Itulah juga mengapa Presiden Jokowi kerapkali lebih memilih untuk sering turun ke lapangan. “Selain untuk mengontrol langsung pekerjaan, tetapi juga karena setiap kali ke lapangan akan mendapat informasi tambahan yang tidak mungkin diterima seandainya tidak turun ke lapangan. Dengan ke lapangan, akan memperkaya masalah dan problem sehingga membangun sistemnya akan lebih tepat,” jelas bapak dari Gibran Rakabuming Raka, Kahiyang Ayu dan Kaesang Pangarep ini.
Sementara itu, lebih menohok kepada sosial budaya masyarakat Indonesia pada masa kekinian, Presiden Jokowi mengherankan betapa pergesekan antara kubu ‘lovers’ dan ‘haters’ pasca pemilihan Presiden dan Wakil Presiden kemarin masih saja nampak terlihat ‘panas’ dan saling bertentangan.
“Padahal, saya dan Pak Prabowo sudah pernah beberapa kali melakukan pertemuan. Tidak ada masalah. Kami berdua saling berkomunikasi tanpa ada masalah masa lalu yang mengganjal. Kita saling bercanda tentang kemungkinan akan maju lagi sebagai kandidat calon presiden pada tahun 2019 mendatang. Saya dan Pak Prabowo baik-baik saja, tidak ada masalah. Lha tapi kok, ini yang ‘dibawah’, terutama di dunia maya, dan di kolom komentar media sosial, terjadi pergesekan yang tajam antara kubu lovers dan haters. Sudahlah, tidak perlu lagi ada lovers maupun haters. Cukuplah saat ini, kita bersama-sama menjadi Lovers untuk Indonesia saja,” tutur Presiden Jokowi ditimpali gemuruh tepuk tangan penuh apresiasi dari Kompasianer yang hadir.
Revolusi Mental, Konsep Trisakti dan Petuah Ibunda
Menyimak paparan Presiden Jokowi, kelihatan benar bahwa semangat yang ditampakkan adalah upaya mengubah sistem menuju perbaikan sumber daya manusia sehingga berlanjut pada berkembangnya etos yang baik. Inilah pemikiran sistematis yang tentu saja mencakup perubahan dari sisi mental manusianya. Dan memang, ketika masa pemilihan Presiden, sebelum Joko Widodo terpilih dan dilantik sebagai Presiden Indonesia ketujuh pada 20 Oktober 2014, visi-misi utama yang dicanangkan hanya dua kata saja: Revolusi Mental.
Dalam ‘Revolusi Mental’, Presiden Jokowi pernah berujar, membangun negara dan bangsa harus dimulai dengan melakukan pembangunan manusia, jangan fisiknya. Manusianya dulu, mentalnya diisi, budi pekertinya diisi, sehingga manusia punya ideologi yang jelas, pemimpinnya juga punya,” jelas Presiden yang gemar musik cadas ini.
Ya, dengan kesederhanaan dan sikap hidupnya yang ‘lurus’, Presiden Jokowi memang jadi panutan. Tak sedikit orang yang kemudian kepincut dengan pembawaan bapak tiga anak kelahiran Solo, 21 Juni 1961 yang humble ini.
Konsep Trisakti dari Bung Karno tak pelak menjadi salah satu dogma yang terus coba diwujudkannya. Selain sudah pasti, petuah sang Ibunda Sujiatmi, yang selalu ngelingi (mengingatkan) kepada sang putra: “Nek mlakumu lurus, lempeng, uripmu mesti penak. (Kalau jalanmu lurus, lempang, hidupmu pasti enak)”.
Presiden Jokowi, terima kasih jamuan makan siangnya. Terutama, menu Sop Buntut yang memang joss gandoss sekali!
Aaaahhhh … sak niki kulo malah dadi kelingan Sop Buntut’e niku, Pak Jokowi. Kepiye niki lo’?