Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Squee, Berbagi ‘Jalan Tikus’ di Social Media (2)

29 Juli 2015   05:45 Diperbarui: 11 Agustus 2015   21:34 1758
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Gagasan Squee Mobile App sukses menjadi finalis terbaik peringkat pertama. Aplikasi yang intinya berbagi ‘jalan tikus’ di Jakarta melalui social media ini menyisihkan para empunya ide kreatif lainnya pada kompetisi Jakarta Urban Challenge (JUC) di acara New Cities Summit 2015 yang diselenggarakan di Jakarta, baru-baru ini.

Tim Squee terdiri dari empat anak muda brilian. Mereka adalah Arlene Nathania yang berlatarbelakang Arsitek, Urban and Real Estate Planner; Edy Haryono (Web-App Developer); Dicke Nazzary Akbar (Arsitek, designer, Urbanist); dan, Marissa Pudjiadi yang merupakan seorang Dokter Anak sekaligus co-founder Yayasan Mitra Anak Indonesia. “Background kita berbeda-beda, tapi justru disitulah kekuatan tim kita, bisa saling melengkapi,” tukas Arlene menjawab wawancara tertulis via email dengan penulis.

Menurut Arlene, Tim Squee siap menyuguhkan layanan yang bermanfaat. “Satu, mapping dan informasi sehubungan dengan rute pejalan kaki atau pesepeda yang ada di Jakarta, termasuk fungsi navigasi dan lokasi-lokasi tempat unik yang menunjukkan sisi kehidupan kota yang sifatnya ‘Jakarta Banget’ di rute tersebut. Dua, social media-related information: profile si user, jadwal appointment pribadi atau public event untuk nge-Squee bareng, status maupun experience update berupa text, image, video yang di-share oleh Squeeian saat atau sesudah nge-Squee,” terangnya.

Empat anak muda penggagas layanan social media Squee Mobile App. (Foto: squee.io)

Pada prinsipnya, lanjut Arlene, Squee Mobile App adalah mobility social media yang berbasis komunitas dan crowdsourced data juga information. Jadi, apapun yang di-share oleh satu Squeeian, dapat membantu Squeeian lain untuk merencanakan rute perjalanannya. “Semakin banyak user yang aktif meng-input informasi ke Squee, sekaligus di-konfirm oleh sesama Squeeians lainnya, mapping dan informasi sehubungan dengan rute pejalan kaki maupun pesepeda yang ada di Jakarta dalam Squee tentu akan semakin lengkap dan akurat,” urainya.

Ide Squee Mobile App memang ciamik. Tak aneh bila Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama pun ikut kepincut. “Respon Pak Basuki dan tim beliau sangat positif. Waktu diundang ke Balai Kota, selain presentasi dari ketiga finalis, Pak Gubernur juga sharing ide-ide beliau tentang kota Jakarta yang sehubungan dengan transportasi aktif dan smart city program,” tutur penggemar travelling dan wisata kuliner ini.

Melanjutkan pemuatan tulisan sebelumnya, Squee, Berbagi ‘Jalan Tikus’ di Social Media (1), berikut ini tulisan sambungan wawancara dengan Arlene Nathania, yang kini tengah menyelesaikan studi di Hamburg, Jerman.

Selengkapnya:

Ketika Tim Squee menyampaikan gagasan Squee Mobile App kepada Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama. (Foto: Arlene Nathania/Squee)

o o o O o o o

Proses pemetaan ‘jalan-jalan tikus’ itu hingga tersaji dalam layanan aplikasi, bagaimana nantinya itu?

Dengan system crowdscourcing memanfaatkan geo-location para Squeeians. Artinya, bukan survei manual.

Nuansa berjalan kaki di Jerman dengan di Jakarta yang penuh dengan polusi, sampah, trotoar buruk, keamanan dan lainnya. Bagaimana Squee Mobile App memahami ini, dan mengembangkannya jadi lebih baik?

Kalau menurut saya, rumput tetangga memang biasanya terlihat lebih hijau sih, padahal enggak begitu juga, hehehe. Jerman itu dingin. Apalagi, Hamburg. Sering hujan dan berangin-angin, eh, anginnya bisa bikin pohon dan palang besi ambruk. Akan percuma juga pakai payung kalau di sini, pasti rusak payungnya, hahaha. Sedangkan kalau lagi winter, jalanan super licin dan suhunya bisa di bawah nol. Dulu, malah sempat minus 10 sampai 20 derajat celcius, yang kalau untuk menggerakkan jari-jemari aja sampai susah. Kalau lagi bersalju, cantiknya cuma pas turun saljunya saja, besok-besoknya salju cair dan becek-becek, juga membuat jalanan jadi kotor karena bercampur tanah, mirip becek-nya Jakarta. Kita di Hamburg, harus pakai jaket winter yang tebal dan beratnya minta ampun, jadi kalau untuk berjalan kaki atau naik sepeda itu sudah pasti bakal super ribet.

Di Jerman, juga ada spot-spot kota yang banyak homeless, pemabuk, pengangguran, dan gerombolan anak-anak punk. Tapi, mereka tidak berbahaya sih, hanya suka bikin risih saja. Tapi, kalau malam serem juga, apalagi jam 6 sore, atau 8 malam ke atas, sama hari Minggu, rata-rata semua toko sudah tutup, kota jadi sepi. Kalau jalan di region tertentu, jalanannya panjang-panjang dan gelap-gelap gitu. Kriminalitas sih mungkin jarang ya, meski ada juga kasus-kasus tertentu, tapi depresifhahaha. Terus, kadang-kadang ada lokasi yang jorok juga, banyak graffiti, bau pesing, bau muntah, macam-macam deh.

Contoh lain, di Paris misalnya. Ini kota daerah publik dan jaringan Metro-nya, atau MRT di sana, super kotor dan bau. Plus, banyak tukang copet, kriminalitas dan homeless atau ‘gypsi-gypsi’ gitu. Dulu, teman dekat saya pernah tinggal di Paris satu semester, pas lewat ujung gang sempit deket rumah malam-malam, dia sempat lihat orang lagi ditodong pakai pistol. Itu serem banget. Kalau menurut saya, di Eropa juga enggak semua jalan bagus dan aman ‘kok, kita pun harus tahu informasi setempat. Semakin turistik dan besar suatu kota, malah memancing banyak kriminalitas dan homeless enggak jelas gitu. Apalagi, banyak pengangguran akibat krisis yang melanda negara-negara di Eropa Selatan dan Timur. Tantangannya, jelas berbeda.

Arlene Nathania, paling tengah. Berpose bersama Muhammad Yunus, pemenang Nobel Perdamaian dan Pendiri Grameen Bank, nomor dua dari kanan, ketika acara New Cities Summit 2015 di Jakarta. (Foto: Arlene Nathania/Squee)

Struktur kota Eropa, sebenarnya kurang lebih fisiknya mirip dengan Jakarta. Apalagi kalau kita ingat, Jakarta juga ‘kan pengembangannya mirip kota Belanda dulu. Tapi di Eropa, karena banyak kota tua, struktur jalan di pusat kota juga ukurannya kecil-kecil. Tidak ada jalan yang semegah atau selebar Jalan Sudirman maupun Kuningan (Jalan Rasuna Said) di tengah kota, kecuali jalan tol yang letaknya di pinggiran. Bahkan di beberapa kota, seperti Bremen dan Lisbon misalnya, ada gang-gang kecil persis seperti yang ada di kampung Jakarta. Kalau di Porto, Portugal, dulu malah plus jemuran baju berjejer di jalan-jalan juga ‘lho, hahaha … Tapi, turis-turis justru malah seneng lihatnya.

Menurut tim kami, faktor yang membuat arah perkembangan kotanya berbeda, ada tiga hal: Pertama, komunitas pejalan kaki dan pesepedanya dari dulu merupakan mayoritas, sehingga otomatis jadi prioritas di jalan. Dari dulu kultur berjalan dan bersepeda memang dipelihara mendarah daging, tapi ya ini kultur ratusan tahun ya. Meski Jerman terkenal sebagai produsen mobil, mobil murah, mereka pakai mobil hanya kalau perlu saja, misalnya bila membawa anak atau baby, atau harus ke luar kota, maupun ketika pas mau jalan-jalan di akhir pekan.

Kedua, di Eropa memang sudah punya system transport umum berbasis transit berupa bus, trem, kereta dalam kota, kereta regional, kereta hi-speed, kereta antar negara yang mapan. Di Uni Eropa, orang bisa kemana-mana jalan kaki dari satu negara ke negara lain, enggak hanya sebatas kota. Tapi ini kalau kita bandingkan end product ya, Jerman sendiri butuh waktu puluhan tahun untuk bangun infrastrukturnya. Mahal pula. Disini, harga tiket untuk layanan langganan kereta lumayan mahal kalau dibandingkan busway di Jakarta. Tapi, saya lihat Jakarta juga plan-nya bakal ke arah yang sama, hanya timeline dan starting point-nya berbeda.

Ketiga, rata-rata sudah dilengkapi dengan rambu-rambu yang strict dan ada jalur sepeda maupun pejalan kaki, serta fasilitas bike-sharing. Jadi penduduknya tertib. Sekali lagi, ini terkait dengan faktor nomor 1. Jadi, yang nomor 3 ini merupakan item turunan. Di Hamburg sendiri, fasilitas bike-sharing --- disini namanya StadtRad --- baru hadir beberapa tahun terakhir. Jalur sepeda juga masih belum menyeluruh. Kota München atau Munich sudah mau ikut-ikutan Copenhagen dan Stockholm, yakni ada rencana mau bikin jalur sepeda di jalan tol. Trend seperti ini juga trend yang menjawab isu climate change juga. Tapi kami optimis, Jakarta sudah mulai hal yang sama.

Ilustrasi aplikasi Squee pada smartphone. (Foto: Arlene Nathania/Squee)

Bagi tim Squee, kondisi fisik Jalan itu given atau tidak bisa dirubah sekejap mata. Kalau mau nunggu MRT mencakup seluruh Jakarta, tentunya butuh waktu yang cukup panjang sampai sistemnya berfungsi penuh. Tapi ‘kan kita enggak bisa menunggu secara pasif. Lewat Squee, kami mau merombak faktor nomor 1-nya, yakni kekuatan komunitas dan pengembangan kultur transportasi aktif. Kalau komunitas ini berkembang dan menjadi market utama di kota, akan banyak stakeholder pembangun kota yang memprioritaskan pejalan kaki dan pesepeda juga pada akhirnya.

Bagaimana dengan rute khusus untuk lintasan sepeda?

Tambahan untuk sepeda, nanti saat signing up dan memulai rute, ada pilihannya mau mencari rute sepeda atau berjalan kaki, dan si Squeeians memberi input apakah mereka sedang berjalan kaki atau bersepeda saat nge-Squee. Nanti, sistem mapping kita akan membedakan rute untuk sepeda, mana yang hanya bisa dilewati pejalan kaki. Nanti data traffic-nya kita generate, kalau di sana pesepeda sering lewat, artinya ada jalur yang bikeable, terlepas disana ada bike lane khusus atau sekadar trotoar eksisting. Nanti, user juga bisa kasih input kalau ada bike lane yang baru dibuat, atau ada trotar baru yang nyaman untuk sepeda. Ada faktor waktu juga, misalnya pas Car Free Day, otomatis yang tadinya jalan raya jadi jalur sepeda. Kalau semua orang pada nge-Squee di lokasi tersebut pada waktu tertentu, datanya terakumulasi secara realtime, jadi orang lain tahu di sana sepeda bisa lewat.

Rencananya, kapan Squee Mobile App akan dilakukan trial and error, lalu diluncurkan?

Kami berencana untuk meluncurkan versi Beta di awal tahun 2016 pada kuartal pertama. Yang aktif memakai versi Beta ini akan kami sebut the first Squeeians. Kita mau melibatkan para first Squeeians ini untuk mengembangkan feature-feature Squee, ini penting sekali sebagai starting point, sehingga pengembangan app-nya interaktif dan tepat guna.

Seberapa besar manfaat Squee Mobile App untuk meningkatkan mobilitas warga kota dan menjawab derita kemacetan di Jakarta?

Sebagai fokus awal, kita ingin memfasilitasi orang-orang yang sudah pada dasarnya menjadikan jalan kaki dan bersepeda sebagai moda transportasi utama terlebih dahulu. Lama-lama ‘kan komuter-komuter aktif ini makin kuat, makin eksis, bisa bercerita kalau jalan kaki dan naik sepeda itu sebenarnya praktis, seru, keren, dan bersifat sosial. Akhirnya, mungkin nanti teman-teman dekatnya juga ikutan coba nge-Squee bareng. Pada akhirnya, bisa terbentuk suatu budaya transport aktif yang solid di kalangan penduduk Jakarta.

Kita ingin mengingatkan, bahwa jalan kaki dan bersepeda bagaimanapun merupakan salah satu alternatif mobilitas, yang dapat memberikan perspektif streetscapes atau landscape kota yang berbeda. Dengan berjalan kaki atau naik sepeda, otomatis kita tidak akan pernah terjebak macet, alias bisa ‘kabur’ kapan saja. Kuncinya ya di komunitas itu sendiri. Hipotesis kami, misalnya, kalau di Jakarta hanya ada 800.000 ribu trip komuter aktif, sementara yang trip mobil atau motor 22 juta, tentunya sudah menurut hukum alam yang minoritas akan kalah dan terlupakan. Jalan di kota pasti akan terlihat menyiksa bagi pejalan kaki maupun pesepeda. Mau idealis tetap jalan dan bersepeda pun tetap ada risiko diserobot serta ditabrak kendaraan bermotor. Tapi bayangkan kalau angkanya dibalik, meskipun setting-nya sama persis --- apa adanya, tidak usah ideal seperti di Jerman misalnya ---, seneng-seneng aja ‘kan jalan kaki kalau temannya se-kota?

Satu gang sempit di Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, dimanfaatkan anak-anak untuk bermain bola. Andai saja ini dapat menjadi ‘jalan-jalan tikus’ yang saling menghubungkan wilayah satu dan lainnya, tentu akan masuk dalam ‘radar’ Squee Mobile App. (Foto: liputan6.com)

Apakah ide Squee Mobile App akan dikembangkan untuk kota-kota lain selain Jakarta?

Ya, sistemnya expandable.

Bagaimana respon Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama terhadap gagasan Squee Mobile App ini?

Respon Pak Basuki dan tim beliau sangat positif. Waktu diundang ke Balai Kota, selain presentasi dari ketiga finalis, Pak Gubernur juga sharing ide-ide beliau tentang kota Jakarta yang sehubungan dengan transportasi aktif dan smart city program. Banyak yang overlapping, jadi beliau amat sangat welcome kalau bisa saling support, terutama hal-hal teknis yang bisa diintegrasikan dalam smart city. Kerjasama dengan PemProv DKI Jakarta ini sangat penting terutama saat pengembangan informasi transit sistem dan keamanan kota yang kami wujudkan dalam bentuk Squeak! Button, misalnya, bisa diintegrasikan dengan sistem mereka juga. Video meeting kami dengan beliau bisa dilihat di YouTube ini.

Apa yang akan ditindaklanjuti oleh Gubernur DKI Jakarta sebagai bentuk apresiasi atau responnya?

Kami sudah dikenalkan oleh Pak Gubernur dengan Pak Setiaji, head-nya Jakarta Smart City Program. Nanti, untuk mengintegrasikan Squee dengan Smart City, kami akan berhubungan langsung dengan Pak Setiaji guna untuk mendiskusikan hal-hal teknis. Mungkin, pembaca bisa juga membaca artikel ini. (*)

* Foto #1 Bersama Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama yang menyatakan siap mendukung ide dan gagasan Squee Mobile App. Arlene Nathania, paling kiri. (Foto: Arlene Nathania/Squee)

o o o O o o o

Profil Narasumber

Arlene Nathania (Foto: Dokpri)

Nama lengkap: Arlene Nathania. * Lahir di Jakarta. * Pendidikan: PhD Candidate, dan masih sedang berjalan. * Pendidikan Tinggi: S1 Arsitektur Universitas Tarumanagara, S2 Magister Teknik Perencanaan (Real Estate & Urban Planning) di Universitas Tarumanagara, Jakarta. * Kini sedang menyelesaikan studi di HafenCity Universität (HCU), Hamburg, Jerman. * Hobi: Travelling, kuliner. * Buku favorit: Buku yang pernah saya baca, sekali saja sih bacanya hehehe, dan masih saya anggap keren yaitu: Freakonomics series dan karya-karyanya Malcolm Gladwell dan Nicholas Nasim Taleb, Richard Florida, Jane Jacobs, dan Thomas Friedman. * Film favorit: Tidak ada sih, belakangan saya suka nontonin video TedTalks. Tapi ada satu film dokumenter yang cukup notable yaitu Citizen Four. Saya pikir, film ini wajib ditonton oleh para jurnalis nih, hehehe. Sekarang, saya lagi iseng ngikutin serial Silicon Valley, Mr Robot (cyber thriller). * Makanan favorit: Susah nih jawabnya, soalnya banyak yang disuka jenis kulinernya, hahaha

Opini Arlene sebagai arsitek tentang Jakarta:

Pertama, meskipun pernah merasakan tinggal di luar negeri, dalam hal ini di Jerman dan sebelumnya di Singapura, serta travelling kemana-mana, saya tetap merasa Jakarta itu ada charm-nya tersendiri. Jakarta punya banyak potensi sebenarnya, masyarakatnya juga super kreatif, makanya saya optimis bisa dikembangkan menjadi lebih baik asal approach-nya tepat dan didukung masyarakatnya (bottom up), tidak bergantung top-down approach saja. Terlebih lagi, Jakarta itu terkenal sebagai market teknologi mobile phone dan social media yang paling besar dan berkembang di dunia. Jadi pendekatan teknologi itu penting sekali untuk memecahkan masalah perkotaan.

Kedua, kalau saya bandingkan, seiring dengan isu climate change, sustainability, dan perkembangan IT, kota maju dan berkembang sudah tidak ada bedanya lagi. Semua sama-sama berada pada starting point yang sama untuk mencari city models (model perkotaan) yang paling tepat guna untuk kotanya masing-masing, dan biasanya pendekatannya kontekstual, yang artinya harus mengenal kotanya itu sendiri, tidak bisa asal copy satu model diulang di kota lain. Malah, kadang-kadang ada teknologi dengan pendekatan tradisional yang lebih sustainable. Dengan approach yang tepat, kita justru bisa merubah isu-isu urban yang tadinya dianggap sebagai ancaman (threats) menjadi opportunities”.

o o o O o o o

Baca tulisan sebelumnya:

Squee, Berbagi ‘Jalan Tikus’ di Social Media (1)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun