Pertanyaannya sekarang, heran Ricky, mengapa sektor Ekonomi Kreatif belum signifikan memperoleh atensi dari seluruh pemerintahan negara-negara di seluruh dunia? “Beberapa alasannya adalah, pertama, Ekonomi Kreatif didefinisikan sebagai sesuatu yang kompleks. Kedua, hubungan keterkaitan antara ekonomi dengan kultur masyarakat sebagai aset pertumbuhan sektor ini, belum diyakini secara utuh. Ketiga, pendekatan kuantitatif ekonomi kepada bidang kreatif dan budaya masih menjadi sesuatu yang sangat baru,” prihatinnya seraya menegaskan bahwa, tantangan sektor Ekonomi Kreatif adalah bagaimana membuat ekosistem pada industri ini menonjolkan konsistensi sehingga dapat membuktikan peran signifikan dan terukur, terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
“Pada 4 Agustus kemarin, Presiden RI Joko Widodo mengundang para pelaku industri kreatif. Hasilnya, tercapai kesepakatan dan muncul pernyataan dari Presiden bahwa, era industri Ekonomi Kreatif harus menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia pada masa mendatang. Karena, Ekonomi Kreatif adalah ekonomi yang berbasis pada ide, gagasan, pikiran dan kemampuan manusia yang tidak mungkin habis,” ujar Ricky mengutip Presiden Joko Widodo.
Mengakhiri paparannya, Ricky mengatakan, Indonesia harus mengubah paradigma lama untuk dapat terus maju dan bersaing pada sektor Ekonomi Kreatif di pentas global. “Caranya, dengan mengubah paradigma lama yang hanya sekadar mengedepankan Ekonomi atau Budaya saja, menjadi Ekonomi dan Budaya yang menjadi ‘nilai tukar’ baru (new currency). Kita harus ubah paradigma ini. Kreativitas adalah currency dalam ekonomi saat ini,” jelas Ricky yang tampil santai, mengenakan kemeja putih berbalut jas hitam dan bercelana jeans.
Ledakan Penduduk Kelas Menengah
Kenaikan jumlah dan nilai transaksi pada Harbolnas 2015 juga menegaskan fakta bahwa ternyata, Kelas Menengah (Middle Class) di Indonesia jumlahnya semakin bertambah. Kelas menengah yang semakin akrab dengan teknologi gadget, internet, media daring dan media sosial. Contoh aktualnya, ya semakin merebaknya pengguna aplikasi transportasi jemput dan antar yang berbasis layanan aplikasi online.
Khusus terhadap penggunaan internet, Majalah Marketeers edisi Oktober 2015 pernah merilis tipikal koneksi internet yang semakin menjadi trend belakangan di kalangan Youth, Women, Netizen (YWN). Menurut data tersebut, Koneksi Seluler terbanyak terjadi pada kalangan Netizen (70,2%), Youth (64,1%) dan Women (63,7%). Untuk penggunaan Wireless atau WiFi, lagi-lagi Netizen menjadi yang terbanyak dengan (39,9%), disusul Youth (37,2%) dan Women (35,2%). Netizen juga mendominasi dengan (7,1%) untuk penggunaan Fixed Line, disusul bersamaan atau 6,2% untuk Youth dan Women. Sementara penggunaan Modem, Youth tercatat (3,1%), Women (3%) kemudian Netizen (2,9%).
Fakta bahwa Kelas Menengah semakin meningkat, adalah juga dikarenakan Indonesia tengah menikmati Bonus Demografi. Atau, masa dimana angka beban ketergantungan antara penduduk usia produktif dengan penduduk usia nonproduktif mengalami penurunan, sehingga mencapai angka dibawah 50. Artinya, setiap penduduk usia kerja menanggung sedikit penduduk usia nonproduktif.
Data proyeksi penduduk menunjukkan bahwa Bonus Demografi di Indonesia diperkirakan terjadi pada 2020 hingga 2035. Sedangkan pada 2020 – 2030, Indonesia mengalami window of opportunity. Setelah tahun 2030, Indonesia kemudian akan menghadapi peningkatan pesat pada kelompok penduduk usia lanjut (65+), sehingga meningkatkan kembali rasio ketergantungan.
Dalam satu kesempatan di acara Kompasiana, Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN) mengungkapkan data, bahwa jumlah penduduk Indonesia pada 2015 diperkirakan 255,5 juta jiwa. Dari jumlah itu, balita dan anak mencapai jumlah 47,4 juta jiwa. Sedangkan jumlah remaja, menyentuh angka 66 juta jiwa, atau 7% dari jumlah total penduduk. Kontribusi proporsi penduduk usia produktif ini, sudah pasti membawa potensi Bonus Demografi. Potensi ini diperkuat dengan data yang menyatakan, jumlah penduduk lanjut usia (lansia) ‘hanya’ sejumlah 21,7 juta jiwa.
Dalam kondisi tengah menikmati Bonus Demografi dengan banyaknya jumlah penduduk usia produktif, dan seiring dengan pertambahan Kelas Menengah, tak pelak membuat Indonesia kian menunjukkan potensinya pada bisnis kreatif di era digital.