Tiang coran beton dan semen ini akan terbungkus papan kayu. Sehingga menambah kesan tradisional bangunan blandongannya,” sarannya sambil tak urung mengkhawatirkan Gelanggang Budaya kebanjiran, karena lokasinya yang persis berdampingan, dengan sungai yang melintas di Taman Kota 2. “Meskipun kabarnya sudah ditinggikan sekitar 10 cm, tapi saya tetap khawatir banjir”.
Keberadaan blandongan di Tangsel, menurut informasi yang diterima penulis, ada juga di Kampung Bulak, Kelurahan Benda Baru, Pamulang. (Baca tulisan Yudo Mahendro di Kompasiana). Blandongan yang dimiliki Keluarga Haji Sanan ini tidak begitu sulit dijumpai. Tinggal masuk Gang Anggrek melalui Pamulang 2, lalu bertemu pertigaan dan berbelok ke kanan menuju ke Masjid Al Amin. Haji Sanan sendiri sudah berpulang ke rahmatullah. Hanya tinggal istri almarhum, bersama dengan anak menantunya.
Sayangnya, blandongan yang satu tahun lalu diberitakan masih nampak di samping Masjid Al Amin, kini sudah tiada. Hanya tinggal rumah bercorak Betawi yang masih apik dan terpelihara, dihuni anak dan mantunya. Adapun blandongan yang masih terlihat, justru ada di teras rumah yang kini dihuni istri almarhum Haji Sanan.
Dari sini, sebagai salah seorang warga Tangsel yang peduli akan kelestarian seni budaya lokal, penulis berharap Pemkot Tangsel cepat mengantisipasi dengan melakukan pendataan dan validitas data bangunan blandongan yang masih tersisa. Untuk kemudian dijadikan semacam ‘benda cagar budaya’, agar lestari keberadaannya. Sekaligus, Pemkot Tangsel memberi bantuan biaya pemeliharaan dan perawatan kepada pemilik blandongan.
Jangan sampai, blandongan yang merupakan salah satu item Lambang Kota Tangsel diruntuhkan. Sehingga, ketika warga masyarakat hendak melihat langsung seperti apa bangunan itu, malah sudah tidak ada sama sekali. Atau, hanya tersisa petilasan blandongannya berikut hikayat lisannya saja. Duh, miris!
#Save_Blandongan
oooOooo