Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Pendidik dan Jurnalis Bermitra Atasi Wartawan Nakal

8 Oktober 2015   23:10 Diperbarui: 9 Oktober 2015   04:55 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gemas menghadapi oknum wartawan yang seringkali berulah tidak sesuai dengan etika profesi, para praktisi pendidikan se-Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta Selatan, menggelar Workshop Kemitraan Jurnalis dengan Dinas Pendidikan, Kamis, 8 Oktober 2015 di Ruang PKG Kecamatan Pesanggrahan. Sekitar 80 Kepala Sekolah dan Guru SD, SMP, SMA dan SMK se-Kecamatan Pesanggrahan hadir pada perhelatan yang bertema “Kita Bangun Kemitraan Yang Lebih Baik”.

Mengapa para praktisi pendidikan ini gemas menghadapi ulah oknum wartawan? Rupanya, fakta terkuak, sejumlah oknum yang mengaku-aku wartawan kerapkali datang ke sekolah-sekolah, demi mencari kepentingan pribadi dengan dalih peliputan berita, atau mengklarifikasi selentingan kabar yang seolah mengada-ada. Ujung-ujungnya, oknum wartawan ini hanya berusaha mendapatkan uang belaka.

Hal ini diakui Kepala Suku Dinas Pendidikan Wilayah I Jakarta Selatan, Drs H Nasruddin MPd ketika membuka secara resmi, workshop yang menampilkan pembicara utama Drs Kamsul Hasan SH MH selaku Ketua Komisi Kompetensi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat.

Dalam sambutannya, Nasruddin mengungkapkan pengalaman pribadinya. Ia pernah didatangi seseorang yang mengaku wartawan, dan beralasan hendak meminta konfirmasi terkait kabar yang beredar bahwa ada salah satu Sekolah Dasar di Jakarta Selatan yang disebut-sebut mengutip uang pungutan sekolah.

KIRI: Drs Kamsul Hasan SH MH selaku Ketua Komisi Kompetensi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat. KANAN: Kepala Suku Dinas Pendidikan Wilayah I Jakarta Selatan, Drs H Nasruddin MPd. (Foto: Gapey Sandy)

“Ketika saya disodorkan informasi dari orang yang mengaku wartawan itu, saya segera melakukan klarifikasi dengan menelepon ke Kepala Sekolah yang disebut-sebut mengutip uang pungutan tersebut. Seketika itu juga, di hadapan orang yang mengaku wartawan tersebut, saya menelepon dan memperoleh klarifikasi, bahwa masalah yang ditanyakan si oknum wartawan tersebut, sebenarnya sudah terselesaikan. Nah, begitu saya jelaskan kepada si oknum wartawan tersebut, akhirnya bukan masalah klarifikasi berita itu lagi yang ditanyakan, tapi belakangan, sebelum pamit pulang, si oknum wartawan ini mengaku hendak pulang kampung karena ada keluarganya yang sakit, dan meminta sejumlah uang,” urai Nasruddin.

Berbekal pengalaman di lapangan seperti itu, Nasruddin mengaku sangat bangga dengan pelaksanaan workshop kemitraan ini. “Bangga, karena dengan kemitraan itu berarti ada kerjasama, tidak saling menzalimi, saling damai, dan tidak ada yang merasa ditekan apalagi merasa menekan. Selama ini, apakah benar wartawan itu kalau datang ke sekolah-sekolah hanya untuk menekan pihak sekolah saja? Jawabannya, tentu kembali kepada maksud dan tujuan wartawan tersebut datang ke sekolah,” jelasnya.

Sedangkan dari pihak sekolah---sebagai penerima tamu---, lanjut Nasruddin, tentu akan melaksanakan salah satu ciri orang beriman yaitu memuliakan tamunya. “Tapi, bagaimana mungkin ini bisa terjadi, kalau wartawannya sendiri melakukan hal-hal yang kurang beretika. Misalnya, kalau ada kabar terkait isu pendidikan, pasti mereka akan coba mengungkapnya, tapi ketika mereka yang mengaku wartawan tersebut sudah diberi uang, mereka justru menghilang,” urainya prihatin.

Kamsul Hasan, Ketua Komisi Kompetensi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat saat menyampaikan paparannya. (Foto: Gapey Sandy)

Dengan blak-blakan Nasruddin mengatakan, oknum wartawan yang datang ke sekolah-sekolah dengan maksud mencari berita, mencari-cari kesalahan, dan ujung-ujungnya mencari uang, bisa menjadi ‘teman’ sekaligus ‘musuh’. “Artinya, kalau sudah dikasih uang, oknum wartawan ini berlagak seperti teman, sedangkan kalau tidak diberi uang, mereka menjadi musuh. Padahal, ibarat perang, kalau wartawan berhadapan dengan praktisi pendidikan, maka sudah pasti, wartawan yang akan menang. Karena, wartawan itu seakan bekerja di luar ring, sedangkan kita para praktisi pendidikan bekerja di dalam ring. Sebagai orang yang berada di luar ring, wartawan bisa berlari kemana saja, sedangkan kita yang ada di dalam ring tidak bisa mengejar dan terbatas dalam melakukan perlawanan,” ujar Nasruddin menyentil.

Peran Kalangan Pendidikan Memantau Pers dan Penyiaran

Mengawali paparannya sebagai pembicara utama, Kamsul Hasan mengingatkan kepada seluruh peserta workshop, bahwa sebagai bahagian dari masyarakat ternyata dapat berperan serta melakukan pemantauan dan pelaporan analisis mengenai pelanggaran hukum, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan Pers.

Peran serta masyarakat ini merupakan amanat Pasal 17 UU No.40/1999 tentang Pers.

  • Pasal 17 ayat (1) Masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan.
  • Pasal 17 ayat (2) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa: (a). Memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, dan keleiruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers. (b). Menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional.

“Peran serta masyarakat, termasuk kalangan pendidikan seperti semua yang hadir dalam workshop ini, bahkan lebih jelas lagi disebutkan dalam UU No.32/2002 tentang Penyiaran,” ungkap Kamsul.

Inilah sejumlah Pemantau Media. (Sumber: dewanpers.or.id)

Seperti yang ditegaskan dalam UU Penyiaran khususnya:

  • Pasal 52 ayat (1) Setiap Warga Negara Indonesia memiliki hak, kewajiban, dan tanggung-jawab dalam berperan serta mengembangkan penyelenggaraan penyiaran nasional.
  • Pasal 52 ayat (2) Organisasi nirlaba, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, dan kalangan pendidikan dapat mengembangkan kegiatan literasi dan/atau pemantauan Lembaga Penyiaran.
  • Pasal 52 ayat (3) Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat mengajukan keberatan terhadap program dan/atau isi siaran yang merugikan.

“Kepada seluruh peserta workshop ini, yang merupakan Warga Negara Indonesia dan juga berasal dari Kalangan Pendidikan, maka sesuai aturan hukum tersebut, jelas memiliki dua hak dan kewajiban serta tanggung-jawab sekaligus, untuk memantau Lembaga Penyiaran,” tutur Kamsul.

Riana, peserta workshop ketika bertanya tentang bagaimana mengetahui Wartawan Asli dan yang hanya mengaku-aku wartawan saja. (Foto: Gapey Sandy)

Wartawan Asli atau Abal-abal?

Pada kesempatan yang sama, Kamsul Hasan juga menerangkan bagaimana cara melakukan pengaduan secara online dari masyarakat kepada Dewan Pers. “Klik saja situs dewanpers.or.id lalu pilih Pengaduan. Dalam Pengaduan ini ada Prosedur, Form Pengaduan yang harus diisi, Status Pengaduan, Laporan Pengaduan, dan Penyelesaian. Silakan dan jangan takut, masyarakat dapat memanfaatkan fasilitas pengaduan ke Dewan Pers ini,” pesan mantan Ketua PWI Cabang DKI Jakarta selama dua periode, sejak 2004 hingga 2014 ini.

Sebagai catatan, sepanjang Agustus 2015, menurut situs dewanpers.or.id, Dewan Pers berhasil menyelesaikan 13 pengaduan melalui mediasi-ajudikasi. Empat mediasi dilakukan di Pangkalpinang dan Bangka Belitung, sedangkan sembilan mediasi dilakukan di Surabaya, Jawa Timur. Dewan Pers juga sudah mengeluarkan tiga Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR).          

Sementara itu, menjawab pertanyaan salah seorang peserta, Riana, tentang bagaimana mengetahui bahwa wartawan yang datang adalah benar-benar pekerja pers atau bukan, Kamsul Hasan menyebut dua hal yang bisa dilakukan.

Pertama, cek nama wartawan tersebut melalui situs dewanpers.or.id. “Cermati di sana, apakah nama yang bersangkutan termasuk wartawan yang sudah memiliki sertifikasi atau belum. Caranya? Buka situs Dewan Pers, dan klik Sertifikasi. Di situ, akan muncul nama-nama wartawan yang sudah tersertifikasi. Meskipun, bukan berarti wartawan yang tidak tercantum di daftar ini belum memiliki sertifikasi, karena proses input nama-nama wartawan tersebut kadangkala juga agak terlambat dilakukan oleh Dewan Pers. Tapi, tak bisa dipungkiri, jumlah wartawan yang sudah tersertifikasi memang jauh lebih sedikit kalau dibandingkan dengan wartawan yang belum tersertifikasi,” ujar pria kelahiran Kebon Sirih, Jakarta, 15 Maret 1960 ini.

Sejumlah Status Pengaduan yang dipublikasikan Dewan Pers melalui situs resminya. (Sumber: dewanpers.or.id)

Kedua, cermati secara seksama medianya. “Terutama, perhatikan badan hukum perusahaan tersebut. Kalau bukan berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT), Yayasan, dan Koperasi, maka itu adalah hanyalah media tapi non Pers. Kalau hanya berbadan hukum CV misalnya, maka itu pun juga bukan media atau Perusahaan Pers,” terang Dosen IISIP Jakarta, dan MM Communication Universitas Trisakti, Jakarta ini.

Kamsul melanjutkan, berdasarkan Surat Edaran Dewan Pers No.01/SE-DP/I/2-14 tentang Pelaksanaan UU Pers (UU No.40/1999) dan Standar Perusahaan Pers (Peraturan Dewan Pers No.4/2008) disebutkan, “Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia”. (Pasal 9 Ayat (2) UU No.40/1999). Sesuai Standar Perusahaan Pers, badan hukum Indonesia yang dimaksud di atas berbentuk PT atau badan-badan hukum lainnya yang dibentuk berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Badan hukum lainnya yaitu yayasan atau koperasi.

Sambil mengarahkan pandangan peserta ke layar slide makalahnya, Kamsul memberi contoh situs online Kompas.com, sebagai media Pers online. “Karena memang terlihat di situsnya, badan hukum berupa PT, yaitu PT Kompas Cyber Media. Kita bisa meng-klik tentang status badan hukum ini pada window About Us di Kompas.com tersebut. Beda misalnya, dengan situs depoknews.id yang ketika kita klik window Redaksi, tidak tercantum status badan hukumnya. Begitu juga, pada penjelasan About Us, tidak menyebutkan status badan hukumnya. Boleh dibilang, media tanpa status badan hukum, sesuai Surat Edaran Dewan Pers tadi, maka ini termasuk media online non Pers,” urai Ketua Dewan Kehormatan Provinsi PWI DKI Jakarta, yang juga Satgas Pers ini.

Contoh hasil penyelesain pengaduan Kode Etik Jurnalistik oleh Dewan Pers. (Sumber: dewanpers.or.id)

Kamsul menegaskan, media non Perusahaan Pers atau yang tidak berstatus badan hukum PT, Yayasan, atau Koperasi, tentu tidak akan dilindungi oleh UU Pers. “Artinya, kalau mereka melakukan tindakan yang diduga melanggar etika, seperti melakukan gangguan, ancaman, dan paksaan kepada pihak sekolah, maka Kepala Sekolah atau penanggung-jawab sekolah berhak memanggil Satpam dan mengusir mereka. Kalau perlu, laporkan ke pihak Kepolisian, karena nantinya akan diproses menggunakan KUHP atau UU No.11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), serta tidak lagi menggunakan UU Pers sebagai parameternya, karena mereka adalah media yang tidak termasuk Perusahaan Pers,” tegas Kamsul yang meraih titel Sarjana Komunikasi dari Sekolah Tinggi Publisitik (STP) Jakarta, pada 1990.

Turut hadir pada workshop ini adalah Kasie Pendidikan Kecamatan Pesanggrahan H Joko Soemardi, Wakil Sekretaris PWI DKI Jakarta Kesit B. Handoyo, dan Ketua PWI Jakarta Selatan Pangehutan Simatupang.

Duh, kapan nih blogger melakukan program serupa seperti ini?

ooOoo

Foto #1: Ketua Komisi Kompetensi PWI Pusat, Kamsul Hasan ketika menyampaikan paparannya pada Workshop Kemitraan Jurnalis dengan Dinas Pendidikan Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta Selatan, 8 Oktober 2015. (Foto: Gapey Sandy)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun