Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Lestarikan Blandongan Sebelum Terlambat

29 Oktober 2015   20:57 Diperbarui: 30 Oktober 2015   04:29 778
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketiklah ‘blandongan’ di Google. Akan muncul nama sebuah warung kopi di Banguntapan, Bantul, Yogyakarta. Blandongan juga jadi nama desa di Kecamatan Banjarharjo, Brebes, Jawa Tengah, dan nama jalan di Kelurahan Jembatan Lima, Tambora, Jakarta Barat. Ada juga Candi Blandongan yang berlokasi di kawasan Batujaya, Karawang, Jawa Barat.

Begitulah. Ternyata blandongan bukan terkenal di satu provinsi saja. Dari paparan Google kita tahu bahwa ternyata, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Yogyakarta mengenal kata ini. Blandongan tidak ada dalam Kamus Besar Bahasan Indonesia (KBBI). Makanya, sulit mengartikan maknanya. Lebih parah lagi, kalau coba-coba dicari kata dasarnya. Misalnya, blandong. Maka jatuhnya itu berarti pencuri atau penjarah kayu di hutan. Hahahahaaaa … makin enggak jelas!

Saya lebih percaya, blandongan itu adalah bahasa daerah. Cilakanya, mungkin saja bisa berbeda memaknainya, antara daerah satu dan lainnya.

Di Tangerang Selatan, blandongan menjadi sebutan atas rumah bergaya Betawi. Bukan rumah utamanya, tapi bahagian rumah yang biasanya ada di depan. Ia berbentuk persegi panjang, dan terdiri dari sejumlah tiang dengan atap genteng. Blandongan tidak berpintu apalagi tembok. Ia cuma bangunan kosong tempat empunya rumah melakukan sejumlah kegiatan.

Haji Kasta menunjukkan bale atau tempat tidur kayu/bambu di blandongan yang ada di rumahnya. (Foto: Gapey Sandy)

Menurut Haji Kasta, warga asli Kelurahan Pondok Cabe Ilir, Kecamatan Pamulang, blandongan memiliki banyak fungsi: pertama, menjadi tempat berkumpul. Artinya, ketika ada pertemuan, maka tempat pelaksanaannya di blandongan.

Kedua, menjadi tempat apabila empunya rumah menggelar hajatan seperti pesta pernikahan dan sebagainya. Jadi, tidak perlu pasang atau sewa tenda segala macam.

Ketiga, apabila empunya rumah sudah menikahkan putra atau putrinya, maka blandongan ini akan dipindahkan lokasinya. Pemindahannya dilakukan dengan cara tradisional yakni digotong beramai-ramai. Pemindahan blandongan ini sengaja dilakukan, karena akan disulap menjadi kerangka rumah bagi keluarga muda dari putra atau putri si empunya rumah. “Artinya, orangtua menghadiahkan rumah kepada putra atau putrinya yang sudah melaksanakan pernikahan,” ujar Kasta kepada penulis di rumahnya di Jalan Cabe IV, Pondok Cabe Ilir, Pamulang, yang juga menjadi Rumah Makan Betawi, kemarin.

Kasta menambahkan, aktivitas empunya rumah di blandongan sangat banyak. Sebut saja misalnya, menggantungkan tandan-tandan pisang ketika sedang hajatan, menjadikan tiang-tiang blandongan sebagai tonggak ayunan kain untuk menidurkan bayi, membuat dodol Betawi dan sebagainya. “Bisa juga beristirahat di blandongan, karena biasanya disediakan bale atau tempat tidur kayu atau bambu, meja panjang dan sejumlah kursi kayu,” tutur Kasta.

Haji Kasta dan istri dengan tiang-tiang dan bangunan blandongan di rumahnya. (Foto: Gapey Sandy)

Sebagai orang Pamulang asli, Kasta sempat menjalani masa kecilnya bersama blandongan. “Kakek saya, almarhum Guru Haji Sairat yaitu suami dari Hajjah Sa’ayah, rumahnya juga dulu ada blandongannya. Lantainya dari tanah, yang kalau kita injak sangat bersih, agak licin dan adem (sejuk). Malah, kalau kita tidur di lantai tanah blandongan ini, rasanya nyaman sekali, dan tidak perlu takut kotor,” kenangnya seraya mengatakan, bahwa lantai tanah blandongan bukan sembarang tanah, karena untuk membuatnya jadi bersih, licin, dan nyaman diinjak ada rahasianya.

“Yaitu menggunakan daun pohon kapuk yang digosok-gosokkan ke lantai tanah tersebut. Sehingga karena daun pohon kapuk itu berlendir, akan membuat tanah menjadi sedikit licin dan nyaman. Kadang, kotoran kerbau juga dipergunakan untuk digosok-gosokkan pada lantai tanah tersebut. Tidak usah kotor atau jijik, karena faktanya, lantai yang diproses dengan daun kapuk dan atau kotoran kerbau itu menjadi berbeda, dengan tanah-tanah di luaran sekitarnya”.

Menurut Kasta, blandongan itu bangunan yang berdiri kokoh karena terdiri dari beberapa tiang kayu. “Tiang-tiang blandongan waktu itu sangat besar, bisa mencapai 20 x 20 cm. Umumnya mempergunakan tiang kayu pohon nangka atau kelapa, tapi yang umurnya sudah tua. Karena, kalau kayunya sudah tua, rayap-rayap juga tidak akan suka berkembang biak didalamnya. Selain itu, kayu yang sudah tua, tidak akan susah perawatannya. Cukup dipelitur saja supaya tidak kusam. Sedangkan kaso untuk gentengnya menggunakan bambu, kayu pohon enau, atau kelapa,” urainya.

Blandongan juga menjadi bagian dari Lambang Kota Tangsel. (Foto: Gapey Sandy)

Kasta sendiri memiliki blandongan di rumahnya. Meski tidak berlantai tanah lagi. Maklum, di blandongan inilah ia bersama keluarganya mengelola Rumah Makan Betawi. Makan di rumah makan yang lokasinya di seberang lapangan terbang Pondok Cabe ini auranya memang serasa berada di blandongan. Semuanya lapang, terbuka alias tanpa sekat.

“Rangka blandongan ini saya beli tahun 1998. Saya membelinya dari bongkaran rumah yang sudah tidak terpakai lagi. Ada yang saya beli di sekitaran Pondok Cabe, ada juga enam batang bagian blandongan yang saya beli di Sawangan. Waktu itu, saya belinya enggak mahal, maklum si pemiliknya memang sudah tidak mau mempergunakannya lagi,” kenang Kasta yang selalu mengusahakan untuk membeli kayu-kayu yang sudah berusia tua. “Kayu-kayu tua itu saya simpan di atas loteng, suatu saat hendak dipergunakan, ya tinggal diambil dan dipakai”.

Sebagai orang Betawi pinggiran, Kasta menyatakan setuju apabila Pemkot Tangsel mengusahakan kelestarian blandongan. “Supaya tidak punah. Ini salah satu ikon Betawi. Punya sejarah tersendiri, sehingga generasi muda harus kenal dan diperkenalkan sejak dini. Tentu, harus ada data yang valid tentang keberadaan blandongan di Tangsel, baik jumlah maupun kepemilikannya. Syukur-syukur, kalau Pemkot Tangsel benar-benar mau dan bersedia memberikan uang pemeliharaan blandongan milik warga,” usul Kasta.

Pengerjaan bangunan blandongan sebagai bagian dari proyek Gelanggang Budaya di Taman Kota 2, BSD City. (Foto: Gapey Sandy)

Lapisi Kayu, Tiang Blandongan di Gelanggang Budaya

Asal tahu saja, gambar penampakan blandongan muncul sebagai lambang Kota Tangsel. Bordiran lambang ini terpasang di lengan sebelah kiri dari baju para Pegawai Negeri Sipil (PNS). Posisi blandongan, bersama Buku dan Pena, ada di dalam bingkai Perisai.

Khusus blandongannya, penjelasan lambang tersebut adalah: rumah khas daerah dengan beranda tempat orang berkumpul (blandongan) dan melambangkan tempat atau wadah yang akan melahirkan satu tekad ataupun tujuan, dalam menyelesaikan suatu permasalahan, agar membawa kemajuan bagi masyarakat Kota Tangsel. (Lihat disini).

Sejauh ini, Walikota Tangsel Airin Rachmi Diany, termasuk serius dalam mewujudkan upayanya melestarikan seni budaya Betawi di Tangsel, termasuk blandongan. Saat ini misalnya, Pemkot Tangsel tengah sibuk membangun fasilitas umum berupa Gelanggang Budaya, yang dalam dua paket pengerjaan proyeknya, terdapat bangunan berwujud blandongan.

Papan informasi tentang proyek pembangunan Gelanggang Budaya di Taman Kota 2. (Foto: Gapey Sandy)

Proyek pembangunan Gelanggang Budaya di Taman Kota 2. (Foto: Gapey Sandy)

Kamis, 29 Oktober 2015 kemarin, penulis menyambangi proyek pembangunan Gelanggang Budaya itu. Lokasinya ada di Taman Kota 2, BSD City. Untuk mencapainya, lebih dekat apabila kita masuk melalui Pusat Tanaman Hias di Jalan Victor. Sebab, apabila masuk melalui pintu gerbang Taman Kota 2 (dan melintasi jembatan gantung), maka terpaksa harus masuk terlebih dahulu ke taman kota ini, untuk kemudian menuju ke pintu keluar di belakang atau yang menuju ke area Pusat Tanaman Hias.

Sejumlah pekerja nampak sibuk menyelesaikan bangunan yang nantinya akan berwujud blandongan. Sejumlah tiang beton yang dicor nampak sudah kokoh berdiri. Para pekerja masih sibuk mengerjakan bagian atas blandongannya.

Sementara itu, di seberang bangunan, ampitheatre atau gelanggang/panggung pertunjukan terbuka yang berbentuk setengah lingkaran dengan tempat duduk berjenjang sudah selesai dicor, meskipun papan-papan penahan coran belum dibongkar. Nantinya, ampitheatre ini bakal sanggup menampung 1.500 orang.

Sebelah kiri adalah ampitheatre yang berbentuk setengah lingkaran dengan tempat duduk berjenjang. Kanan adalah bangunan blandongan. (Foto: Gapey Sandy)
Supaya lebih dekat menuju ke Gelanggang Budaya, masuklah melewati gerbang Pusat Tanaman Hias di Jalan Victor ini. (Foto: Gapey Sandy)

Gelanggang Budaya seluas 600 m2 ini dibangun dengan dua paket yang dananya bersumber dari APBD Kota Tangsel TA 2015. Pengerjaan paket pertama bernilai kontrak Rp 7.186.742.000. Pengerjaannya dilakukan oleh PT Nabatindah Sejahtera dengan waktu pelaksanaan 165 hari kalender. Artinya, dari sejak pengerjaan awal, Gelanggang Budaya ini sudah harus rampung pada 15 Desember 2015, terutama untuk paket pembangunan ampitheatre, bangunan blandongan, perpustakaan dan mushola.

Adapun pada paket kedua, baru akan dikerjakan pada APBD murni 2016, yang terdiri dari penataan bantaran sungai, foodcourt dan instalasi pendukung lainnya.

Di luar tembok seng yang mengelilingi proyek Gelanggang Budaya, sejumlah pekerja juga sibuk bekerja dengan ratusan bambu berukuran besar. Bambu-bambu ini dicor ke tanah sebagai penyangga, dan diatasnya dibuat semacam ‘rumah pohon’. Menarik sekali kayaknya, kalau sudah jadi! Dari atas ‘rumah pohon’ ini, pandangan mata ke Gelanggang Budaya dapat terlihat jelas, meskipun apa yang tengah berlangsung di atas panggung ampitheatre bakal terhalang tembok beton yang setengah melingkar.

Rumah pohon yang sedang dibuat, persis di sebelah Gelanggang Budaya, dengan posisi di atas pohon dan dibuat dari bambu-bambu yang saling diikat. (Foto: Gapey Sandy)

Mengomentari pembangunan Gelanggang Budaya yang diantaranya turut membangun bangunan ikon Betawi yaitu blandongan, Kasta menilai, hal tersebut sangat baik dan patut memperoleh apresiasi. “Hanya saja, karena tiang-tiang blandongan kelihatannya dibangun dengan bentuk coran beton dan semen, ada baiknya, kalau tiang-tiang blandongan ini ditutup menggunakan papan dari kayu pohon nangka atau kelapa yang sudah tua.

Tiang coran beton dan semen ini akan terbungkus papan kayu. Sehingga menambah kesan tradisional bangunan blandongannya,” sarannya sambil tak urung mengkhawatirkan Gelanggang Budaya kebanjiran, karena lokasinya yang persis berdampingan, dengan sungai yang melintas di Taman Kota 2. “Meskipun kabarnya sudah ditinggikan sekitar 10 cm, tapi saya tetap khawatir banjir”.

Keberadaan blandongan di Tangsel, menurut informasi yang diterima penulis, ada juga di Kampung Bulak, Kelurahan Benda Baru, Pamulang. (Baca tulisan Yudo Mahendro di Kompasiana). Blandongan yang dimiliki Keluarga Haji Sanan ini tidak begitu sulit dijumpai. Tinggal masuk Gang Anggrek melalui Pamulang 2, lalu bertemu pertigaan dan berbelok ke kanan menuju ke Masjid Al Amin. Haji Sanan sendiri sudah berpulang ke rahmatullah. Hanya tinggal istri almarhum, bersama dengan anak menantunya.

Sayangnya, blandongan yang satu tahun lalu diberitakan masih nampak di samping Masjid Al Amin, kini sudah tiada. Hanya tinggal rumah bercorak Betawi yang masih apik dan terpelihara, dihuni anak dan mantunya. Adapun blandongan yang masih terlihat, justru ada di teras rumah yang kini dihuni istri almarhum Haji Sanan.

Blandongan milik Haji Sanan di samping Masjid Al Amin, Kampung Bulak, Benda Baru, Pamulang, ketika masih berdiri kokoh. (Foto: Yudo Mahendro/Kompasiana)

Kini, blandongannya sudah tidak ada lagi. Hanya ada petilasannya saja. Dengan Masjid Al Amin di sisi kiri, dan rumah bercorak Betawi di sisi kanannya. Rumah ini dihuni anak dan mantu almarhum Haji Sanan. (Foto: Gapey Sandy)

Rumah ini dihuni istri almarhum Haji Sanan, dan masih nampak bergaya blandongan di teras rumahnya. (Foto: Gapey Sandy)

Dari sini, sebagai salah seorang warga Tangsel yang peduli akan kelestarian seni budaya lokal, penulis berharap Pemkot Tangsel cepat mengantisipasi dengan melakukan pendataan dan validitas data bangunan blandongan yang masih tersisa. Untuk kemudian dijadikan semacam ‘benda cagar budaya’, agar lestari keberadaannya. Sekaligus, Pemkot Tangsel memberi bantuan biaya pemeliharaan dan perawatan kepada pemilik blandongan.

Jangan sampai, blandongan yang merupakan salah satu item Lambang Kota Tangsel diruntuhkan. Sehingga, ketika warga masyarakat hendak melihat langsung seperti apa bangunan itu, malah sudah tidak ada sama sekali. Atau, hanya tersisa petilasan blandongannya berikut hikayat lisannya saja. Duh, miris!

#Save_Blandongan

 

oooOooo

 

Foto #1: Tiang kayu blandongan di rumah Haji Kasta, Jalan Cabe IV, Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangsel. (Foto: Gapey Sandy)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun