“Sebenarnya, hal ini sudah diantisipasi Pemerintah melalui Diknas dan Depnaker dengan membentuk Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) pada 2006. Dibawah BNSP ada lembaga-lembaga sertifikasi yang membidangi semua profesi yang ada di Indonesia. Sampai saat ini ada sekitar 130-an Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP), termasuk misalnya LSP Jasa Spa, LSP Telematika dan masih banyak lagi. Terkait dengan itu semua, masalah kesiapan MEA kemudian ada pada masing-masing daerah itu sendiri,” ujarnya.
Bagaimana dengan kesiapan Tangsel menghadapi MEA?
Dalam wawancara dengan penulis, Siswanto mengakui, terkait pelaksanaan MEA, tugas dari Disnaker Tangsel belum dilaksanakan secara maksimal, karena strukturnya yang masih minim. Sehingga, cakupan kerjanya belum mencapai hal-hal yang terlalu kecil.
“Gambarannya begini, di Disnaker Tangsel itu baru ada dua bidang, Pengawasan dan Penempatan. Padahal Bidang Penempatan itu kalau dipecah lagi bisa meliputi Bidang Pelatihan dan Produktivitas, Bidang Penempatan dan Perluasan Lapangan Kerja, dan bidang-bidang yang seperti ini belum kita sentuh,” prihatinnya.
Siswanto mengatakan, untuk mengantisipasi MEA, mau tidak mau seluruh pihak harus berjuang membekali para tenaga kerja dengan peningkatan kualitas lebih baik lagi melalui sertifikasi. Untuk skala nasional ada program yang namanya three in one yaitu Pelatihan, Mensertifikasi, dan Menempatkan.
“Program three ini one ini komprehensif untuk menjawab bekal kualitas yang lebih baik kepada tenaga kerja. Dengan adanya MEA, kita diberikan kesempatan untuk datang ke tempat orang lain, begitu pun sebaliknya. Sementara, tenaga kerja dari negara-negara tetangga se-ASEAN semua sudah tersertifikasi, punya sertifikat kompetensi. Di Filipina saja, pembantu rumah tangga sudah mengantongi sertifikasi. Lha di Indonesia, justru pembantu rumah tangga dianggap tenaga kerja informal. Bagaimana ini? Makanya, kini sedang diupayakan ada undang-undang untuk mewajibkan sertifikasi bahkan bagi tenaga kerja yang akan menjadi pembantu rumah tangga,” terang Siswanto yang juga menjadi staf pengajar pada Politeknik Swadharma di Pamulang, jurusan Teknik Industri dan Teknik Elektro.
Masalah lain terkait sertifikasi, menurut Siswanto adalah, negara-negara tetangga se-ASEAN itu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada para tenaga kerjanya untuk memiliki sertifikasi secara gratis. “Sementara di Indonesia? Suruh bayar. Makanya, Pemerintah kita harus memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada LSP-LSP yang ada untuk melakukan pemberian sertifikasi gratis, kalau bisa, supaya tenaga kerja kita lebih siap,” terangnya.
Menurut data, ada lebih dari 12 juta angkatan tenaga kerja di Indonesia. Tetapi, yang tersertifikasi baru 1,2 juta tenaga kerja. “Nah, miris bukan? Hal ini dikarenakan untuk memperoleh sertifikasi harus bayar. Lha mana mau orang kalau disuruh membayar untuk memperoleh sertifikasi, toh belum tentu juga sertifikasi itu bakal dipergunakan,” keluh Siswanto yang mengenakan batik PNS biru.