Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Squee, Berbagi ‘Jalan Tikus’ di Social Media (2)

29 Juli 2015   05:45 Diperbarui: 11 Agustus 2015   21:34 1758
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Proses pemetaan ‘jalan-jalan tikus’ itu hingga tersaji dalam layanan aplikasi, bagaimana nantinya itu?

Dengan system crowdscourcing memanfaatkan geo-location para Squeeians. Artinya, bukan survei manual.

Nuansa berjalan kaki di Jerman dengan di Jakarta yang penuh dengan polusi, sampah, trotoar buruk, keamanan dan lainnya. Bagaimana Squee Mobile App memahami ini, dan mengembangkannya jadi lebih baik?

Kalau menurut saya, rumput tetangga memang biasanya terlihat lebih hijau sih, padahal enggak begitu juga, hehehe. Jerman itu dingin. Apalagi, Hamburg. Sering hujan dan berangin-angin, eh, anginnya bisa bikin pohon dan palang besi ambruk. Akan percuma juga pakai payung kalau di sini, pasti rusak payungnya, hahaha. Sedangkan kalau lagi winter, jalanan super licin dan suhunya bisa di bawah nol. Dulu, malah sempat minus 10 sampai 20 derajat celcius, yang kalau untuk menggerakkan jari-jemari aja sampai susah. Kalau lagi bersalju, cantiknya cuma pas turun saljunya saja, besok-besoknya salju cair dan becek-becek, juga membuat jalanan jadi kotor karena bercampur tanah, mirip becek-nya Jakarta. Kita di Hamburg, harus pakai jaket winter yang tebal dan beratnya minta ampun, jadi kalau untuk berjalan kaki atau naik sepeda itu sudah pasti bakal super ribet.

Di Jerman, juga ada spot-spot kota yang banyak homeless, pemabuk, pengangguran, dan gerombolan anak-anak punk. Tapi, mereka tidak berbahaya sih, hanya suka bikin risih saja. Tapi, kalau malam serem juga, apalagi jam 6 sore, atau 8 malam ke atas, sama hari Minggu, rata-rata semua toko sudah tutup, kota jadi sepi. Kalau jalan di region tertentu, jalanannya panjang-panjang dan gelap-gelap gitu. Kriminalitas sih mungkin jarang ya, meski ada juga kasus-kasus tertentu, tapi depresif … hahaha. Terus, kadang-kadang ada lokasi yang jorok juga, banyak graffiti, bau pesing, bau muntah, macam-macam deh.

Contoh lain, di Paris misalnya. Ini kota daerah publik dan jaringan Metro-nya, atau MRT di sana, super kotor dan bau. Plus, banyak tukang copet, kriminalitas dan homeless atau ‘gypsi-gypsi’ gitu. Dulu, teman dekat saya pernah tinggal di Paris satu semester, pas lewat ujung gang sempit deket rumah malam-malam, dia sempat lihat orang lagi ditodong pakai pistol. Itu serem banget. Kalau menurut saya, di Eropa juga enggak semua jalan bagus dan aman ‘kok, kita pun harus tahu informasi setempat. Semakin turistik dan besar suatu kota, malah memancing banyak kriminalitas dan homeless enggak jelas gitu. Apalagi, banyak pengangguran akibat krisis yang melanda negara-negara di Eropa Selatan dan Timur. Tantangannya, jelas berbeda.

Arlene Nathania, paling tengah. Berpose bersama Muhammad Yunus, pemenang Nobel Perdamaian dan Pendiri Grameen Bank, nomor dua dari kanan, ketika acara New Cities Summit 2015 di Jakarta. (Foto: Arlene Nathania/Squee)

Struktur kota Eropa, sebenarnya kurang lebih fisiknya mirip dengan Jakarta. Apalagi kalau kita ingat, Jakarta juga ‘kan pengembangannya mirip kota Belanda dulu. Tapi di Eropa, karena banyak kota tua, struktur jalan di pusat kota juga ukurannya kecil-kecil. Tidak ada jalan yang semegah atau selebar Jalan Sudirman maupun Kuningan (Jalan Rasuna Said) di tengah kota, kecuali jalan tol yang letaknya di pinggiran. Bahkan di beberapa kota, seperti Bremen dan Lisbon misalnya, ada gang-gang kecil persis seperti yang ada di kampung Jakarta. Kalau di Porto, Portugal, dulu malah plus jemuran baju berjejer di jalan-jalan juga ‘lho, hahaha … Tapi, turis-turis justru malah seneng lihatnya.

Menurut tim kami, faktor yang membuat arah perkembangan kotanya berbeda, ada tiga hal: Pertama, komunitas pejalan kaki dan pesepedanya dari dulu merupakan mayoritas, sehingga otomatis jadi prioritas di jalan. Dari dulu kultur berjalan dan bersepeda memang dipelihara mendarah daging, tapi ya ini kultur ratusan tahun ya. Meski Jerman terkenal sebagai produsen mobil, mobil murah, mereka pakai mobil hanya kalau perlu saja, misalnya bila membawa anak atau baby, atau harus ke luar kota, maupun ketika pas mau jalan-jalan di akhir pekan.

Kedua, di Eropa memang sudah punya system transport umum berbasis transit berupa bus, trem, kereta dalam kota, kereta regional, kereta hi-speed, kereta antar negara yang mapan. Di Uni Eropa, orang bisa kemana-mana jalan kaki dari satu negara ke negara lain, enggak hanya sebatas kota. Tapi ini kalau kita bandingkan end product ya, Jerman sendiri butuh waktu puluhan tahun untuk bangun infrastrukturnya. Mahal pula. Disini, harga tiket untuk layanan langganan kereta lumayan mahal kalau dibandingkan busway di Jakarta. Tapi, saya lihat Jakarta juga plan-nya bakal ke arah yang sama, hanya timeline dan starting point-nya berbeda.

Ketiga, rata-rata sudah dilengkapi dengan rambu-rambu yang strict dan ada jalur sepeda maupun pejalan kaki, serta fasilitas bike-sharing. Jadi penduduknya tertib. Sekali lagi, ini terkait dengan faktor nomor 1. Jadi, yang nomor 3 ini merupakan item turunan. Di Hamburg sendiri, fasilitas bike-sharing --- disini namanya StadtRad --- baru hadir beberapa tahun terakhir. Jalur sepeda juga masih belum menyeluruh. Kota München atau Munich sudah mau ikut-ikutan Copenhagen dan Stockholm, yakni ada rencana mau bikin jalur sepeda di jalan tol. Trend seperti ini juga trend yang menjawab isu climate change juga. Tapi kami optimis, Jakarta sudah mulai hal yang sama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun