Masih di sisi kiri jembatan, persis di sebelah bawah tempat saya memarkir sepeda. Terdapat tulisan yang digantung di atas kayu panjang: ‘Kampung Ramah Anak’, Jetisharjo RW 01. Sayangnya, kalau mau reportase ke “kampung” itu, saya harus terlebih dulu menuruni banyak anak tangga yang curam, menuju bantaran Kali Code. Bimbang, karena itu artinya, saya harus meninggalkan sepeda di atas jembatan ... haddeeuuuhhhhh. Terpaksalah, saya urungkan hasrat melakukan reportase ke bawah, ke ‘Kampung Ramah Anak’ ini.
Masih dari atas jembatan Kali Code, saya juga teringat tulisan Kompasianer Ratih Purnamasari. Tulisan mahasiswi S2 UGM yang tinggal menanti prosesi wisuda pada Desember mendatang itu berjudul, Cara Sendangsono Lestarikan Air. Isinya, antara lain menukil kisah tentang bagaimana mendiang Romo Mangunwijaya menggerakkan komunitas pendidikan yang diantaranya juga berupaya merawat kelestarian Kali Code.
Dari jembatan Kali Code di Jalan Prof DR Sardjito, sepeda saya gowes lagi, menuju balik ke Jalan AM Sangaji. Lalu berbelok ke kiri, untuk langsung menuju ke arah Tugu Jogja yang ada di tengah-tengah perempatan antara Jalan AM Sangaji (arah dari Hotel Tentrem), Jalan Jenderal Sudirman (sisi kiri), Jalan Diponegoro (sisi kanan), dan Jalan Margo Utomo atau Jalan Pangeran Mangkubumi (yang lurus arah ke Malioboro).
Simbol dan Filosofi Tugu Jogja
Karena lalu-lintas tidak terlalu padat, saya asyik saja menggowes sepeda melintasi perempatan Tugu Jogja yang area simpangannya lumayan luas. Tidak ada pengemudi mobil atau motor yang selanang-selonong, apalagi sampai mencet-mencet klakson gara-gara mungkin terganggu dengan laju sepeda yang sengaja saya gowes santai.
Selepas Tugu Jogja, berarti saya sudah memasuki Jalan Margo Utomo atau dulunya adalah Jalan Pangeran Mangkubumi, dan dari sini sudah mulai nampak kawasan Malioboro. Pengembalian nama Jalan Margo Utomo yang menggantikan nama Jalan Pangeran Mangkubumi dilaksanakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X, pada 20 Desember 2013 lalu. Selain itu, dua nama jalan lainnya juga dikembalikan, yaitu Jalan Ahmad Yani yang menjadi Jalan Margo Mulyo, lalu Jalan Trikora menjadi Jalan Pangurakan.
Pengembalian nama jalan, kata Sri Sultan, bukan berarti tidak menghargai nama Jalan Trikora, Ahmad Yani dan Pangeran Mangkubumi. Tetapi pengembalian ini lebih mengacu kepada sejarah berdirinya Keraton Yogyakarta, yang tidak terlepas dari hablumminannas (hubungan antar sesama manusia) dan hablumminallahi (hubungan dengan Tuhan). Sedangkan Pal Putih Tugu dan Beteng Krapyak merupakan bentuk simbolisasi hablumminallah dan hablumminannas itu.