“Insan Pers atau kita, berusaha untuk menggali fakta-fakta yang ada. Kita juga tidak berusaha untuk meng-create atau membentuk opini secara asal-asalan. Justru yang kita sajikan adalah rentetan seperti ini, mulai dari JSC yang menjadi saksi spesial, lalu rumah JSC yang digeledah, kemudian JSC dianggap sebagai saksi kunci, lalu kita meramu pendapat dari pihak-pihak yang terkait, lalu kita tambahkan lagi dari saksi-saksi ahli yang dipanggil pihak berwajib. Nah, dari sekian banyak saksi, hanya JSC yang didampingi psikiater ahli untuk menjalani pemeriksaan. Lalu tidak lama kemudian, rumah JSC digeledah, dan diteruskan dengan pembantunya yang menjadi saksi kunci karena ternyata ada ketidakcocokan antara alibi celana JSC yang robek, dengan keterangan pembantu JSC yang mengaku disuruh buang celana tersebut. Nah, sebetulnya fakta-fakta ini yang kita deliver ke publik, tapi secara enggak langsung akhirnya membentuk opini,” papar empunya darah Maluku Utara dari sang ayahanda ini.
Menurut Livi lagi, karena men-deliver fakta-fakta yang ada di lapangan dan kemudian secara tidak langsung membentuk opini publik, maka imbasnya kembali kepada insan Pers itu sendiri. “Kita harus pintar-pintar meramu kata, memilih kalimat, dan men-deliver faktanya juga harus dengan cara yang tepat. Sehingga akhirnya, apa yang dilakukan media massa menjadi bagus, karena pada akhirnya benar-benar pihak kepolisian menetapkan JSC sebagai tersangka. Coba kalau akhirnya JSC enggak ditetapkan sebagai tersangka, maka media massa memiliki tanggung-jawab terhadap yang bersangkutan,” tegas Livi yang punya hobi diving dan snorkeling.
Tapi, Livi tidak menampik bahwa setiap media massa punya agenda masing-masing terkait penelusuran suatu kasus. “Agenda yang tersembunyi oleh media massa, menurut aku, bukan harus menyebutnya sebagai sesuatu yang halal atau haram. Kita ambil contoh misalnya, kasus yang sempat ramai belum lama ini, tentang layanan aplikasi GoJek dengan Kementerian Perhubungan. Waktu itu, GoJek sempat dilarang beroperasi sama sekali oleh Departemen Perhubungan. Tapi kemudian, media massa tidak langsung menelan mentah-mentah kebijakan pelarangan tersebut. Meskipun pelarangan GoJek dari sisi Departemen Perhubungan ini tetap kita angkat dengan alasan pelanggaran undang-undang dan peraturan segala macam, tapi kita juga mengkritisi bahwa Pemerintah belum bisa menghadirkan tranportasi publik yang nyaman, aman dan betul-betul dibutuhkan publik sebagai alternatif transportasi yang sudah sekarang,” urai Livi yang pada usia 19 tahun sudah menjajal kontes Miss Indonesia 2009.
Media Sosial, Tantangan Terbesar Jurnalis
Buat Livi, salah satu tantangan sulit yang dihadapi insan Pers adalah kecenderungan untuk bersikap tidak netral karena pengaruh kuat dari sang pemilik modal media massa. “Kita sebagai anak buah, enggak akan bisa ngapa-ngapain. Tapi, tidak semua seperti itu. Mungkin ada yang menggunakan hal-hal seperti itu, tapi saya rasa pun pasti yang digunakan adalah bukan media yang besar, karena terlalu sayang kalau kita punya media yang besar tetapi dipergunakan untuk kepentingan golongan tertentu. Kecuali, memang itu merupakan agenda besar dari sang pemilik atau pemegang saham,” tuturnya.
Menghadapi dominasi pemodal media massa yang memanfaatkan medianya demi kepentingan agenda-agenda khusus pemiliknya, ungkap Livi, membuat banyak dari teman-teman sesama jurnalis yang merasa jengah sehingga terpaksa mengundurkan diri lalu pindah ke media lain yang netral atau lebih netral. “Tetapi tidak sedikit juga yang memilih untuk bertahan,” ujarnya.
Ambil contoh ketika kasus pengeboman di Gedung Sarinah, Jakarta, belum lama ini. Semua orang seolah berebut ingin menjadi ‘wartawan’ atau ‘wartawan dadakan’.
“Alasannya, karena semua orang ingin berada di Tempat Kejadian Perkara (TKP). Semua orang ingin mengabarkan kondisi di lapangan. Semua orang juga ingin menjadi pengamat, semua orang ingin punya argumen sendiri. Nah, ini yang terkadang bikin miris. Kita masih ingat waktu ada Pesawat Hercules jatuh di Medan, sempat heboh ada foto di media-media sosial tentang ibu-ibu yang justru berfotoselfie di lokasi musibah. Hal ini membuktikan bahwa mereka ingin menunjukkan atau menginformasikan kepada semua orang tentang keberadaan mereka di TKP. Padahal, sebenarnya ini pekerjaan rumah dari wartawan sehingga berarti pula wartawan harus men-delivery lebih banyak lagi informasi untuk mengenyangkan hasrat masyarakat yang ingin sekali tahu dan ingin sekali berada langsung di lokasi TKP,” jelas Livi yang kini bermukim di Tangerang Selatan.
Wawancara Paling Menarik