Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jujur, Tangsel Belum Siap Hadapi MEA

19 Desember 2015   19:07 Diperbarui: 20 Desember 2015   06:19 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau seorang calon pekerja memiliki sertifikasi, tukas Siswanto, akan lebih mudah bagi perusahaan pemberi kerja untuk memberikan posisi kerja berikut gajinya. Sementara belakangan ini, antara pengusaha dan Pemerintah saja masih terus meributkan soal UMK, bukan masalah substansial sertifikasi. Memang tak bisa dipungkiri, ada beberapa perusahaan yang menerapkan kepemilikan sertifikasi bagi para pekerjanya, tapi itu belum semua. Padahal, MEA sudah ada didepan mata.

“Sebenarnya, tenaga kerja Indonesia lebih unggul bila dibandingkan dengan sesama tenaga kerja dari negara-negara se-ASEAN. Tapi sayangnya, tenaga kerja kita yang lebih unggul ini tidak mengantongi sertifikasi kompetensi kerja sebagai legalitas formal,” jelasnya.

Data menunjukkan, pada 2015, angka pengangguran di Tangsel mencapai 47 ribu orang. Turun sedikit, bila dibandingkan dengan angka pengangguran pada 2014, yang menurut BPS Kota Tangsel, mencapai 48 ribu orang. “Padahal faktanya, lowongan kerja itu banyak, utamanya melalui serangkaian job fair yang sudah dilaksanakan, dengan sekitar 24 ribu lowongan kerja. Tapi sayang, itu pun tidak semua bisa diisi, karena masalahnya tidak ada kesesuaian dengan kompetensi tenaga kerja yang dibutuhkan. Ini juga jadi masalah bukan? Bagaimana Pemerintah bisa menjembatani agar lowongan kerja yang ada bisa diisi dengan kompetensi yang dimiliki oleh para pencari kerja,” urainya.

Sebenarnya, warga Tangsel yang mencari kerja di wilayah kotanya sendiri, memiliki keunggulan harus diprioritaskan, bila dibandingkan dengan pencari kerja asal luar Tangsel, meskipun sama-sama memiliki kompetensi yang sesuai.

(Tabel Jumlah Penduduk Berumur 15 Tahun yang Bekerja di Tangsel, pada 2014. || Sumber: BPS tangsel)

“Kalau di Tangsel, kita sudah mempunyai Perda No.3 Tahun 2011 tentang Pelayanan Ketenagakerjaan, yang diantara pasalnya ada yang intinya menyatakan bahwa, apabila ada dua tenaga kerja memiliki kompetensi yang sesuai untuk bekerja, maka harus memprioritaskan tenaga kerja yang berdomisili di Tangsel terlebih dahulu. Dengan catatan, kompetensi antar keduanya sesuai. Ini juga merupakan upaya untuk membatasi tenaga kerja dari luar Tangsel masuk dan bekerja di sini, padahal tenaga kerja dari Tangsel sendiri sebenarnya memiliki kompetensi yang sama. Hal seperti ini, di era MEA diperbolehkan. Di tingkat pusat, kebijakan ini bergulir dalam bentuk kewajiban mahir berbahasa Indonesia bagi para tenaga kerja asal luar negeri yang akan bekerja di Indonesia. Wajar, kalau mereka mau bekerja di sini, ya harus bisa berbahasa Indonesia,” kata Siswanto.

Di Tangsel, imbuhnya lagi, ada sekitar 2.700 perusahaan skala kecil, menengah sampai besar. Setiap hari jumlahnya pun terus bertambah. Dan dari perusahaan sebanyak itu, kenyataannya hanya diawasi oleh tujuh pengawas dari Disnaker Tangsel. “Bayangkan, kalaupun tujuh orang ini bolak-balik kerja dalam satu hari saja, pasti tidak semuanya dapat terawasi. Di Indonesia, untuk pengawas umum idealnya kita punya 12 ribu orang, tapi nyatanya kita hanya punya sekitar 3000 pengawas umum saja,” prihatin Siswanto seraya menyebutkan bahwa tingkat perkembangan upah minimum di Tangsel yang pada 2015 mencapai Rp 2,7 juta per bulan, menjadi Rp 3,1 juta per bulan pada 2016.

Meski mengakui bahwa Tangsel belum sepenuhnya siap menghadapi MEA, tetap Siswanto menguraikan empat strategi untuk makin menambah kesiapan. Yaitu, pertama, menghimpun lembaga pelatihan keterampilan swasta yang ada di Tangsel dalam satu wadah atau asosiasi. Kedua, bekerjasama dengan LSP untuk semua profesi tenaga kerja. Ketiga, memperbanyak Tempat Uji Kompetensi (TUK) di Tangsel. Keempat, membentuk Lembaga Koordinasi Kompetensi Daerah untuk optimalisasi penempatan tenaga kerja. Kelima, membekali calon tenaga kerja Indonesia dengan bahasa asing yang sesuai tujuan.

(Tabel Jumlah TKA Pendatang di Tangsel pada 2014. || Sumber: BPS tangsel)

“Dengan tenaga kerja yang kompeten dan bersertifikasi, maka tercipta produktivitas kerja, yang dampaknya adalah pada kesejahteraan karyawan, sekaligus menciptakan hubungan industrial yang harmonis. Ujungnya, membawa keberkahan kepada Kota Tangsel itu sendiri yang mandiri, damai dan asri, atau Madani,” pungkas Siswanto.

o o o O o o o

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun