Adapun Inge Setiawati, Corporate Secretary BCA menjelaskan, dalam pementasan Wayang in Town – Journey in A Thousand Years ini balutan nilai kekinian cukup menjadi pertimbangan. “Kenapa kami menampilkan wayang jenis modern? Karena kami berpikir bahwa yang kami bawa sejak dahulu adalah faktor kekiniannya. Dahulu, wayang dengan bentuk rumah yang klasik itu adalah merupakan kekinian pada masa itu. Tapi, pada saat sekarang ini, bentuk kekinian sudah berubah. Kalau saja kami menampilkan wayang klasik yang apa adanya seperti masa lalu, mungkin penontonnya yang memang menyasar kalangan muda ini akan tertidur atau malah bubar. Mereka tidak mengerti bahasanya, lakonnya dan lain sebagainya,” ujarnya.
Inge menambahkan, wayang yang dipentaskan selama pergelaran Wayang in Town ini adalah wayang yang tetap menampilkan kekinian tanpa meninggalkan nilai-nilai atau values maupun filosofi yang ada pada pewayangan. “Sehingga, wayang ini kemudian bisa dibawa dalam bentuk yang sudah berubah namun tidak meninggalkan pesan-pesan penuh hikmah yang terkandung didalamnya. Begitu juga dengan karakter-karakter yang ada pada pewayangan, tetap dapat ditemui generasi muda dalam lakon pewayangan,” terangnya seraya mengakui bahwa pelaksanaan pergelaran ini sempat mundur waktunya karena harus menyeleksi dalang yang dapat menyisipkan faktor kekinian tersebut. “Alhamdulillah, terbukti anak-anak yang menonton Wayang in Town dapat menikmati dan senang semuanya”.
Semoga semakin banyak lagi program CSR yang mengemban misi untuk melestarikan seni budaya, seperti dilakukan BCA terhadap wayang ini.
o o o O o o o
Foto #1: Dwi Woro Retno Mastuti, dosen dan peneliti pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Program Studi Jawa, Universitas Indonesia. (Foto: Gapey Sandy)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H