ekspresi yang ditampakkan Najwa Shihab seperti itu menandakan ia boring (bosan) dalam sebuah percakapan, dan ya itu tadi, menganggap “remeh” narasumbernya.

Lho, kenapa asumsinya sampai kepada Najwa Shihab seakan “meremehkan” narasumbernya?

Satu, lihat ketika Najwa Shihab seolah menertawakan jawaban Gibran yang selalu saja menjawab: “Biasa aja”. Sebagai pewawancara, Najwa Shihab bahkan mengatakan:Biasa. Ini jangan-jangan sampai selesai Mata Najwa apapun yang saya tanya, jawabannya biasa aja?

Dua, ketika beberapa kali mendengar jawaban Gibran yang hanya bilang “Biasa aja”, Najwa tertawa terbahak-bahak, ketika putra sulung Presiden Jokowi itu menjawab dengan dua kata yang sama, tentang apakah Gibran terganggu dengan penilaian-penilaian miring terhadap dirinya.

Tiga, nada pertanyaan Najwa Shihab yang seolah tengah bertanya kepada anak kecil, dengan rincian kalimat, yang sebenarnya bisa diringkas dan lebih elegan. Yaitu, pada pertanyaan Najwa Shihab, berikut ini:

Mas Gibran kalau jadi anak Presiden, itu mau bisnis apapun seharusnya gampang. Mau bikin pabrik, mau minta tambang, mau apapun. Tapi Mas Gibran lebih memilih membuka usaha sendiri, dimulai dari awal dan memilih bisnis makanan. Apa alasannya?

Didalam pertanyaan Najwa Shihab ada kalimat,“Mau bikin pabrik. Mau minta Tambang. Mau apapun”. Hanya Najwa Shihab sendiri yang kiranya tahu, kenapa ia menjelaskan sendiri rincian pertanyaan yang diajukannya. Padahal, tanpa harus menguraikan contoh fasilitas bisnis sebagai anak Presiden itu, pemirsa juga sudah memahaminya.

Simak sendiri, seandainya contoh penjelasan dari pertanyaan itu dihilangkan:

Mas Gibran kalau jadi anak Presiden, itu mau bisnis apapun seharusnya gampang. Tapi Mas Gibran lebih memilih membuka usaha sendiri, dimulai dari awal dan memilih bisnis makanan. Apa alasannya?

Atau:

Sebagai anak Presiden, Mas Gibran lebih memilih membuka usaha sendiri tanpa fasilitas sana-sini, dimulai dari awal dan memilih bisnis makanan. Apa alasannya?

Kalau pemirsa menyaksikan bagaimana ketika Najwa Shihab menanyakan hal tersebut kepada Gibran, silakan tonton disini, maka yang bisa dilihat adalah gesture Najwa Shihab yang menyangga dagunya di tangan.

(Tayangan Metro TV program Mata Najwa episode Cerita Anak Jokowi, 24 Februari 2016. || Foto: Gapey Sandy)
(Tayangan Metro TV program Mata Najwa episode Cerita Anak Jokowi, 24 Februari 2016. || Foto: Gapey Sandy)
(Tayangan Metro TV program Mata Najwa episode Cerita Anak Jokowi, 24 Februari 2016. || Foto: Gapey Sandy)
(Tayangan Metro TV program Mata Najwa episode Cerita Anak Jokowi, 24 Februari 2016. || Foto: Gapey Sandy)
Entahlah, apakah itu sekali lagi pertanda Najwa Shihab sedang bosan dengan narasumbernya? Bosan karena sulit mengembangkan talkshow yang “trengginas, menekan dan menyerang” narasumber seperti biasanya? Atau, karena “meremehkan” narasumber yang hanya sekaliber Gibran?

Yang jelas, menurut Zaka Putra Ramdani SIKom dalam bukunya ‘Gesture | Mengungkap Makna Dibalik Bahasa Tubuh Orang Lain Dari Mikroekspresi Hingga Makroekspresi’, gerakan meletakkan tangan di dagu merupakan ungkapan perasaan bosan. Bisa jadi karena terlalu lama menyimak atau mendengarkan sehingga merasa tidak tertarik lagi dengan pembicaraan yang sedang dihadapi. (hal. 62)

Dalam talkshow, menempatkan posisi diri ‘sejajar’ dengan narasumber, tanpa ewuh pakewuh apalagi “meremehkan” adalah posisi ideal bagi pewawancara. Selain itu, tidak usah terlalu berlebihan melakukan “ice breaking”, apalagi sampai khusus menjalani perlawatan atau kunjungan pendekatan menjelang hari ‘H’ pelaksanaantalkshow sesuai jadwal yang diagendakan. Akibat buruknya, ya seperti episode‘Cerita Anak Jokowi’ ini. Kurang ada gregetnya, kecuali sekadar menampilkan‘show’ kepolosan anak-anak Presiden yang lurus-lurus saja jalan hidupnya, tanpa ada‘talk’Mata Najwa yang biasanya gahar.

Minimal, Najwa Shihab dan Mata Najwa seolah telah kehilangan obyektivitasnya pada episode kali ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun