Redrik tak menampik bila disebutkan Jembatan Ortotropik dapat menjadi harapan menggembirakan bagi pembangunan jembatan-jembatan di Indonesia. Asalkan, dengan beberapa pertimbangan, misalnya pertama, Jembatan Ortotropik itu nantinya tidak akan terlalu mengalami pergerakan yang esktrim. Atau, jangan sampai kondisi jembatannya sudah melengkung, melintir dan sebagainya, yang berakibat pada pemasangan rangka baja dan lantai baja yang sulit. Jadi, kalau kondisi di area jembatan sangat ekstrim pergerakannya, tidak akan disarankan mempergunakan teknologi Jembatan Ortotropik.
Kedua, bahan baku harus tersedia apalagi Indonesia bukan negara produsen baja. Hal ini penting karena akan berimbas pada biaya yang harus dikeluarkan untuk membuat Jembatan Ortotropik, sehingga perlu kajian ekonomis.
Ketiga, sumber daya manusia yang memang sudah semakin baik.
Keempat, kendala pemasangan yang pada umumnya, jembatan-jembatan di Indonesia seringkali mengalami beban yang berat, kondisi lingkungan yang ekstrim sehingga seringkali jembatannya sendiri sudah mengalami perubahan bentuk. Akibatnya, menimbulkan kesulitan pada saat pemasangan.
“Beban bergerak yang melintas di atas jembatan ortotropik memang menjadi salah satu pertimbangan prioritas untuk dipikirkan secara mendalam sebelum menerapkannya. Karena, selama beban bergerak pada jembatan tidak dapat teridentifikasi secara tepat, maka seluruh desain dari Jembatan Ortotropik malah akan tidak menjadi andal,” jelasnya.
Seiring proses paten yang sedang berlangsung dengan Nomor: P00201304533 tanggal 12 November 2013, kedepannya, Jembatan Ortotropik akan terus dikembangkan dan disempurnakan. Apalagi, Pusjatan KemenPUPR terus melakukan sosialisasi terhadap teknologi Jembatan Ortotropik ini. “Akan tetapi, karena dari sisi harga, Jembatan Ortotropik ini sedikit lebih mahal bila dibandingkan dengan membangun jalan, maka prioritasnya adalah lebih dulu membangun jalan daripada jembatannya. Jadi, selama komitmen dari pengelola jalan akan memprioritaskan jembatan, maka pasti inovasi-inovasi pada bidang penanganan jembatan juga pasti akan berkembang,” optimis Redrik yang pernah memperoleh penghargaan langsung dari Wakil Presiden RI dan Menteri Riset dan Teknologi pada acara puncak Hari Teknologi Nasional (Harteknas) ke-19, pada Agustus 2014 kemarin.
Selain itu, lanjut Redrik, pihaknya akan terus melakukan optimasi berat Jembatan Ortotropik. Ketika beratnya turun, maka itu berarti, harga satu panel atau harga konstruksi akan turun juga secara signifikan. Karena, harga jual baja dinilai berdasarkan berat per kilogramnya. Artinya, jika ada optimasi beban maka akan muncul juga optimasi biaya.
“Hal lain, kami akan terus mengkaji dan memperbaiki sistem sambungan yang saat ini menimbulkan ketidaknyamanan jembatan-jembatan yang sudah menerapkan teknologi dari produk Pelat Segmental Ortotropik ini,” jelasnya.
Redrik menambahkan, pihaknya juga akan melakukan perbaikan pada sistem pengaspalan. Sebagai contoh, di luar negeri, kalau panjang jembatannya sudah mencapai lebih dari 1.000 meter, maka biasanya mempergunakan teknologi Jembatan Ortotropik. Tapi, penggunaannya sedikit berbeda, kalau dibandingkan dengan sistem yang dipergunakan di Indonesia.
“Perbedaan paling mencolok misalnya, Jembatan Ortotropik di luar negeri mempergunakan sistem las untuk menghubungkan satu bagian jembatan dengan bagian lainnya. Tapi, kalau di Indonesia, karena memang tujuannya adalah untuk dapat memperbaiki dan mengganti kerusakan Jembatan Ortotropik tanpa harus menutup arus lalu-lintas, maka kita pergunakan sistem mur dan baut. Bukan las. Ini sekaligus menjadi keunggulan sistem teknologi Jembatan Ortotropik di Indonesia dibandingkan dengan yang di luar negeri,” tuturnya.