Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kompasianer Ini Guru Berprestasi dan Penyair Muda Bersinar

3 November 2015   22:23 Diperbarui: 4 November 2015   08:01 1001
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Aku bisanya sesudah jam 15.00. Nanti langsung ke Warung Naskuter di Jalan DR Sardjito itu”. Begitu balasan inbox fesbuk dari Umi Azzurasantika.

Ya, awal September kemarin, saya kebetulan berada di Yogyakarta, dan merencanakan untuk kopi darat dengan sejumlah Kompasianer. Sore itu, akhirnya kita duduk bareng. Ada Ratih Purnamasari, Fandi SidoDwi Suparno dan Umi Azzurasantika.

Bersama Ratih dan Umi, ini kopdar pertama. Meski begitu, tidak ada rasa kikuk. Maklum sudah lebih dulu kenal di fesbuk. Kalau dengan Fandi dan Dwi, waaahhh … sudah jadi teman seperjalanan ke Bali dan Banyuwangi, sebagai pemenang lomba menulis di Kompasiana dengan sponsor Pertamina.

Khusus kepada Umi, saya tidak menduga, ia datang dari lokasi yang cukup jauh, Magelang! Sebelumnya, saya pikir ia tinggal di Gunungkidul atau searah perjalanan dengan Dwi Suparno. Rupanya saya salah. Orangtua Umi yang menetap di Gunungkidul, sedangkan ia harus berkendara dari Magelang menuju Yogyakarta, sejauh 45 km atau sekitar 1,5 hingga 2 jam perjalanan. Terbayang, untuk kopdar sore itu, Umi harus memacu kendaraannya melintasi rute Magelang – Mertoyudan – Mungkid – Muntilan – Salam – Sleman – Yogyakarta. Demi sebuah jalinan silaturahim. Luar biasa!

“Saya biasa bolak-balik Magelang – Yogyakarta - Gunungkidul. Jadi sudah enggak kaget lagi,” ujar Umi yang kini bersama suami dan anaknya tinggal di Perumahan Depkes, Kelurahan Kramat, Magelang Utara.

Umi Azzurasantika ketika tampil pada acara Sastra Bulan Purnama Tembi Yogyakarta, bersama Kelompok Musik Puisi Bulan Kalangan Purworejo yang merupakan para mahasiawa Universitas Muhammadiyah Purworejo. (Foto: Akun Facebook Umi Azzurasantika)

Di fesbuk, saya mengenal Umi sebagai penulis puisi dan penyair muda yang semakin bersinar, the rising star. Ketika buku antologi puisinya terbit, saya termasuk yang paling dulu memesan. Buku itu berjudul Di Antara Perempuan – Antologi Puisi 7 Penyair yang diterbitkan Buku Litera pada April 2015. Di buku ini, ada 17 puisi karya Umi. Temanya, tentang Cinta, Suasana dan Kritik Sosial.

Diantara puisi itu ada yang berjudul Hilangnya Hak Rakyat. Diantaranya, Umi menulis begini:

Kau tuntut kami taat

Bayar pajak dengan waktu tepat

Tapi hak kami kau rampas

Harta negeri ini habis kau libas

Sorak sorai keruk sana sini

Maju perut mundur pantat

Rekening gendut, muasal dari mana

Entah

Pada puisi lain yang berjudul Janjimu Membusuk, Umi cukup ‘liar’ memilih kata. Berikut penggalan puisinya:

Di panggung-panggung

Mulutmu mengaung

Di mimbar-mimbar

Seperti benih kau tebar

Di layar televisi

Kau obral janji

Sambil kau hunus

Pisau amukmu yang rakus

Gaya Umi Azzurasantika ketika membaca puisi. (Foto: Akun Facebook Umi Azzurasantika)

Selain buku Di Antara Perempuan tadi, sepanjang 2015 ini, karya puisi Umi juga diterbitkan dalam banyak wujud lainnya. Seperti buku Puisi Penyair Lima Kota; Pelangi Perempuan Negeri (Pemenang ke 2 penulisan Cermin event Kartini); Puisi Menolak Korupsi 4; Puisi Menolak Korupsi 5; Jalan Remang Kesaksian; antologi Puisi Kompasianer DIY - Jateng (proses terbit); Pemenang pertama dalam lomba cipta puisi event Merah Putih di Kompasiana (RTC); Antologi buku populer: Inspirasi Nama Bayi Islami Terpopuler (IIDN); Antologi buku populer: Buku Pintar Kesehatan (IIDN); dan Buku Populer Solo: Kamus Pintar Kecantikan Muslimah (proses terbit).

Mengomentari prestasinya itu, Umi tetap menampakkan kerendah-hatiannya. “Sebenarnya saya tidak bermimpi untuk berprestasi, anggapan dan julukan dalam bidang puisi dan kepenyairan. Saya hanya terus saja menulis. Berjalannya waktu, para pengamat menemukan karya-karya saya, dan diapreasi oleh mereka,” ucap Umi yang sejak 2006 mengajar di SMKN 3, Jalan Pierre Tendean No.1, Magelang.

Sebagai guru, Umi baru-baru ini berhasil terpilih menjadi Juara I Guru Berprestasi se-Kota Magelang selama dua tahun berturut-turut, 2014 dan 2015. WowwwKompasiana patut berbangga deh, punya Kompasianer multi talenta seperti Umi. Sedangkan pada 2013, Umi mencatatkan diri diantara 32 finalis besar tingkat Nasional untuk Karya Ilmiah dan Inovasi Pembelajaran SMK.

Apresiasi media Kedaulatan Rakyat untuk pementasan Umi Azzurasantika bersama Kelompok Musik Puisi Bulan Kalangan Purworejo. (Foto: Akun Facebook Umi Azzurasantika)

Untuk mengenal lebih dekat sembari mengambil inspirasi dari Kompasianer Umi Azzurasantika, berikut wawancara saya via email (3/11) dengan empunya nama asli Sumiatun yang lahir di Gunungkidul, pada 14 Agustus 1980 ini:

* * * * *

Sejak kapan mulai menulis puisi?

Sejak SMP sudah suka menulis puisi.

Kenapa menulis puisi?

Puisi menjadi alat ungkap ekspresi diri yang tidak mungkin saya ekspresikan secara oral. Melalui kata-kata dan diksi yang indah. Bukan kata-kata dengan seenaknya. Ada kaidah yang harus diikuti.

Sudah berapa tulisan puisinya hingga kini?

Sudah tidak terhitung jumlah puisi yang saya tulis sejak SMP.

Tema apa yang paling suka ditulis?

Puisi bertema advokasi. Maksudnya keberpihakan kepada pihak yang tertindas dan terzalimi ketidakbenaran. Mengapa? Karena setiap puisi yang ditulis pada hakekatnya memiliki visi yang ingin disampaikan kepada pembaca, publik. Dengan puisi inilah saya bisa mengkritisi hal-hal yang tidak semestinya dengan cara lebih estetik.

Puisi yang baik, apa syaratnya?

Syarat puisi yang baik adalah: Puisi yang tidak kedodoran bahasanya; Puisi itu ringkas; Pemilihan diksi yang tepat; Memiliki visi, tujuan. Entah mengkritisi, membanggakan, membangkitkan semangat; Dari unsur bunyi juga harus mengandung bunyi persajakan yang baik; Rimanya indah tidak dipaksakan; dan, Mengalir saja.

Puisi kamu ada juga yang kritik sosial, mengapa?

Karena saya melihat sesuatu yang tidak beres. Dengan bahasa puisi inilah saya menyampaikannya. Karena tidak mungkin saya menyampaikan dengan cara lain pada ruang-ruang lain. Ibarat mulut ini sudah tidak bersuara, saya masih bisa menyampaikan obsesi sosial melalui bahasa puisi.

Puisi Kritik Sosial itu menyuarakan keadilan dan sebagainya. Tapi menurut kamu, maknanya yang lebih dalam untuk apa?

Makna yang lebih dalam adalah untuk membangun spirit moral pada publik supaya melakukan hal-hal kebenaran yang seharusnya dilakukan. Jangan sampai hal itu mengalami pembiaran. Melalui puisi inilah branding image sosial berusaha untuk saya bangun. Meskipun saya paham betul bahwa puisi tidak akan mengubah kehidupan. Tetapi sekecil apapun dengan bahasa puisi saya akan tetap mengkritisi hal-hal yang bengkok, tidak lurus, tidak sebenarnya, tidak semestinya. Sebagai kritik kehidupan.

Pada saat Umi Azzurasantika membaca puisi. (Foto: Akun Facebook Umi Azzurasantika)

Bagaimana dengan puisi bertema cinta?

Jelas. Puisi cinta itu ada. Sangat populer. Puisi cinta masuk dalam dua kategori. Yaitu hablum minanas (sesama manusia) dan hablum minallah (kepada Tuhannya). Kalau menulis puisi kepada sesama manusia, jujur saja itu dianggap picisan oleh para sastrawan. Tapi kalau cinta kepada Tuhannya itu adalah bagian dari yang saya tulis. Itulah cinta sebenarnya.

Apa lebih susah menulis puisi cinta, karena penuh rintihan, kerinduan dan sebagainya?

Menulis puisi cinta dianggap orang lebih mudah, karena seperti membahasakan perasaan yang sedang dialami oleh penulis puisi tersebut. Namun bagi saya, menulis puisi cinta itu lebih sulit. Karena puisi itu hanya akan berkutat pada persoalan-persoalan pribadi dan sejenisnya. Sehingga hanya menjadi bentuk puisi liris. Hal itu saya alami waktu awal saya belajar menulis puisi.

Seorang penulis puisi, apa harus juga pandai membaca puisi?

Tidak selalu. Penyair tidak harus seperti menjadi dua sisi mata uang. Yaitu tidak harus menjadi penulis puisi yang baik dan sekaligus menjadi deklamator yang baik. Misalpun keduanya bagus itu lebih baik. Menjadi satu kelebihan bagi seorang penulis puisi.

Bagaimana seharusnya menjadi pembaca puisi yang baik?

Seorang pembaca puisi yang baik adalah dia harus bermain perasaan saat membacakan sebuah puisi; Memainkan ritme dan vokal dengan baik; Mimik, ekspresi, dan gestur yang baik; Mampu menyampaikan isi puisi; dan, Tidak salah mengintepretasikan isi puisi tersebut.

Siapa penyair yang kamu suka? Mengapa?

Rendra adalah penyair yang menjadi favorit saya. Karena gaya-gaya puisi Rendra sangat ekspresif tidak terikat pada persajakan. Bahasanya mengalir sangat enak. Mementingkan misi puisi tersebut. Tidak mementingkan tipografi. Karya Rendra juga banyak bermuatan sosial. Entah masalah hubungan dengan alam, kritik, keberpihakan, dan lain sebagainya.

Almarhum WS Rendra yang menjadi idola Umi Azzurasantika. (Foto: ririsatria40.files.wordpress.com)

* * * * * * * * *

Sejak 2006, Umi menjadi guru di SMKN 3 Magelang. “Saya guru produktif Tata Kecantikan. Khususnya Kecantikan Kulit. Banyak materi yang saya ajarkan. Mulai dari Perawatan Wajah, perawatan tangan dan kaki, Rias wajah, Rias Khusus, Rias Panggung, Hingga Tata Rias Pengantin Solo Putri,” tutur peraih S1 Jurusan Pendidikan Tata Busana, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) pada 2005 ini.

Mengapa pilih dunia guru?Dulu, saya tidak pernah bercita-cita sebagai guru. Namun setelah saya dewasa guru menjadi pilihan saya dalam mendedikasikan hidup saya. Dengan menjadi guru saya akan dapat mendidik generasi penerus bangsa yang berkarakter. Tidak sekedar mengajar ilmu saja. Secara moral saya akan menjadi salah sedikit atau salah satu orang yang memberikan manfaat kepada orang lain. Karena saya meyakini bahwa sebaik-baik orang adalah yang bermanfaat bagi orang lain,” urai Umi yang menyelesaikan S2 Jurusan Manajemen Pendidikan di UNY pada 2011.

Soal melanjutkan studi S3, kata Umi, ia masih memiliki hasrat itu. “Tapi mengingat anak-anak saya masih harus melanjutkan pendidikannya, saya menunggu mereka mapan. Saya akan terus mencari ilmu meskipun nantinya umur saya sudah tidak muda lagi,” tekad Umi yang tamat dari SD Pragak, lalu melanjutkan ke SMPN 1 Semanu, dan menyelesaikan SMKN 1 Wonosari, Gunungkidul jurusan Sekretaris.

* * * * * * * * *

Pada saat Umi Azzurasantika membaca puisi bertemakan Wonosari Kota Hijau. (Foto: Akun Facebook Umi Azzurasantika)

Umi aktif di Tembi. Apa sih Tembi itu?

Tembi Rumah Budaya berada di Jalan Parangtritis Km. 8,4 Desa Tembi, Kelurahan Timbulharjo, Kecamatan Sewon, Bantul, DIY. Tembi Rumah Budaya merupakan tempat yang menyimpan dokumentasi sekaligus memberikan informasi tentang sejarah dan budaya, serta menjadi tempat lahirnya karya kreatif yang berbasis masyarakat lokal.

Rumah budaya ini sering menyelenggarakan berbagai kegiatan seni budaya seperti pameran seni rupa dan residensi perupa, pertunjukan seni tradisional maupun kontemporer, pentas tari dan teater. Hingga malam pembacaan puisi (yang sering diberi nama Sastra Bulan Purnama), dimana pada acara ini sering digunakan oleh sastrawan seluruh Indonesia dan Asia dalam peluncuran buku, maupun pembacaan puisinya. Untuk menunjang keberadaannya sebagai rumah budaya, Tembi Rumah Budaya juga memiliki fasilitas lain seperti Bale Karya, Bale Rupa, Bale Inap, Museum, Perpustakaan, Kolam Renang, dan Warung Dahar Pulosegaran. Selain itu Tembi juga memiliki penerbitan buku.

Selain di Tembi, aktif dimana lagi?

Saya aktif dalam Komunitas Wonosari Kota Hijau Wonosari Gunungkidul; Pegiat Radio Komunitas HanacarakaFM Wonosari Gunungkidul; Pegiat Komunitas Perempuan Gunungkidul; Kontributor Media Online Gunungkidul di Hari Esok; Kontributor Media Online Suara komunitas dari HanacarakaFM; Anggota Ibu-ibu Doyan Nulis (IIDN) korwil Yogyakarta; Forum Kilometer Nol Magelang; Forum guru dalam beberapa grup di Facebook; di Kompasiana sudah pasti, dan sebagainya.

Selama 2015 ini, pernah tampil baca puisi pada acara apa saja?

Pada 5 Januari dalam acara Peluncuran buku Sastrawan Nasional angkatan 87 pada Sastra Bulan Purnama di Tembi Yogyakarta. Kemudian pada Maret, dalam launching antologi saya bersama lima penyair dalam buku: Puisi Penyair Lima Kota di Tembi. Lalu, pada Mei, dalam launching antologi saya bersama tujuh guru Jogja Jateng dalam buku: Di antara Perempuan di Tembi. Dan, 27 Oktober, dalam final lomba penulisan cerpen Forum Penulis Negeri Batu di KPAD Kabupaten Gunungkidul. Saya juga tampil ketika 28 Oktober, dalam kegiatan Gunungkidul Di Hari Esok. Pada peringatan Sumpah Pemuda di Lapangan BNI Kabupaten Gunungkidul. Selebihnya, saya membaca puisi dalam forum-forum sekolah dan kegiatan lain.

Umi Azzurasantika (kanan) tampil di Panggung Kethoprak bersama pesinden. (Foto: Akun Facebook Umi Azzurasantika)

Umi terlibat baca puisi di acara Wonosari Hijau, bagaimana menjelaskannya?

Dalam pembacaan puisi di Gunungkidul itu adalah kegiatan Gunungkidul Di Hari Esok. Pada peringatan Sumpah Pemuda di Lapangan BNI Kabupaten Gunungkidul. Kegiatan yang diselenggarakan oleh kurang lebih 15 komunitas yang ada di Gunungkidul. Termasuk Komunitas yang saya ikuti yaitu Wonosari Kota Hijau. Dalam kesempatan inis saya sekalian mengkampanyekan komunitas kami.

Wonosari Kota Hijau adalah sebuah komunitas yang digawangi oleh beberapa teman yang ingin menghijaukan Gunungkidul dimulai dari wilayah Wonosari. Media yang kami gunakan selain terjun langsung untuk menanam pohon di lingkungan masyarakat juga melalui media Radio Komunitas HNCRKFm (Hanacaraka FM). Media Online Gunungkidul di Hari Esok. Dua tahun kemarin kami juga kampanye melalui happening art di alun-alun Gunungkidul dan menyelenggarakan Gunungkidul Green Carnival bersamaan dengan ulang tahun Kabupaten Gunungkidul.

Umi sempat belajar gamelan?

Waktu itu ada rencana peluncuran antologi puisi Jalan Remang Kesaksian bersama LPSK. Kami para penyair diminta untuk tampil dalam bentuk kolaborasi puisi dan gamelan. Sehingga kami belajar untuk itu. Direncanakan pada saat peluncuran kami akan tampil di sana. Saya termasuk di antaranya untuk belajar gamelan. Selain untuk acara itu, saya juga secara pribadi ingin belajar gamelan. Kalau bukan kita sendiri siapa lagi yang akan melestarikan warisan milik kita sendiri.

Umi Azzurasantika sedang berlatih gamelan. (Foto: Akun Facebook Umi Azzurasantika)

Umi pernah tampil di panggung Kethoprak bersama pesinden?

Tampil bersama sinden itu adalah kegiatan dalam rangka Bersih Dusun atau sering disebut acara Rasul di kampung tempat kelahiran saya. Saya turut tampil dalam acara Kethoprak. Di mana pemain Kethoprak tersebut banyak yang diambil dari masyarakat muda daerah setempat. Salah satunya saya. Saya melakonkan menjadi Puyengan dalam judul Kethoprak Brawijaya Kembar. Saya belajar berdialog menggunakan Bahasa Jawa halus yang digunakan dalam Bahasa Kethoprak.

Selain itu saya juga belajar adu akting dengan sinden dan pemain kethoprak yang sudah senior dan mumpuni. Saya sangat senang karena saya mengulang pengalaman saya dalam kethoprak sewaktu SD dulu. Selain itu saya belajar banyak tentang seni pertunjukkan yang tidak bisa dibilang modern namun sangat menarik untuk dipelajari dan digeluti.

Bagaimana perkembangan kanal fiksi di Kompasiana menurut kamu?

Kanal Fiksi Kompasiana semakin dibanjiri fiksianer-fiksianer hebat. Mulai dari Cerpen hingga puisi. Dari penulis senior hingga penulis yang masih kinyis-kinyis baru muncul.

Umi Azzurasantika (nomor dua dari kiri) bersama rekan guru SMKN 3 Magelang. (Foto: Akun Facebook Umi Azzurasantika)

Siapa penulis idolanya di Kompasiana? Alasannya?

Penulis idola saya adalah Rahab Ganendra. Kenapa? Bahasanya mengalir. Isi puisinya bukan puisi cengeng. Tapi mengkritisi fenomena yang sedang terjadi. Selain itu produktivitasnya yang tinggi membuat saya semakin kagum. Bisa seproduktif itu.

Bagaimana mengembangkan Kanal Fiksi Kompasiana ini ke depan, menurut kamu?

Ke depan, Kompasiana sebaiknya memberi perhatian khusus terhadap kanal fiksi. Kenapa? Karena ibarat masakan, tanpa garam akan terasa hambar. Begitu juga dengan Kompasiana. Tanpa fiksi orang akan membaca berita-berita berat setiap hari. Namun dengan fiksi akan memperindah dunia media Kompasiana.

Selain itu, sebaiknya fiksi juga lebih banyak direkomendasikan Highlight atau Headline. Karena fiksi terutama Puisi bisa jadi sedang menyoroti keadaan yang sedang terjadi. Hanya saja dalam bentuk bahasa lain yang tidak lugas. Dengan diberikan Headline tersebut akan memberikan motivasi lebih kepada para penulis fiksi agar tidak ‘aras-arasen’ bagi para fiksianer.

o o o O o o o

Foto #1: Umi Azzurasantika sedang berlatih gamelan. (Foto: Akun Facebook Umi Azzurasantika)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun