Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama FEATURED

Liviana dan Hari Pers Nasional 2016

9 Februari 2016   12:57 Diperbarui: 9 Februari 2017   10:50 13100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Liviana Cherlisa ketika menjadi pemandu dialog secara off air. (Foto: Gapey Sandy)

“Insan Pers atau kita, berusaha untuk menggali fakta-fakta yang ada. Kita juga tidak berusaha untuk meng-create atau membentuk opini secara asal-asalan. Justru yang kita sajikan adalah rentetan seperti ini, mulai dari JSC yang menjadi saksi spesial, lalu rumah JSC yang digeledah, kemudian JSC dianggap sebagai saksi kunci, lalu kita meramu pendapat dari pihak-pihak yang terkait, lalu kita tambahkan lagi dari saksi-saksi ahli yang dipanggil pihak berwajib. Nah, dari sekian banyak saksi, hanya JSC yang didampingi psikiater ahli untuk menjalani pemeriksaan. Lalu tidak lama kemudian, rumah JSC digeledah, dan diteruskan dengan pembantunya yang menjadi saksi kunci karena ternyata ada ketidakcocokan antara alibi celana JSC yang robek, dengan keterangan pembantu JSC yang mengaku disuruh buang celana tersebut. Nah, sebetulnya fakta-fakta ini yang kita deliver ke publik, tapi secara enggak langsung akhirnya membentuk opini,” papar empunya darah Maluku Utara dari sang ayahanda ini.

Menurut Livi lagi, karena men-deliver fakta-fakta yang ada di lapangan dan kemudian secara tidak langsung membentuk opini publik, maka imbasnya kembali kepada insan Pers itu sendiri. “Kita harus pintar-pintar meramu kata, memilih kalimat, dan men-deliver faktanya juga harus dengan cara yang tepat. Sehingga akhirnya, apa yang dilakukan media massa menjadi bagus, karena pada akhirnya benar-benar pihak kepolisian menetapkan JSC sebagai tersangka. Coba kalau akhirnya JSC enggak ditetapkan sebagai tersangka, maka media massa memiliki tanggung-jawab terhadap yang bersangkutan,” tegas Livi yang punya hobi diving dan snorkeling.

Liviana Cherlisa (kiri) ketika memandu talkshow di Kantor Pusat JNE, Jakarta. (Foto: Gapey Sandy)
Liviana Cherlisa (kiri) ketika memandu talkshow di Kantor Pusat JNE, Jakarta. (Foto: Gapey Sandy)
Dengan terbentuknya opini publik terhadap suatu kasus, karena suguhan informasi dan fakta-fakta di lapangan yang disajikan oleh Pers, kata Livi, bukan merupakan dosa media. “Media mengarahkan pembentukan opini? Aku rasa itu bukan dosa besar. Yang namanya media itu, memang dia punya tugas untuk menginformasikan segala sesuatu. Dengan informasi yang dihadirkan, kalau kemudian masyarakat menelan mentah-mentah maka otomatis itu akan membentuk opini seseorang. Tapi, itu justru tidak berlaku bagi masyarakat yang bisa mengkritisi media. Jadi sebetulnya, pembentukan opini publik oleh media massa, kalau dianggap sebagai suatu kesalahan atau dosa besar media massa, buat aku enggak juga begitu. Semua itu tergantung bagaimana masyarakat menerimanya,” ujar Livi.

Tapi, Livi tidak menampik bahwa setiap media massa punya agenda masing-masing terkait penelusuran suatu kasus. “Agenda yang tersembunyi oleh media massa, menurut aku, bukan harus menyebutnya sebagai sesuatu yang halal atau haram. Kita ambil contoh misalnya, kasus yang sempat ramai belum lama ini, tentang layanan aplikasi GoJek dengan Kementerian Perhubungan. Waktu itu, GoJek sempat dilarang beroperasi sama sekali oleh Departemen Perhubungan. Tapi kemudian, media massa tidak langsung menelan mentah-mentah kebijakan pelarangan tersebut. Meskipun pelarangan GoJek dari sisi Departemen Perhubungan ini tetap kita angkat dengan alasan pelanggaran undang-undang dan peraturan segala macam, tapi kita juga mengkritisi bahwa Pemerintah belum bisa menghadirkan tranportasi publik yang nyaman, aman dan betul-betul dibutuhkan publik sebagai alternatif transportasi yang sudah sekarang,” urai Livi yang pada usia 19 tahun sudah menjajal kontes Miss Indonesia 2009.

Media Sosial, Tantangan Terbesar Jurnalis

Buat Livi, salah satu tantangan sulit yang dihadapi insan Pers adalah kecenderungan untuk bersikap tidak netral karena pengaruh kuat dari sang pemilik modal media massa. “Kita sebagai anak buah, enggak akan bisa ngapa-ngapain. Tapi, tidak semua seperti itu. Mungkin ada yang menggunakan hal-hal seperti itu, tapi saya rasa pun pasti yang digunakan adalah bukan media yang besar, karena terlalu sayang kalau kita punya media yang besar tetapi dipergunakan untuk kepentingan golongan tertentu. Kecuali, memang itu merupakan agenda besar dari sang pemilik atau pemegang saham,” tuturnya.

Menghadapi dominasi pemodal media massa yang memanfaatkan medianya demi kepentingan agenda-agenda khusus pemiliknya, ungkap Livi, membuat banyak dari teman-teman sesama jurnalis yang merasa jengah sehingga terpaksa mengundurkan diri lalu pindah ke media lain yang netral atau lebih netral. “Tetapi tidak sedikit juga yang memilih untuk bertahan,” ujarnya.

Jurnalis Kompas TV, Liviana Cherlisa Latief. (Foto: Profile Picture WhatsApp Liviana Cherlisa)
Jurnalis Kompas TV, Liviana Cherlisa Latief. (Foto: Profile Picture WhatsApp Liviana Cherlisa)
Selain dominasi pemodal yang membuat medianya menjadi tidak netral, menurut Livi, tantangan insan Pers berikutnya adalah peran media sosial yang sangat besar. “Tantangan terbesar bagi jurnalis masa kini adalah media sosial yang semakin punya peran. Karena, sekarang ini masyarakat sudah seperti kayak wartawan. Jadi, kita yang merupakan wartawan beneran harus bisa lebih netral, juga melakukancheck and balance yang semakin detil dan lebih ketat. Kenapa? Karena, masyarakat bisa menelan apapun yang dimuat media massa secara mentah-mentah, lalu di-capture, kemudian di-share ke media-media sosial, dan terbentuklah opini publik. Setelah itu semua, giliran kita nih dari media massa yang harus membenahinya. Hahahaaa … sekarang kan sebagian berlangsung kayak begitu,” ungkap Livi seraya tergelak.

Ambil contoh ketika kasus pengeboman di Gedung Sarinah, Jakarta, belum lama ini. Semua orang seolah berebut ingin menjadi ‘wartawan’ atau ‘wartawan dadakan’.

“Alasannya, karena semua orang ingin berada di Tempat Kejadian Perkara (TKP). Semua orang ingin mengabarkan kondisi di lapangan. Semua orang juga ingin menjadi pengamat, semua orang ingin punya argumen sendiri. Nah, ini yang terkadang bikin miris. Kita masih ingat waktu ada Pesawat Hercules jatuh di Medan, sempat heboh ada foto di media-media sosial tentang ibu-ibu yang justru berfotoselfie di lokasi musibah. Hal ini membuktikan bahwa mereka ingin menunjukkan atau menginformasikan kepada semua orang tentang keberadaan mereka di TKP. Padahal, sebenarnya ini pekerjaan rumah dari wartawan sehingga berarti pula wartawan harus men-delivery lebih banyak lagi informasi untuk mengenyangkan hasrat masyarakat yang ingin sekali tahu dan ingin sekali berada langsung di lokasi TKP,” jelas Livi yang kini bermukim di Tangerang Selatan.

Wawancara Paling Menarik

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun